Chapter 2. Murid Pindahan

1K 152 31
                                    

Setelah melihat orang aneh kemarin, aku mencoba masuk sekolah. Ini bukan hari libur nasional atau hari minggu. Sudah pasti ini adalah hari sekolah. Jadi, aku masuk sekolah dengan perasaan riang. Mencoba kembali ke kehidupan klise yang seperti biasanya. Tapi, nampaknya itu tidak mungkin. Kedamaian abadi kini telah runtuh di depan mataku.

Aku duduk sendiri di barisan ketiga paling kanan. Ini adalah bangku yang sesuai untukku. Tidak terlalu ke depan atau terlalu ke belakang. Posisi tengah adalah yang paling terbaik untuk belajar. Ditambah, aku duduk di dekat tembok. Itu memudahkanku untuk tidur selama pelajaran, karena visual guru akan terganggu oleh murid-murid yang ada. Seharusnya, aku berterima kasih kepada teman sekelas karena sudah melindungiku.

Tring!

Ini dia! Pembukaan klise dalam cerita. Masuk sekolah adalah pembukaan klise dalam seluruh cerita bergenre slice of life. Karena genre hidupku itu slice of life, tentunya memerlukan pembukaan klise seperti ini. Pembukaan klise seperti ini memang tidak bagus untuk pengembangan karakterku, tapi itu memudahkan untuk memulai cerita. Jadi, mari kita mulai!

Semua teman kelasku masuk ke kelas. Mereka semua sudah siap belajar. Begitu juga denganku. Aku mengambil buku dan peralatan lain dari tasku yang serbaguna. Di atas meja yang tadinya kosong, kini terdapat buku, pensil, pulpen, pisau, eh maksudku itu adalah penggaris besi yang cukup tajam seperti pisau, dan penghapus. Semua peralatan sudah siap dan semua orang di kelas siap untuk belajar.

"Persiapan selesai!" gumamku sembari melihat ke arah pintu.

Seorang pria paruh baya dengan kumis tebal membawa map berwarna coklat masuk ke dalam kelas. Di belakangnya, terdapat tujuh orang yang mengenakan seragam SMA. Mereka semua masuk ke dalam dengan santai. Pria paruh baya itu menaruh map di atas meja dan duduk di kursinya. Ia menyilangkan kedua kaki yang tertutupi oleh celana jeans berwarna hitam. Wajahnya melihat ke arah tujuh orang yang berdiri di depan kelas.

Di depan kelas, ada tujuh orang yang masuk bersama pria paruh baya. Ada empat laki-laki dan tiga perempuan. Mereka semua terlihat cantik dan tampan. Nampaknya, mereka semua saling mengenal satu sama lain atau berasal dari satu sekolah yang sama.

"Oke. Perkenalkan diri kalian!" titah pria paruh baya itu sembari mengeluarkan rokok dari sakunya.

Seorang wanita yang dekat dengan pria paruh baya itu mengangguk dengan anggun dan melihat ke semua siswa yang ada di kelas. Senyuman cantik juga terlukis di wajahnya. "Halo semuanya, nama saya Desi Monika. Hobi saya menonton video dewasa. Salam kenal, semuanya!"

Apa-apaan coba nih cewek?! Blak-blakan amat. Set dah, ngga malu apa tuh?

Pria yang berdiri di samping Desi berlagak sombong. Ia memasang senyum yang meremehkan orang lain yang ada di ruangan. "Yosh! Salam kenal! Nama gue Feri Lucinatan. Mending lu semua ngga usah macem-macem sama gue!"

Ini lagi cowok. Gayanya setinggi langit. Tangan dah gatel pengen mendaratkan pukulan penuh kerinduan di muka tuh cowok sombong.

"Feri! Perkenalan tuh yang bener!" teriak wanita yang berdiri di samping Feri. Ia memarahi Feri dengan nada tinggi. Tapi, ia langsung bersikap anggun ketika ingin memperkenalkan diri. "Halo, semua! Nama saya Satella Tania, kalian bisa memanggil saya Tania. Salam kenal."

Itu adalah satu-satunya orang yang normal dari ketiga orang yang sudah memperkenalman dirinya. Begitulah setidaknya pemikiranku. Tapi, nampaknya aku naif. Semua penilaianku hancur ketika Tania marah-marah terhadap respon yang sepi tanggapan terhadap perkenalannya. Ia menyuruh orang-orang menuruti kata-katanya dan kemudian bersikap malu-malu.

"Apa-apaan nih? Tsundere kah?" gumamku melihat tingkah Tania.

Selanjutnya, beralih ke pria gendut yang menggunakan kacamata. Ia memegang bungkus makanan yang mungkin berisi burger yang baru saja ia beli tadi pagi. Itu dapat dilihat dari saus mayones yang merembes keluar dari bungkus dan daging yang ada di bibir pria itu.

"Salam kenal! Nama saya Belial Zebian Bobby Maulana. Kalian bisa memanggil saya Zebian atau Bobby. Mohon bantuannya untuk kedepannya!"

Walau penampilannya nampak seperti orang yang rakus, menurutku Zebian adalah yang paling normal dari ketujuh orang yang ada. Penampilannya mungkin menipu, tapi sikapnya sangat sopan. Aku sangat menghargai itu. Ya, aku tidak menghargai penampilannya. Penampilan Zebian sangat buruk diantara yang lain. Ia seperti abis berendam di kubangan kotoran yang dipenuhi lalat.

Seorang wanita maju sembari tersenyum. Itu adalah wanita yang paling normal daripada yang lainnya. "Salam kenal! Nama saya Leviani Thantoro. Kalian semua bisa memanggil saya Viani. Mohon bantuannya!"

Wanita itu membungkuk dengan anggun. Sikapnya sangat sempurna. Wajahnya sangat cantik ditambah tubuh yang bagus. Ia wanita sempurna kalau dilihat. Walau tubuhnya tidak sebagus Desi atau Tania, tubuhnya masih merupakan idaman para wanita. Ya, siapapun akan terpukau oleh ketiga perempuan yang cantik itu.

Wanita yang berada di samping Viana nampak lesu. Ia juga nampak tidak peduli dengan sekitar dan menguap. Kantung mata terlihat dengan jelas di wajah cantiknya. "Yo! Nama saya ... Bella Phegoria. Hobi saya malas-malasan."

Yang terakhir adalah seorang pria yang terlihat sangat mewah. Di tangannya ada sebuah jam pintar yang bermerek buah. Bukan itu saja, kacamatanya juga terlihat mahal. Apalagi seragam yang ia kenakan, itu terasa seperti dibuat dengan bahan berkualitas sangat bagus. Sepatu yang nampak berkilauan emas. Eh, itu malah seperti emas asli.

"Nama saya Firman. Panggil saja Maman!" ujar pria itu sembari memperlihatkan perhiasannya.

Aku mengembuskan napas melihat perilaku ketujuh orang yang baru datang ke kelas. Mereka murid pindahan dari berbagai sekolah dan nampak tidak saling mengenal. Tapi, mereka sangat akrab. Orang lain mungkin menganggap mereka bersaudara atau bersahabat. Tapi, mereka benar-benar baru bertemu hari ini. Sungguh keajaiban yang luar biasa.

Pria paruh baya yang sedari tadi mengamati situasi, berdiri dan berjalan ke depan kelas. Ia berjalan sembari melihat ke orang-orang yang ia bawa, nampak seperti ia mengawasi mereka. Tapi, mata pria paruh baya itu nampak gugup ketika pupil matanya bertemu dengan pupil mata Tania yang melihatnya dengan ekspresi marah. Tania seakan siap untuk menerjang pria paruh baya itu. Bahkan, tangan kanannya sudah mengepal, bersiap mengirimkan rudal ke wajah pria paruh baya yang sudah mulai mengkerut itu.

"Oke. Kalian boleh duduk. Pilih bangku yang kalian suka. Kalau bangku yang kalian sukai ada yang menempati, kalian bisa melakukan pertandingan untuk memperebutkan kursi itu," ujar pria paruh baya sembari memainkan kumisnya.

Kehidupan klise yang kujalani, runtuh seketika dengan serangkaian yang mulai berdatangan. Bangku yang sedang kududuki, kini terancam akan direbut oleh tujuh orang itu. Ini membuatku sedikit gugup dan khawatir. Bangku ini sudah mendarah daging denganku, tidak akan kubiarkan siapapun mengambilnya. Setidaknya, orang itu harus melangkahi mayatku dulu.

Tujuh orang itu menatapku secara bersamaan. Mereka semua menatapku dengan tatapan tidak percaya. Kecuali Desi, ia menatapku dengan senyuman. Itu senyuman penuh nafsu. Nampaknya, aku sedang dalam bahaya. Aku bahkan bisa merasakan bulu kudukku berdiri tegak dan berusaha melarikan diri dari situasi ini. Keringat dingin sepertinya meluncur di keningku. Itu menandakan seberapa gugup dan khawatir.

"Orang itu adalah Yang Mulia?" tanya Feri tidak percaya.

"Tidak mungkin, 'kan?" tanya Zebian yang nampaknya sependapat dengan Feri.

"Jangan bercanda, Asmod-, maksudku Desi!" teriak Tania dengan nada marah. "Mana mungkin orang itu adalah tuan kita yang agung!"

Bagaimana Mungkin Aku Adalah Raja Iblis?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang