PART 40

2.1K 317 114
                                    

"Cukup! Jangan sentuh Papa lagi! Keluar dari sini sekarang juga!" teriak Torra pada ibunya ketika sampai di Tanah Timor, di rumah keluarga Mahardika. Ia dengan cepat melangkah masuk dan mencengkeram pergelangan tangan Theresa, membuat handai taulan yang tiba menjadi tercengang.

"Ma..mas? Kamu sudah sampai?" tanya Theresa terbata. Wanita paruh baya itu sudah lebih dulu memprediksikan hal tersebut di dalam isi kepala, dan berusaha menahan diri, meskipun rasa malu nyaris meledakkan amarahnya.

Theresa berharap Torra berhenti berbicara dan menghormati dirinya sebagai ibu kandungnya, tetapi tidak, ketika anak sulung itu kian membombardir dengan jutaan kalimat mematikannya, "Anda adalah penyebab kematian suami Anda sendiri! Aku akan membuat laporan Polisi dan Anda akan terkena pasal berlapis!"

Membuat adu mulut pun tak lagi bisa dihindari dari ibu dan anak laki-lakinya itu, "Mas, kamu--"

"--Mulai dari merencanakan pembunuhan istriku dengan makanan beracun, menyebabkan dia terjatuh di tangga karena Mbok Darmi tidak bisa diajak kompromi sampai bayi yang merupakan cucu kandung Anda itu meninggal dunia, lalu pasal lainnya adalah perbuatan tidak menyenangkan! Menipu, mencuri serta menggelapkan uang banyak orang!" Torra tak henti-hentinya mencecar, mengupas segala kesalahan fatal yang pernah ia terima dari Theresa, juga menciptakan kucuran air mata itu mengalir dari kelopak mata ibunya. 

"Mama tidak melakukannya, Mas! Mama--"

"--Aku sudah tidak peduli lagi dengan gengsi dan harga diri Anda, Nyonya Theresa Widayati Mahardika! Anda harus dihukum berat, supaya dapat mengerti dan juga membuang semua sikap iblis yang ada!" Sampai pada ketika Theresa berusaha untuk kembali mengelak segala dosa dan noda, maka saat itulah Torra mendapatkan akibatnya, sebab di sana ia masih saja mencecar.

PLAK

Ya satu tamparan yang cukup keras Theresa berikan pada Torra, menepiskan rasa malu setelah anak sulungnya meruntuhkan segala macam adab kesopanan dan juga norma kesantunan. Amarah tergambar jelas dari kedua bola mata Theresa, pun dari getaran di telapak tangannya.

Veronika yang muncul dari balik punggung Torra setelah menyelesaikan keperluannya di kamar mandi, pun menjadi ikut terbawa emosi, "Apa yang kalian berdua lakukan sebenarnya, hah? Sudah puas? Sudah puas saling menyakiti di depan jenazah Papa? Tuhannn... Tolong berhenti, Mas! Tolong..."

"Usir dia dari rumah ini, Veronika! Dia sudah bukan anak Mama lagi!" Air mata si bungsu yang cantik mengucur deras tanpa bisa lagi dibendung, tetapi Theresa seperti tuli dan mengesampingkan keinginan itu dengan kalimat pedas tiada henti.

Alhasil, lengkaplah segala kehancuran ketika Torra masih tak bisa menjaga lidahnya, "Anda yang harusnya keluar dari rumah ini, Nyonya Theresa Widayati! Rumah ini dibangun atas keringat Papaku dan juga usahaku sendiri!"

"CUKUP! Stop, Mas! Stop atau--"

Brugh

"Vero! Astaga! Sayang, bangun!" Oleh karena saat itu Veronika juga ikut menjadi korbannya, tak kuasa menahan putaran di kepala, jatuh dan sukses menciptakan kepanikan untuk Daniel.

Pria tiga puluh dua tahun itu dengan cepat mengangkat tubuh sang istri dan membawanya masuk ke dalam kamar tamu yang biasa mereka tempati ketika bermalam di rumah tersebut, meninggalkan ibu mertua, dan juga kakak ipar gilanya di luar sana.

Keegoisan memang sedari awal sudah terjadi dalam keluarga itu sejak dulu, karena sebagai ibu, Theresa sudah salah mendidik. Pun mendiang Thomas membiarkannya terus berkesinambungan tanpa berniat untuk memperbaiki sampai tuntas.

Segala kebaikan dinilai Theresa hanya dari segi kemapanan semata, bahkan pada darah dagingnya sendiri pun ia tak bisa mentolerir. Lantas ketika sang pendamai sudah tutup usia seperti sekarang ini, maka dengan sangat wajar jika satu demi satu bencana datang, dan meledak tanpa bisa dicegah.
     
Inna yang berada di kursi penonton pun tak mampu berbuat banyak selain diam dan membiarkan suaminya terus bersikap kurang ajar, sebab jauh di dalam lubuk hati, ia belum bisa memaafkan semua perbuatan ibu mertuanya itu. Selalu membekas seperti sayatan luka, tak memudar, walau sudah mencoba untuk mengobati dengan berbagai macam cara.

***

"Mas, makan dulu. Dari tadi aku belum lihat Mas isi perut lho. Makan kue Nanti sakit," bujuk Inna Bastari pada suaminya seraya menyodorkan sepiring kue dan juga air mineral kemasan.

Torra yang sedang duduk di samping peti jenazah, pun menoleh sekilas ke arah Inna, tetapi tidak berniat untuk menyentuh sepotong kue pun.

"Aku belum lapar, Sayang. Minum aja ya?" Namun, Torra berusaha membuat Inna tidak tersinggung, dengan mengambil air mineralnya saja.

Di hadapan Inna, Torra membuka tutup botol dan meneguk setengah dari isinya yang banyak, menerbitkan senyum getir di wajah istri kesayangannya.

Jujur saja, Torra berusaha menurunkan rasa kesal saat berada di dekat Inna, dan wanita itu pun menyadari.

"Aku simpan kue ini dulu ke belakang ya, Mas? Nanti aku ke sini lagi." Itulah sebabnya mengapa Inna mencoba untuk sedikit menjauh dengan alasan menyimpan nampan kue.

"Tidur sedikit, Sayang. Naik ke kamar kita di atas ya? Semua pakaianmu masih ada kok. Handphone kamu juga masih ada. Aku taruh di laci meja rias." Namun, Torra membalas ucapan itu demikian, seolah ia pun mengetahui gejolak batin Inna yang kurang bersahabat dengan keadaan mereka saat ini.

Bak gayung bersambut, Inna menuruti perkataan Torra menggunakan dua kali anggukan kepala, sebelum akhirnya pergi dari sana. Ia berjalan cepat membawa rasa risih yang semakin menjadi-jadi, tetapi keadaan seperti enggan berpihak padanya, ketika tubuh tinggi semampai Laura tak sengaja menabrak dan membuat kue-kue itu berceceran ke lantai.

"Aduh-duh! Sorry ya, In. Aku nggak sengaja," ujar Laura merunduk, memunguti kue-kue, berdiri dan meletakkannya kembali di atas nampan.

"Egh, iya. Ng..nggak apa-apa." Membuat Inna harus menahan napasnya hingga empat detik lamanya.

"Sudah selesai. Well, Torra sedang berduka, jadi sebaiknya kau menemaninya sampai akhir kalau memang kalian berdua sudah baikan. Jangan membiarkan dia sendirian di depan, karena itu akan membuat Tante Tere dengan leluasa merusak hubungan kalian lagi. Em, by the way ada yang harus kamu tahu soal masa depan suamimu. Sekarang ini dia adalah kandidat yang mendapatkan kursi calon orang kedua di Kabupaten Kupang. Kalau kamu masih belum mengerti juga, dia adalah calon wakil Bupati Kabupaten Kupang dari partai kami. Awal Juli tahun depan adalah waktu pemilihannya, jadi untuk saat ini dia akan sibuk mengurusi segala sesuatu tentang itu, ditambah dengan pekerjaan sebagai seorang kontraktor. Aku dan dia masih berada dalam satu lingkup dalam dunia politik. Kukatakan ini lebih awal padamu, supaya lain kali kamu nggak salah paham, kabur-kaburan lagi dan secara nggak langsung membuat masa depan suamimu rusak. Aku sangat tahu ini adalah cita-cita dia sejak awal masuk partai karena kami pernah bersama dulu. Itu aja. Aku harus pulang karena masih banyak hal yang perlu diselesaikan. Titip Torra. Tolong bahagiakan dia!" Laura dengan leluasa bergerak tanpa ada rasa canggung sedikitpun seperti apa yang Inna rasakan saat itu, bahkan tak tangung-tanggung, ia juga menjelaskan segala sesuatu tentang urusannya dan Torra sebagai kader partai.

Laura melakukan semua itu bukan tanpa alasan, "Tunggu, Laura!"

"Iya?" Sebab Laura tidak ingin Torra kembali gagal atas harapan yang secara tidak langsung juga ia perjuangkan.

Tidur dengan petinggi partai lain yang lebih berpengaruh, menghamba dan rela menjadi wanita simpanan adalah diri Laura Wijaya demi terwujudnya keinginan seorang Torra Mahardika, "Makasih. Akan aku usahakan dengan catatan, tolong jangan berlebihan padanya, karena dia bukan lagi milikmu. Kami sudah menikah." 

"Iya. Tenang saja. Akan kulakukan sebisaku." Kendati sakit, entah mengapa kini Laura mulai merasa nyaman akan statusnya sebagai wanita kedua.

***

BERSAMBUNG. MAAF LAMA. BESOK SEMOGA CEPAT. MAKASIH...

Tolong, Ceraikan Aku! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang