"Makanya kalau naik motor harus fokus, lihat sendiri kan akibatnya" kata Kai dengan nada khawatir seraya menatap luka di kaki putranya.
"Iya, ayah. Aku tidak akan mengulangi lagi" jawab Mark dengan penyesalan mendalam terlihat di wajahnya yang lelah.
"Ya sudah, sebaiknya kamu langsung ke kamar dan beristirahat. Haechan, antar kakakmu ke kamar" perintah Kai matanya penuh kasih sayang namun masih dipenuhi kecemasan.
"Baik, ayah" Haechan menjawab, mengulurkan tangan untuk membantu kakaknya berdiri. Mereka melangkah perlahan menaiki tangga. Mereka berjalan ke lorong yang dipenuhi foto-foto kenangan keluarga memberikan sedikit kenyamanan di tengah ketegangan.
Sesampainya di kamar, Haechan membantu Mark berbaring di ranjang. Ruangan itu terasa sunyi, hanya suara napas Mark yang terdengar berat. "Kak, katakan kepadaku siapa yang telah membuatmu seperti ini?" tanya Haechan, suaranya penuh kecemasan.
Mark mengangkat wajahnya, berusaha tersenyum meski rasa sakit menghimpit. "Tidak ada. Aku terjatuh dari motor karena tidak fokus" jawabnya dengan suara tenangnya berusaha meyakinkan adiknya sendiri.
"Kakak pikir kakak bisa membodohi aku?" Haechan membalas, suaranya mengandung ketidakpercayaan.
"Kak, kita punya musuh. Ingat? Ibu hampir dibunuh oleh pria itu. Jadi kakak tidak bisa membodohi aku begitu saja" desak Haechan dengan matanya mulai berkilau dengan kemarahan.
Mark menghela napas, merasakan beratnya kenyataan. "Aku tahu, Haechan. Kita memang punya musuh, tetapi itu tidak berarti setiap hal buruk adalah serangan."
"Kakak pikir aku percaya begitu saja?" tanya Haechan dengan nada suaranya meninggi.
Mark meraih tangan adiknya, berusaha menenangkan. "Tenanglah dulu, Haechan. Aku akan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi."
Dengan suara yang lebih pelan, Mark mulai menceritakan insiden yang dialaminya. Haechan mendengarkan dengan penuh perhatian, tetapi ekspresi wajahnya semakin tegang. Setiap kata Mark menambah rasa gelisah di hatinya. Ketika Mark selesai berbicara, kemarahan Haechan meledak.
"Brengsek! Aku tidak akan memaafkan kamu, Felix!" Geramnya dengan emosi, suaranya penuh kebencian.
"Tenanglah dulu, Haechan" ucap Mark, berusaha menenangkan adiknya. "Ini bukan saatnya untuk bertindak gegabah. Kita harus berpikir jernih."
Haechan menatap kakaknya, matanya berbinar penuh emosi. "Kak, dia sudah membuatmu terjatuh dari motor. Aku tidak bisa hanya duduk diam dan membiarkannya begitu saja!"
Mark menghela napas, merasakan beban di dadanya. "Aku mengerti perasaanmu, tapi kita tidak bisa menggunakan kekerasan untuk membalasnya. Itu hanya akan membuat keadaan semakin buruk."
"Aku tidak berjanji, kakak" jawab Haechan, suaranya tegas sebelum ia berbalik dan meninggalkan kamar.
Mark memandang punggung Haechan yang semakin menjauh, bayangan adiknya mulai memudar di balik pintu. Ia menatap langit-langit kamarnya yang remang-remang, merasakan tekanan di dadanya. Dalam pikirannya, banyak musuh tampak mengintai, siap menerkam mereka. Jika Haechan melanjutkan rencananya, kekerasan hanya akan menambah daftar musuh mereka. Dan Mark tak ingin hal itu lihat terjadi.
Sementara itu di kamarnya, Haechan berdiri sejenak, merasakan amarah menggelegak dalam dirinya. Rasa perlindungan terhadap kakaknya menyulut semangatnya. "Awas saja, Felix. Aku akan membalasnya. Kau akan merasakan sakit yang sama seperti yang kakakku rasakan," geramnya dengan suara penuh kemarahan. Haechan tahu bahwa jalan yang ia pilih bisa berbahaya, tetapi rasa sakit yang dialami kakaknya tidak akan dibiarkan begitu saja. Dalam hatinya, ia berjanji untuk melakukan apapun demi melindungi keluarga mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Strength Of Us
Hayran KurguMengisahkan hubungan antar dua bersaudara Mark dan Haechan yang telah menghadapi berbagai tantangan dalam hidup mereka ( ⚠No bxb)