Bumi Salvatra.

202 25 10
                                    

Malam ini, katanya Bumi akan menelponku dan bodohnya untuk pertama kalinya aku menunggu telpon seseorang dan itu Bumi. Aku tidak tau apa alasanku sampai harus menunggu telponnya sampai selarut ini. Lihat saja jam di dinding sudah menunjukkan jam 1. Aku tidak tau apa yang aku harapkan dari obrolan dengannya. Tetapi yang aku rasakan saat mengobrol dengannya, aku suka nada suaranya, suara tawanya aku suka. Bahkan terkadang aku merasa obrolanku dengan Bumi bukan seperti obrolan sedang pendekatan. Kosa kata yang digunakan Bumi pun seperti ia bicara dengan temannya. Obrolanku dengan Bumi atau dengan Adllan sangat berbeda. Dengan Bumi aku merasa hanya obrolan santai, berbeda dengan Adlan yang terasa menjadi obrolan serius.


Aku memutuskan untuk tidur karena besok masih harus sekolah. Untuk apa aku menunggu telponnya. Aku yakin ia masih berkumpul dengan gengnya. Untuk kedua kalinya aku jatuh cinta dan untuk kedua kalinya pula aku menjadi orang bodoh. Bersama Adlan, aku bodoh dan bersama Bumi pun aku tetap bodoh. Hanya saja dengan Bumi, masih dapat aku tutupi dengan sikap acuh tak acuhku. Tidak dengan Adlan yang sangat mudah aku luluhkan.


Hmm, bicara tentang Adlann, sudah lama aku tidak bertemu dengannya. Bertukar kabarpun tidak lagi aku rasakan. Terakhir aku bertemu dengannya saat aku mendengar Kak Mecca masuk rumah sakit karena menyayat tangannya, setelahnya aku tidak lagi bertemu ataupun mendapat kabar darinya.


Aku meletakkan handphone di samping bantalku. Dengan maksud agar ada telpon masuk, aku dapat langsung menjawabnya. Aihhh! Lihatlah! Aku terlihat seperti sedang amat kasmaran yang sedang menunggu kabar kekasihku!


Jam lima pagi aku terbangun saat aku merasakan handphoneku bergetar. Dengan gerak cepat, aku mencari handphoneku. Saat aku melihat layar handphoneku, bukan telpon masuk melainkan alarm yang biasa aku pasang. Aku membanting handphoneku setelahnya aku mengacak rambutku kasar. Bagaimana bisa aku terus berharap ada telpon dari Bumi. Bodoh! Bodoh! Bodoh!


Di layar handphoneku, tidak ada satupun notifikasi yang aku dapati. Hanya ada kekosongan. Daripada terus menerus berharap Bumi menelponku, lebih baik aku mandi dan sholat setelahnya bersiap-siap berangkat sekolah.




TINGGAL KENANGAN




Masuknya aku ke dalam kelas, aku melihat ada Ferre sedang berdiskusi dengan Arindha di meja Arindha. Itulah habit keduanya jika pagi-pagi, mereka biasa berdiskusi materi. Itupun kalau tidak ada teman-teman Ferre mendatanginya ke kelas. Jika Ferre ada di sekolah, mungkinkah Bumi juga sekolah, tidak seperti kemarin ia katakan, ia bolos sekolah. Merasa tidak penting, aku fokus pada materi hari ini.


Sudah jam 10, tetapi pikiranku terus tertuju mencari keberadaan Bumi yang tidak ada di sekolah dan ia betulan bolos. Saat ini aku sedang di kantin bersama teman-temanku. Mulutku penuh dengan makanan, tidak dengan pandangan mataku yang tertuju pada meja Ferre bersama Reno dan Aryan juga beberapa teman mereka lainnya. Tidak ada Bumi juga pentolan Salvatra. Dapat di pastikan yang bolos hanya pentolan saja.


"Lan, seharian ini gue liat dari pagi lo keliatan nggak fokus. Mikirin apa sih?" Heran Alynna.


"Biasa aja." Elakku.


"Kenapa? Friendzone lo nikah?"

Tinggal KenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang