14 - Just Remember What Butterflies Feel Like

9.8K 2.1K 136
                                    

Kegelisahan berasal dari pikiran.

Itu memang benar. Tetapi bagaimana Neri bisa menghapus kegelisahan dengan pikiran penuh begini? Berbagai hal mampir tanpa permisi di kepalanya. Bagai tamu tak diundang, dan maunya nongkrong lebih lama meskipun tidak diizinkan. Begitulah cara kerja pikiran.

Pra. Meskipun Neri bertekad menghapus pria itu dari pikirannya, nyatanya dia butuh waktu cukup lama untuk mengusir dia dari benaknya. Sampai saat ini ternyata Neri belum imun pada sahabat masa kecilnya itu. Ya Tuhan, susahnya menghindar dari tidak berpikir tentang dia!

Lalu Pak Steven. Pria yang tidak pernah mengatakan apa pun, tetapi tindak-tanduknya bisa membuat salah paham andai tidak disikapi dengan bijak. Hanya karena Neri begitu protektif pada pekerjaannya, membuatnya sangat berhati-hati agar tidak berbuat sesuatu yang salah. Yuke mengatakan kalau bos barunya itu mengesankan punya perhatian khusus padanya.

"Bukan aku saja yang menduga begitu, Ner. Yang lain juga. Kamu pikir, Virly jadi secemburu itu tanpa sebab yang jelas? Jangan salahin pandangan orang lain hanya karena kamu yang buta!" kata Yuke.

Hih, temannya ini selalu saja membuatnya mendapat tambahan amunisi buat puyeng kepala. Apalagi ketika ibunya juga bereaksi sama. Meskipun samar, Mama Lita tersayang ini kalau bicara bisa membuat Neri panas dingin tak keruan.

"Sepertinya kamu sudah benar-benar serius mencari calon suami, Ner," katanya tenang seperti biasa. Membuat Neri bungkam. "Mama sangat paham dengan hal itu. Tetapi tolong jangan abaikan Mama, ya? Jangan memendamnya sendiri. Ajak Mama bicara ya, Sayang."

Nah, lho! Neri cuma bisa menggeleng. "Belum ada apa-apa kok, Ma. Tapi Neri pasti bilang sama Mama kalau nanti sudah jelas akan bagaimana."

Dan itu kapan? Karena mereka sangat sibuk dengan pekerjaan. Jadi boro-boro sempat membahas gituan. Dengan asumsi Pak Steven niat membahasnya. Neri tidak mau membiarkan dirinya menunggu penih harap. Tetapi dia juga tidak bisa mengingkari kalau di malam-malam begini, pikirannya akan berkelana ke mana-mana, menciptakan berbagai imajinasi.

Cepat-cepat Neri bangkit dari tempat tidurnya dan meloncat

Pra mengangkat kepala dari buku yang dibacanya. Matanya terasa panas. Penanda waktu pada ponselnya sudah menunjukkan pukul sembilan lewat. Masih terlalu sore bagi bujangan sepertinya. Pra tidak pernah tidur sebelum pukul sebelas malam. Lewat tengah malam sih sering. Bahkan dini hari. Insomniaku semakin parah, pikirnya sambil memijit dahinya yang terasa berdenyut-denyut.

Lalu dia menghubungi Astrid. Dan menyesalinya sepuluh menit kemudian. Dia benar-benar sedang tidak ingin membicarakan urusan pekerjaan. Jadi laporan Astrid tentang peraturan baru untuk pengajuan penelitian itu membuatnya kehilangan minat. Masalahnya dia bisa menanyakan hal itu pada Bagian Administrasi Umum di kampus. Tentunya dia ingin mendengar hal lain dari tunangannya.

"Astrid, kamu nggak pengen apa jajan malam-malam gini?" tanyanya.

"Ha? Jajan? Ini jam berapa, Mas?" Astrid terdengar heran.

"Kan baru jam sembilan. Aku ke rumahmu, ya. Lalu kita jalan keliling kota. Kali aja ada tempat nongkrong yang menyenangkan."

"Kamu ada-ada saja. Nggak! Aku nggak pernah kayak gitu dan nggak pengen!" tolak Astrid.

"Sekali aja. Makan sate? Atau... hm... cari nasi goreng kambing?"

"Nggak! Aku nggak doyan makanan gituan. Aneh deh kamu. Pokoknya begini, info yang aku terima, yang terbaru, pengajuan proposal nggak boleh melewati tanggal..."

Aku sudah berusaha, Tuhan! Keluhnya dalam hati sambil kembali memijit-mijit pelipisnya yang semakin berdenyut-denyut.

"Oh ya, Mas, Papa tadi berpesan, Sabtu ntar kamu datang pagi, ya. Papa mau minta antar ke Mojokerto. Mas yang sopirin."

Marry Me Marry Me NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang