Pergulatan Batin Zavier

755 110 7
                                    

Berbicara dengan Zia adalah hal paling menakutkan bagi Zavier akhir-akhir ini. Karena itulah hari ini di jam makan siang ia sengaja mengundang sepupu-sepupunya untuk makan siang bersama. Ia butuh bantuan.

"Aku mengkhawatirkan Zia," ujar Zavier. Matanya menatap kosong pada piring yang ada di hadapannya.

Antares yg baru saja menyuap makanan ke mulut seketika berhenti mengunyah. "Apa yang terjadi padanya?" tanya pria itu.

Saudara ipar Antares, suami Carissa, yang kini mereka panggil Bebe sebagaimana Carissa melayangkan panggilan sayang tersebut pada suaminya, duduk persis di sebelah Antares. Ia juga melakukan hal yang sama. Kedua pria itu fokus ke Zavier yang tampak murung di hadapan mereka.

"Dia hamil," ujar Zavier.

"Ya kami tahu itu," ujar Antares yang disambut anggukan oleh saudara iparnya. "Selamat menjadi calon ayah."

"Apa wanita hamil memang gemar bersikap aneh?" tanya Zavier lagi. Mengabaikan ucapan selamat Antares. Ia menatap sepupu dan sepupu iparnya itu dengan ekspresi tak berdaya.

Antares mengembuskan napas melalui mulut. "Gue kira kenapa. Lo bikin cemas aja."

Bebe yang duduk di sebelahnya tersenyum tipis sambil menatap Zavier.

"Tapi ini serius," jelas Zavier lagi.

"Aludra dulu bukan hanya bersikap aneh. Ngidamnya juga aneh-aneh," kata Antares.

"Carissa juga begitu," sahut Bebe. "Kalian sendiri tahu kan kalau dia di keadaan normal bisa bersikap ajaib, ditambah pula dalam kondisi hamil. Bisa dibayangkan semuanya jadi semakin ajaib saja."

"Aku takut dia depresi," keluh Zavier. "Setiap kali melihatnya duduk termenung sambil mengusap perut membuatku khawatir."

"Depresi kenapa?" tanya Antares.

Zavier menarik napas dalam-dalam. "Zia khawatir berita kehamilan ini akan membuat orangtuanya terkejut. Kalian tahu kan mertuaku sudah cukup tua, jadi kesehatan mereka harus terjaga."

"Orangtuanya tidak ingin punya cucu?" tanya Antares. Nada bicaranya terdengar tidak yakin dengan pertanyaannya sendiri.

Zavier menggeleng. "Kurang lebih enam bulan lagi kami akan mengadakan respsi pernikahan. Hamil tidak termasuk dalam rencana itu karena ibu mertuaku sudah mengingatkan jangan sampai Zia hamil lebih dulu karena takut akan jadi bahan gunjingan orang-orang saat duduk di pelaminan nanti."

Kedua sepupu Zavier mengangguk-angguk. Tampaknya mulai paham apa yang membuat Zavier khawatir.

"Lo sudah ajak Zia bicara?" tanya Antares. "Katakan padanya tidak perlu memikirkan apa yang terjadi kedepannya nanti. Resepsi itu bisa diatur ulang atau ia tidak perlu peduli dengan ucapan orang-orang nantinya."

"Aku sudah mengatakan itu sejak awal kami mengetahui kehamilannya. Tapi yang menjadi kekhawatiran Zia adalah perasaan ibunya yang nanti akan sakit hati mendengar ucapan orang-orang tentang putrinya yang masih kuliah tapi malah hamil dan duduk di pelaminan. Zia bisa saja cuek pada ucapan orang-orang, tapi ibunya?"

"Kalau dibatalkan saja resepsinya gimana?" tanya Bebe. "Atau ditunda sekalian saat cukuran bayi kalian saat lahir nanti."

"Aku sempat memikirkan itu," ujar Zavier. "Tapi Zia, pikirannya belakangan selalu rumit. Ia bilang kalau semua sudah dipesan, sudah disiapkan saat kami berlibur ke sana kemarin, belum lagi ibunya yang mungkin sudah sibuk menyebar berita ke beberapa orang. Pasti akan sulit jika membatalkannya."

"Perempuan memang gemar menyulitkan diri sendiri dengan apa yang muncul di pikiran mereka," gumam Antares.

"Jadi belakangan Zia sering duduk termenung karena itu?" tanya Bebe.

Zavier mengangguk. "Tiap kali aku tanya, kalau sedang dalam mood yang baik, dia akan menceritakan kekhawatirannya. Tapi jika sedang tidak mood, dia hanya akan menggeleng dan tersenyum tipis."

"Jangan biarkan hal itu terus-terusan terjadi. Perempuan hamil tidak boleh stress," ujar Antares. "Selama lo kerja, apa kegiatan Zia?"

"Hanya di rumah. Nonton dan baca buku."

"Selama ini hanya itu yang dilakukannya?" tanya Antares tak percaya. "Apa dia tidak pernah keluar untuk jalan dengan teman sebayanya? Teman-temannya di kampus?"

Zavier menggeleng. "Setahuku hanya ada satu orang yang cukup akrab dengan Zia. Gadis itu hanya berkunjung sekali ke rumah kami."

"Apa dia tidak punya teman?" tanya Bebe.

"Zia adalah tipe gadis rumahan yang berteman dan akrab hanya dengan keluarganya saja. Setahuku dia cukup akrab dengan kakak-kakak sepupunya. Tapi sejak tinggal denganku, aku memang belum pernah melihatnya punya teman akrab lain."

"Ini gawat," gumam Antares. "Dalam kondisi seperti ini dia tidak boleh sering-sering dibiarkan seorang diri. Lo kerja dari pagi sampe sore. Dia pasti kesepian. Kapan perkuliahan Zia dimulai?"

Zavier menautkan alis. "Mungkin sekitar dua minggu lagi."

"Aku akan minta Aludra mengajak Zia jalan setiap hari mulai besok," putus Antares. "Mungkin jika bersama dengan sesama perempuan, Zia bisa lebih rileks dan bisa saja mendapat solusi dari apa yang menjadi beban pikirannya."

"Setuju. Aku juga akan bilang ke Carissa untuk ikut bersama mereka," kata Bebe.

Zavier menatap kedua sepupunya penuh terima kasih. "Aku tahu, bicara dengan kalian memang solusi terbaik."

***

"Zavi, kamu pulang cepat hari ini?"

Zia menyambutnya dengan mata berbinar ketika Zavier mendekati gadis itu yang sedang duduk santai di ruang keluarga. Televisi di hadapannya sedang menayangkan film animasi bocah berambut kuning seperti durian dengan ikat kepala bersimbol aneh menempel di dahinya.

Zavier tersenyum dan mengecup puncak kepala Zia. Sepupu-sepupunya tadi benar. Zia mungkin juga kesepian. Meski selama ini gadis itu bilang tidak apa-apa, namun dari binar mata dan senyumnya yang tampak sangat senang tadi memberikan Zavier jawaban lain. Selama ini Zia mungkin merasa baik-baik saja karena ia sendiri juga tidak menyadari bahwa dirinya tengah kesepian.

"Aku merindukanmu," ujar Zavier sambil mengusap pipi gadis itu.

Tadi Antares berpesan padanya untuk lebih sering mengungkapkan perasaan. Meski sebenarnya menggelikan, tapi efeknya luar biasa. Perempuan sebagai makhluk verbal amat menyukai hal tersebut.

"Kan tiap hari juga ketemu," ujar Zia. Tapi wajahnya bersemu malu.

"Ya, tapi mau gimana lagi? Di kantor aku pun terus memikirkan kamu."

Zia mengatupkan bibirnya sambil menahan senyum.

"Jalan yuk, sekalian makan malam di luar," ajak Zavier.

"Ke mana?" tanya Zia dengan mata yang lagi-lagi tampak berbinar.

"Ke mana pun yang kamu mau," jawab Zavier tersenyum.

"Bener nih ke mana aja yang aku mau?" ulang Zia.

"Iya, Sayang. Ke mana pun yang kamu mau," ujar Zavier.

***

(Ditulis: Minggu. 9 Agustus 2020, 19:41, republish 8 Oktober 2020, 18:17)

Tinggalin komen dong biar saya makin semangat nulisnya. Biasanya komen2 lucu dari kalian jd penyemangat banget buat nulis ^^

May to DecemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang