Apa Kabar?

14 1 0
                                    

***

Pesta semakin riuh. Semua gembira dengan hiburan yang meriah. Banyak orang asyik menari di tengah-tengah pesta dengan iringan musik khas timur tengah. Arum turut bersuka cita dalam suasana ini. Berada di tengah-tengah antara Bubu dan Muizz membuatnya hangat dan tidak merasa seperti orang asing. Bubu memperlakukannya seolah Arum adalah puteri kandungnya.

Banyak kerabat yang menghampiri untuk mengucapkan selamat ulang tahun, dan sebanyak itu pula Bubu perkenalkan Arum pada mereka, sebagai puterinya. Tentu pada awalnya mereka merasa heran, namun kemudian mengangguk seolah paham. Muizz banyak tersipu, sedang Arum hanya tersenyum lugu.

Lantas di mana Hasan dan Fadli? Ah, Si Kembar itu sedang sibuk menjajah makanan. Mulai dari kue-kue, olahan buah, cemilan ringan, sampai makanan berat mereka coba satu-persatu. Memang dasar aji mumpung.

Di tengah gegap gempita pesta, pria bertubuh gempal dengan dua orang di belakangnya berhasil mencuri perhatian hampir semua orang dalam ruangan. Ruangan menjadi senyap, dan sebagian manusia mengisi hening dengan saling berbisik. Musik masih bertabuh, namun sekarang terdengar lebih dramatis.

Muizz menatap Bubu yang kini menampilkan ekspresi jengkel. Padahal sejak tadi, beliau tampak seperti mahluk paling riang di muka bumi. Arum berusaha menangkap makna dari situasi membingungkan ini.

"Ada apa?" Dia menyerah. Memilih berbisik menanyakannya pada Muizz.

"Baba pulang," jawab Muizz sambil tersenyum.

"Oh, itu Baba ya.." Arum berkata pelan sambil memperhatikan pria yang sedang menyalami kerabat-kerabatnya.

Tingginya tidak lebih dari Bubu, apalagi Muizz. Badannya bulat, dan perut itu seolah berteriak menuntut kebebasan, kontras dengan dua pria gagah di belakangnya.
Arum mulai menyadari satu hal; bahwa Muizz didominasi gen dari ibunya. Nampak hanya satu hal saja yang Muizz warisi dari pria itu; Kulit sawo matang.

Pria itu mulai mendekat, tersenyum sampai kelopak matanya membentuk bulan sabit. Gigi putihnya berjejer rapi, terlihat saperti jendela-jendela sebuah bangunan dengan kumis sebagai atapnya.

Bubu menyambut uluran tangan bulat pria itu. Segera diciumnya penuh hormat, namun tetap dengan perasaan jengkel sepertinya. Terlihat dari senyum yang sama sekali tidak ia perlihatkan.

Baba menaruh tangan kirinya di atas kepala Bubu saat wanita itu masih tertunduk mencium tangannya. Lalu didekatkan wajahnya pada puncak kepala Bubu sambil mulutnya khidmat melantun do'a.

Hening sesaat. Semua orang memperhatikan, banyak yang sibuk mengabadikan momen manis ini. Selepas merasa cukup ia berdo'a, ditiup halus ubun-ubun istrinya. Kemudian kedua tangan itu mendongakkan kepala Bubu agar wajah cantiknya dapat ia lihat jelas.

"Mabruk alfa mabruk, Yaa Habibati," Ucapnya lembut seraya mengecup kening istrinya. Sang istri kian luluh.

"Syukron, Mas." wajahnya kini berseri dan sedikit tersipu.

Arum terpaku melihat kemesraan Baba dan Bubu. Saat yang lain sibuk terkesan, Arum diam dengan pikirannya sendiri.

"Sopo iki, Bu?" Baba bertanya sambil menerima tangan Arum yang ikut menyalaminya setelah Muizz.

"Anak perempuan kita," Bubu menjawab santai. Baba terkekeh dan mengangguk paham.

"Saya Arum, teman Muizz di sekolah," Arum memperkenalkan diri.

"Cah ayu," Baba tersenyum ramah. Arum yang tidak mengerti ikut tersenyum canggung.

"Mas hutang penjelasan," Bubu menuntut. "Dari mana?" lanjutnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 02, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

WarmthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang