Bunga Terakhir, Camelia.
Chapter IX : She's Gone.
Beberapa hari berlalu semenjak kejadian yang terjadi di restoran, suasana hatiku tidak begitu bagus. Aku memang terlihat biasa saja, tidak menunjukkan jika aku kecewa dengan keputusannya. Rasa kecewa pasti ada tapi setidaknya aku masih berhubungan dengan Camelia, berkirim pesan seperti biasanya walau ia bukan milikku lagi secara de facto.
Jujur aku bukanlah tipe orang yang terus-terusan berlarut dalam kesedihan, aku bisa melupakan sejenak apa yang tengah kualami. Tapi disaat tengah malam atau disaat aku sendirian, pasti saja aku teringat dengan kenyataan yang membuat sesak dalam dada namun itu bukan karena aku berpisah dengan Camelia tapi setelah aku pikirkan kembali, itu karena teringat Mawar dan Edelweis.
"Tumben ga telponan sama Camelia?" Tanya Rozi ketika ia mendapatiku sedang bermain kartu dengan teman-temanku yang lain. Memang satu bulan terakhir aku sering telponan dengan Camelia.
"Kayaknya gue udahan sama dia, Zi." Jawabku tanpa menoleh padanya. Aku tengah sibuk menata kartu yang berada ditangan.
"Lah kenapa? Perasaan dari kemarin baik-baik aja."
"Ada yang ngajakin dia serius, as mean ada yang ngajakin dia nikah."
"Hah seriusan?" Rozi berteriak membuatku kaget dan menoleh padanya.
Aku mengangguk, "Iya." Ucapku singkat.
"Kenapa dia gak pertahanin elo?" Rozi bertanya lagi.
Aku menghela nafas, "Susah kalo udah menyangkut paut sama keluarga, Zi. Lagian mamahnya yang nyuruh dia nyari yang serius. Syukur-syukur cepat nikah. Biar ada yang nafkahin. Tau sendiri Camelia kan udah ditinggal papahnya." Jawabku panjang lebar. "Lagian kalo nunggu gue ya masih lama, Zi. Gue aja masih kuliah, minta duit sama orang tua."
"Emang susah sih," Rozi manggut-manggut. "Gue bakal direpotin lagi sama lo kalo gini mah."
Kini aku tertawa karena ia sudah hapal dengan kebiasaanku yang selalu mengajaknya nongkrong atau pergi. Ya bagaimana lagi, memang hanya Rozi satu-satunya teman yang paling dekat denganku di lingkungan rumah. "Iyalah, lo bakal gue gangguin mulu. Gue bakal ajakkin lo buat temenin gue setiap malem. Kan lo pacar cowok gue."
Aku dan Rozi tertawa bersamaan, "Kampret lo! Jijik gue!" Ucapnya sembari menjauhkan diri karena aku mulai mengerayanginya.
"Eh tapi ada yang aneh loh." Ungkapku begitu aku mengingat sesuatu yang terjadi beberapa hari belakangan.
Rozi menatapku heran, "Apaan?"
"Gue merasa biasa aja masa. Gak sesakit pas sama Edelweis ataupun Mawar." Jujur, putus dengan Camelia tidak sesakit waktu aku ditinggal oleh Edelweis, rasanya biasa saja.
"Lo benar-benar gak ada rasa sama Camelia kali, Nan? Atau lo cuma penasaran aja sama dia. Jadinya lo ngerasa biasa aja." Rozi berspekulasi yang membuatku berfikir kembali dengan perasaan yang aku punya.
Aku termenung sesaat, "Gue gak penasaran sama dia, Zi. Setelah gue pikir-pikir, gue itu beneran sayang loh sama Camelia. Salah satu buktinya aja gue gak kayak dulu yang pacaran sama empat orang dalam satu waktu, atau hal-hal kurang ajar lainnya, kan?" Bantahku.
Rozi tersenyum, "Iya sih. Tapi kalo beneran sayang, perasaan lo saat ini kenapa biasa aja ya?" Ucapan Rozi berhasil menohok pikiranku.
Bener juga sih.
"Gue juga gak tau, Rozi." Ungkapku jujur.
Sekali lagi, aku benar-benar tidak merasa sakit hati dengan keputusannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga terakhir, Camelia
Romance[Based on true story] "Kalo gue boleh milih itu udah pasti lo!" Camelia menyenderkan kepalanya di bahuku. "Andai aja gue belom dilamar sama dia, gue pasti masih menunggu sampai lo siap." Lanjutnya. "Iya gue percaya." Sahutku sembari membelai surai h...