7. Pindah Rumah

1.2K 92 3
                                    

Hari ini, Jihan akan pindah ke rumah Julian. Saat ini, gadis itu tengah mengemas baju-bajunya dan dimasukan ke dalam 1 koper ukuran sedang. Ia sengaja tak membawa semua baju-bajunya karena saat ia akan menginap disini, ia tak perlu membawa baju lagi.

"Ngapain lo?" tanya Julian yang baru saja memasuki kamar. Jihan hanya menoleh sekilas dan kembali fokus melipat baju-bajunya. "Beres-beres."

Julian mengangguk dan membulatkan mulutnya. Ia berjalan menuju kasur dan duduk disana dengan posisi bersandar pada kepala ranjang. Cowok itu mengeluarkan ponselnya yang ada didalam kantong dan mulai memainkan game online yang sudah terpasang disana sebelumnya.

Setelah selesai, Jihan menutup kopernya. "Nanti berangkat jam berapa?" tanyanya pada Julian yang masih asik dengan game online yang ada di ponselnya.

Julian masih bergeming. Cowok itu masih bungkam dan tak menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Jihan. Gadis itu menoleh dan berdecak. "Julian," panggilnya tapi terlihat sekali cowok itu sedang mengacuhkannya.

"Yan!!" Jihan terlihat sekali mulai kesal dengan cowok itu yang mengacuhkannya. "Heh Julian!!!" Kali ini Jihan sedikit menaikan nada suara agar Julian dapat mengalihkan perhatiannya dari game online yang ada di ponselnya.

Julian mulai terusik dan melemparkan ponselnya kesembarang arah, beruntung jatuhnya masih berada di area kasur jika tidak mungkin ponsel Julian sudah wafat. Cowok itu berdecak dan menatap tajam Jihan. "Berisik," ucapnya penuh penekanan.

"Gue kan cuma nanya, nanti berangkat jam berapa."

"Emang lo nggak punya mata ya? Nggak liat gue lagi ngapain? Suara lo itu buat gue kalah!"

"Gue nggak bakal nanya mulu kalo lo bisa langsung jawab pertanyaan gue."

"Lo sekarang udah berani jawab hah!" Jihan tak menjawab lagi, karena jika ia melakukan itu mereka akan terus bertengkar dan adu argumen mereka tak akan berhenti. Jihan beranjak dari duduk dan berniat melangkah keluar kamar. Baru beberapa, suara Julian menginterupsinya. "Nanti siang, sekitar habis makan siang," jawab Julian dingin.

Setelah itu, Jihan melanjutkan langkahnya dan membuka pintu kamar lalu keluar menuju dapur untuk mengambil minum.

***

Saat ini Julian dan Jihan sedang menikmati makan siang bersama dengan Iren. Dika? Beliau sudah mulai masuk kantor sejak pagi tadi karena beliau hanya cuti satu hari untuk acara pernikahan putri sulungnya. Sedangkan Jingga? Gadis itu juga sudah mulai masuk sekolah sejak tadi pagi. Ia tak bisa untuk membolos sekolah lagi.

"Kalian beneran mau pindah?" tanya Iren di tengah acara makan siang mereka. Karena mendengar suara dari Iren, secara otomatis hal itu membuat Jihan dan Julian mendongak dari piring dihadapannya dan menatap Iren.

Julian menelan makanan yang masih ada di dalam mulut, kemudian ia baru mewakili untuk menjawab pertanyaan yang diajukan Iren. "Iya, Ma. Mungkin habis ini supir suruhan Bunda bakalan jemput aku sama Jihan."

"Kalo kalian pergi rumah jadi sepi dong. Nanti kalo Mama kangen Jihan gimana?"

"Kapan-kapan aku bakal sering main kesini kok, Ma. Lagian kan masih ada Jingga yang bakal bisa temenin Mama." Kini giliran Jihan yang menyahut untuk memberikan pengertian pada mamahnya. Dari kecil ia tak pernah jauh dari keluarganya, tapi sekarang ia telah menjadi istri orang dan ia harus mengikuti perintah suaminya. Suami? Mengatakan Julian sebagai suaminya sedikit membuatnya geli. Bagaimanapun diusia mereka ini tak sewajarnya ada ikatan pernikahan diantara keduanya. Tapi ya sudahlah, Jihan dan Julian juga sudah melakukan ijab kabul.

"Tapi lebih asikan kamu daripada Jingga." Iren masih terus meminta putri dan menantunya untuk tetap tinggal disana. Jihan menghela nafas dan menatap mamanya dengan tatapan memohon. "Ayolah, Ma. Tiap Minggu aku bakal main kesini deh."

"Oke-oke, fine." Akhirnya Iren memberikan ijin agar Jihan bisa ikut pulang bersama dengan Julian. "Janji lho ya," sambungnya.

Jihan mengangguk dengan menyunggingkan senyumnya. "Janji." Setelah itu, mereka kembali melanjutkan acara makan siang yang tadi sempat tertunda karena perbincangan mereka.

***

Supir suruhan Jasmine telah datang di kediaman Jihan. Gadis itu dengan menyeret koper ukuran sedang dan memasukannya ke dalam bagasi sendirian, tanpa bantuan Julian. Cowok itu malah sudah anteng duduk di dalam mobil dengan tangan yang terlihat lincah memijat layar ponsel. Sangat tidak gentle.

Jihan menghampiri mamanya yang menatap mereka di ambang pintu pagar. "Aku pamit ya, Ma," pamitnya.

Iren mengelus kepala Jihan dengan sayang. "Kamu baik-baik ya disana, jaga kesehatan, jadi istri yang baik, nurut sama Julian, makan yang teratur, harus rajin belajar, jangan ngerepotin mertua kamu, terus..." Jihan menurunkan tangan mamanya yang berada di kepala dan menggenggamnya, sontak hal itu membuat perkataan Iren terputus.

"Iya, Ma. Mama tenang aja, aku disana bakal jadi anak, siswa, menantu, dan istri yang baik kok," ucap Jihan diakhiri dengan senyumannya. "Aku berangkat dulu ya, Ma." Ia mencium tangan Iren, setelah itu berlalu dan memasuki mobil yang sama dengan Julian.

Mobil itu segera melaju membelah jalanan untuk menuju rumah kediaman keluarga Julian.

***

Sepasang suami istri itu datang yang langsung disambut oleh Jasmine di ambang pintu. Julian melangkah dan langsung nyelonong masuk dengan cuek tanpa menunggu Jihan. Sedangkan gadis itu melangkah mendekati Jasmine yang langsung memeluk tubuhnya. Wanita itu melepaskan pelukannya dan menarik tangan Jihan masuk diikuti dengan supir yang membawa koper milik Jihan.

"Ini sekarang rumah kamu juga. Jadi kamu nggak usah sungkan-sungkan lagi," ucap Jasmine pada Jihan yang dibalas anggukan dengan bibir yang membentuk bulan sabit. Jasmine menoleh pada supirnya yang masih mengikutinya. "Pak, kopernya langsung aja taruh di kamar Julian, ya," pintanya.

"Iya, Nyonya." Setelah itu, pak Dadang-supir keluarga Julian-berlalu menaiki tangga untuk menuju kamar Julian yang letaknya di lantai dua.

Jasmine menarik tangan Jihan menuju ruang keluarga dan menyuruh gadis itu duduk di sofa yang berada di ruangan itu.

Jihan menatap sekeliling. "Kok sepi, Bun?" tanyanya.

"Iya, Julio kan masih di sekolah, Ayah juga masih dikantor. Paling di rumah kalo jam segini biasanya cuma ada Bunda sama bibi. Pak Dadang biasanya kalo jam segini ikut ke kantor Ayah tapi karena hari ini buat jemput kamu, jadi pak Dadang di rumah." Jihan mengangguk-anggukan kepala mendengar penuturan mertuanya.

"Besok kamu juga mulai sekolah ya?" tanya Jasmine. "Rumah balik kek biasanya dong, cuma ada Bunda sama bibi."

"Aku cuma sekolah kok Bun, nanti sorenya juga aku kan pulangnya kesini. Jadi Bunda bisa ketemu aku lagi." Jihan lagi-lagi tersenyum sambil menaikan kacamatanya tadi sempat sedikit melorot.

Jasmine malah terkekeh dan mengelus kepala Jihan dengan sayang. "Kamu sekarang putri Bunda."

***

Fairahmadanti1211

Julian Untuk Jihan [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang