15 - Growing Up

9.9K 2K 233
                                    

Pacaran itu kayak narkoba, Ner. Kalau kamu nggak hati-hati, kamu bakal kecanduan dan susah untuk melepaskan diri!

Itu adalah ucapan yang disampaikan oleh Pra dulu, ketika mereka sedang mengobrol random tentang hubungan antara cowok dan cewek, pria dan wanita.

Jangan coba-coba menerima dengan mudah permintaan pria yang mengajakmu pacaran. Banyak tahapan yang harus kamu lalui, dan kamu harus yakin akal sehatmu masih jalan. Sebab bisa dibilang kita ini hanya bisa mengandalkan diri sendiri. Kalau terjadi apa-apa yang tidak diinginkan, kita nggak punya orang lain yang akan melindungi.

Neri memalingkan wajah dari tatapan tajam Pak Steven.

"Ner..."

"Maaf, Pak. Saya nggak akan pura-pura lugu dengan menanyakan hubungan macam apa yang Pak Steven maksud. Tetapi boleh saya menyampaikan pendapat saya?" tanya Neri, berusaha menguatkan hati. Gema suara Pra seolah tak mau pergi dari kepalanya. Akal sehat, Neri! Akal sehat! "Menurut saya, menjalin hubungan itu lebih baik diawali dari teman dekat saja. Untuk membiasakan diri dan saling mengenal lebih baik dari sekadar teman biasa. Benar kan, Pak?"

Pria itu menyipitkan mata dan mengamati Neri dengan penasaran. "Artinya kamu lebih setuju kita berteman dekat dulu? Begitu?" tanyanya kalem.

Neri terkejut. Tidak menduga kalau atasannya bisa memahami dengan cepat. "Iya. Ehm... karena saya ingin kita saling mengenal dengan lebih baik sebelum memutuskan kita bakal cocok atau tidak," kata Neri. Melihat bagaimana pria itu menatapnya membuatnya malu dan buru-buru menundukkan kepala.

Melihat gadis yang sedang salah tingkah di hadapannya, pria itu tertawa. "Neri... Neri... ternyata masih ada gadis lugu seperti kamu. Padahal kalau sedang bekerja kamu itu dewasa banget dan tegas gitu. Sekarang jadi lucu kalau malu-malu begini."

Haruskah Neri mengatakan kalau sebelum ini dia tidak punya pengalaman didekati cowok?

"Oh ya, Ner. Sebagai permulaan, boleh kan aku meminta satu hal?"

"Eh? Apa?" tanya Neri polos.

"Kalau sedang berdua begini, jangan panggil aku Pak, dan hilangkan formalitasnya. Oke?"

"Lalu saya panggil apa?"

"Terserah. Asal bukan Pak. Dipikir sambil jalan, ya."

Neri mengembuskan napas dengan lega. Ternyat tidak sulit. Makasih ya, Pra, kamu membantuku berpikir dan tidak buru-buru memutuskan. Jelek-jelek kamu ada gunanya juga!

"Oh ya, Ner, berarti petang ini kita bisa makan malam bareng? Mau kan?"

Neri terkejut. "Maksudnya Pak..."

"Ups! No... no... no... Bukan Pak lagi. Udah deh, panggil aja Steven, biar gampang."

"Tapi kan..."

"Ner, aku bukan orang Jawa yang terbiasa memanggil orang dengan embel-embel mas, mbak, dan sebagainya. Feel free to call my name. Oke?"

Dengan berat hati akhirnya Neri menghela napas panjang. Lalu mengangguk dan tertawa, serta mengulang lagi pertanyaannya. Kali ini dia harus memikirkan kalimatnya dengan benar. "Kamu mau makan malam sama aku? Bukannya kamu harus cepat pulang biar nggak kemalaman?" tanyanya menghindari menyebut Steven secara langsung. Canggung, tahu!

"Kalau pun kemalaman nggak apa-apa. Toh sudah ditemani sama kamu, Ner."

Steven orang marketing. Dia paling tahu cara menyederhanakan sesuatu agar konsumen dengan cepat bisa mengambil keputusan. Hm...

"Baiklah. Tunggu bentar ya, aku finalin kerjaan ini dulu. Baru kita keluar."

"Motormu ditinggal aja. Ntar aku anter pulang."

Marry Me Marry Me NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang