Apa ini? Seperti pernah merasakan posisi ini sebelumnya, duduk di tempat ini dan di latar waktu yang sama pula. Yang membedakan hanya–perempuan ini duduk berhadapan dengan satu laki-laki yang tidak seharusnya duduk di sini. Macaronia menatap Firstiano malas. Haruskah dia menemui laki-laki ini, lagi? Rasanya sama saja seperti memutar ulang film melankolis yang sudah pernah ditonton sebelumnya. Sedih dan kecewa.
Firstiano masih diam, hanya menatap perempuan di depannya dengan raut muka yang sulit diartikan. Ingin marah tapi tidak bisa, menyesalpun tidak berarti juga. Dan akhirnya, ia memilih diam. Macaronia yang masih duduk di depannya sudah mulai jengah menunggu sosok di depannya berucap satu katapun, setidaknya untuk mengucap sapaan atau memanggil namanya. Nyatanya, lima menit berlalu dengan diam dan saling menatap satu sama lain.
Suasana kafe milik Firstiano cukup ramai, wangi kopi menyeruak karena Agrio sedang memanggang sebagian biji kopi untuk stok besok. Lonceng di pintu kaca itu setiap dua menit juga berbunyi, menandakan masuknya pengunjung yang berdatangan. Kepala Macaronia tiba-tiba pusing, ada sesuatu yang selalu mengganjal di pikirannya. Sesaat, ia memijat pelipisnya pelan.
"Kenapa?"
Akhirnya laki-laki itu berucap. Cih! Harusnya yang bertanya seperti itu Macaronia, lah. Firstiano diam saja dari tadi dan tidak jelas tujuan membawanya ke kafenya itu apa.
Macaronia tertawa remeh. "Harusnya gue yang tanya ke lo kayak gitu, aneh."
Si cowok mengusap tengkuknya. "Gue minta maaf. Gue nggak bermaksud untuk menyalahkan lo waktu itu, kesalahpahaman gue mengakibatkan kesalahpahaman baru. Gue nyesel, gue minta maaf."
Lawan bicaranya hanya tersenyum menghina, kalimatnya sama dengan yang lalu-lalu, tidak bisa kreatif sedikit dalam merangkai kata, hanya 'maaf' dan 'tidak bermaksud'. Halah sudahlah, sangat membosankan.
"Lo bisa jamin apa kalo gue maafin lo? Lagian semua juga udah telanjur juga, kan? Sebagian anak-anak kampus juga udah menilai buruk karena perlakuan gue dan ditambah omongan lo kemaren itu. Jadi, apa yang mau diperbaiki? Udah percuma juga."
Skak mat. Macaronia akhirnya berucap panjang lebar seperti ini, menumpahkan isi hati yang beberapa hari ini ia tahan. Firstiano ingin menimpalinya, namun ia urungkan karena lagi dan lagi perempuan di hadapannya berucap kata-kata pedas.
Macaronia merendahkan suaranya, tidak ingin bicara dengan ngotot. "Gue masih terima untuk dipandang jelek sama anak-anak di kampus, tapi kalo lo yang ngomong kayak gitu pas kemaren, gue jadi hilang kepercayaan, No, buat percaya … bahwa lo itu temen baik gue. Gue permisi."
Beranjak dari duduknya dan keluar dari kafe dengan langkah gontai adalah cara Macaronia untuk menutupi bulir air matanya yang kini meluncur deras satu per satu di pipinya. Sebenarnya ia sangat tidak tega berbicara pada Firstiano seperti tadi. Jujur, ia sangat menyayangi Firstiano layaknya sahabat ia sendiri. Tapi, ia harus menyadarkan Firstiano bahwa tidak semua kesalahan dapat dibayar dengan kata maaf. Lebih dari itu.
Di tengah berjalan di trotoar, Macaronia menabrak seseorang dengan tinggi tubuhnya lebih beberapa centi darinya. Masih mengusap air matanya yang berjatuhan, ia mengucapkan kata maafnya karena sedang tidak fokus berjalan sambil menunduk.
"Maaf, saya—"
"O-Oni?"
Sedetik berikutnya, Macaronia sudah menghambur dalam pelukan laki-laki yang baru saja ia tabrak itu. Fenly. Ternyata cowok ini di sini. Masih dengan raut muka terkejut, Fenly mengusap punggung Macaronia yang sudah bergetar, isakannya terdengar menyedihkan. Apa yang terjadi dengan mantannya ini? Tangisannya terdengar sama seperti dua tahun lalu, saat mereka berdua memutuskan untuk berpisah. Tapi, yang membedakan adalah posisi orang yang membuat Macaronia menangis, yang pastinya saat ini bukan Fenly, lalu siapa?
Cuaca terlihat mendukung, awan hitam sudah berarak dengan embusan angin dingin yang mulai menyerbu. Macaronia masih berada di dekapan Fenly erat—oh bahkan sangat erat. Tangisnya jangan ditanya lagi, semakin terisak bahkan mungkin dadanya sudah terasa sesak.
Oke, Fenly menyerah. Ia membiarkan Macaronia terisak di dada bidangnya, itu tidak masalah karena dahulu juga ia sudah sering mendekap mantannya itu dengan hangat. Suasana di trotoar juga lumayan sepi, hanya ada kucing jalanan yang terlihat leha-leha di sana.
"Oni, cari tempat yang lebih nyaman, yuk! Nggak enak kalo diliat orang banyak nanti." Fenly merenggangkan peluknya pada Macaronia yang sudah mengangguk, ia harus buru-buru mengerti situasi ini.
Sekarang, Fenly dan Macaronia sudah berpindah tempat ke sebuah taman yang hijau sekali, suasana di sini cukup tenang dan sepi, benar-benar hanya mereka berdua yang berada di sana. Macaronia masih tersedu, sedangkan Fenly sudah menatapnya lekat, sepertinya ia sudah tahu siapa yang membuat Macaronia menangis, tetapi lebih tepatnya yang mana, ia tidak tahu.
"Jadi, bener lo kenal pelayan kemaren?" tanya Fenly yang sudah menautkan alisnya.
Macaronia hanya mengangguk, dadanya masih sesak akibat terlalu lama menangis. Fenly menarik kepala gadis di sebelahnya dengan pelan, merengkuhnya dalam pelukan. Ia tersentak, namun tetap menurut kepada perlakuan Fenly barusan, ia tak kuasa untuk menolak karena badannya sudah lemas karena kecapekan menangis. Dan, saat ini dia pun masih saja menangis, tenaganya perlahan lenyap seiring air matanya yang bercucur deras.
Selanjutnya, gadis ini menampilkan layar di ponselnya, kontak nama seseorang. Fenly mengerutkan keningnya, jadi dia?
"Firsti ... Ano?"
"Iya," ucap Macaronia singkat dengan suara yang serak, matanya yang cantik itu sudah sembab dan merah. Fenly menatap Macaronia prihatin, rasa ingin menjaga gadis ini menjadi semakin besar meskipun sudah tidak bisa bersama lagi.
Fenly mengembuskan napasnya berat. "Walaupun gue nggak tahu sama sekali dia siapa, kalo dia udah bikin cewek nangis, apalagi nangis sedih itu artinya laki-laki itu gagal, gagal menjaga lo. Gue tahu, kata-kata gue barusan adalah tamparan buat diri gue sendiri, Oni. Lo harus kuat, jangan terlalu pikirin masalah ini sekarang, berdamailah dengan Ano dan ... lo bisa lupain masalah antara lo dan dia, menjalinlah hubungan pertemanan yang baik sama dia. Gue yakin, lo pasti bisa baikan sama Ano."
Sebenarnya ucapan Fenly ada benarnya, tapi … Fenly sendiri tidak tahu apa masalah yang sedang dihadapi Macaronia dan Firstiano hingga bertengkar hebat seperti ini, Macaronia dipermalukan di depan umum. Apalagi jika Fenly tahu, mungkin ia sudah menghajar Firstiano dengan tangannya sendiri. Tapi, Macaronia tidak ingin masalah pribadinya ini harus menyeret orang lain seperti Fenly masuk ke dalamnya, tidak mau melihat Fenly bersusah payah membantu masalah yang bukan jadi urusannya.
Laki-laki di samping Macaronia terdiam, merenungkan sesuatu. Setiap ia berdampingan dengan Macaronia, ia selalu teringat masa lalunya yang selalu manis dengan mantan kekasihnya itu, sulit sekali dilupakan. Taman hijau; gelang perak minimalis; trotoar yang lengang; jepit hitam polos yang ia berikan; dan langit yang bertabur bintang. Semua itu kenangan manis untuknya, yang selalu terputar kembali di ingatannya ketika berada di samping Macaronia.
Kalau boleh jujur, Fenly sangat merindukan masa itu, masa di mana Macaronia jarang terlihat sedih jika berada di dekatnya, kepolosan dan kejujurannya yang tidak dapat ditebak. Ia merindukan semuanya. Mengapa selalu terputar kembali ingatan manis itu disaat masa sekarang memberinya kenyataan pahit? Mereka tidak dapat bersama, itu sangat menyakitkan melebihi dari penyakit mematikan di belahan dunia manapun.
💖❤️🧡💛💚💙💜🖤
Baca aja, nikmati alurnya.
Kalo buru-buru ya namanya bukan baca novel, hehe.
𝓶𝓲𝓼𝓼𝓭𝓸𝓽𝓯𝓲𝓮𝓻𝓬𝓮
KAMU SEDANG MEMBACA
Carita de Macaronia || UN1TY [SELESAI]
Hayran Kurgu[58/58] - romansa; angst; drama MEMPLAGIAT = MENYONTEK MENYONTEK = DOSA Tolong hargai tulisan orang lain dengan tidak menjiplak bagian-bagian cerita baik banyak maupun sedikit. Terima kasih. ❝Berawal dari masa lalu, kisah kita ternyata berlanjut hin...