"Dik, menurut lo kepastian hukum itu kaya gimana?"
"Ya menurut gue, setiap aturan yang dibuat harus sejalan dengan apa yang terjadi di lapangan. Terus kalau aturan itu pasti hukumnya, maka tidak perlu lagi adanya aturan tambahan. Mau itu PP ataupun SEMA dan aturan lain yang mengikutinya."
Abdi menghela napas.
"Kalau pemahaman lo kaya gitu, artinya lo bukan mau bikin skripsi. Tapi tesis atau disertasi. Lo harus bikin penelitian mendalam, sampai akhirnya lo buat teori hukum baru."
Dika kini mengerutkan dahinya.
"Nggak gitu, Bang. Kita liat di lapangannya aja. Kasus Narkotika yang gue ambil ini di dalam Undang-Undang No.35 tahun 2009 ada pasal yang tumpang tindih. Di pasal 54, dijelaskan kalau penyalahguna wajib di rehabilitasi. Sedangkan di pasal yang lain dijelaskan, ada sanksi pidana minimal dan maksimal jika seseorang menyimpan atau menguasai jenis narkotika golongan 1 dan golongan 2. Itu ada di pasal 111 sama 112. Masalahnya disini, dalam pasal 111 dan 112 itu nggak ada kepastian hukum dalam arti menyimpan dan menguasai. Baik penyalahguna ataupun bandar posisinya sama-sama menyimpan dan menguasai. Jadi pasal itu dipakai untuk keduanya, posisinya si bandar dan penyalahguna kedudukannya sama, dan itu nggak adil. Sehingga kalau merujuk dari teori kepastian hukum yang gue pakai, tujuan hukumnya tidak tercapai."
"Jadi gini Dik, isi pasal 111 dan 112 tentang setiap orang yang menyimpan, menguasai itu sudah jelas letak perbedaanya dalam proses pembuktian yang sudah diatur di dalam SEMA No.4 tahun 2010. Hakim juga dalam memutus nggak akan sewenang-wenang, dia akan mempertimbangakan segala aspeknya. Selain berdasarkan pembuktian di persidangan, hakim juga punya wewenang memutus berdasarkan hati nuraninya. Dan kalau lo masih tetep bersikukuh dengan dikeluarkannya aturan tambahan itu malah membuktikan ketidakpastian dalam hukum, maka artinya semua aturan Undang-Undang di Negara ini tidak pasti, karena acuannya balik ke KUHP, kecuali Undang-Undang ITE. Nah sekarang gue tanya, asas legalitasnya masih berlaku atau enggak kalau gitu?"
Dika kini termenung.
Laila kemudian berjalan menghampiri mereka berdua sambil membawakan dua mangkok es buah untuk mendinginkan diskusi.
"Makan dulu, nanti lanjut lagi bahas skripsinya."
Dika yang nampak stres, langsung merasa baikan saat Laila tersenyum penuh perhatian padanya.
"Jangan dibawa stres, kalau stres skripsi kamu nggak akan beres. Terus jangan terlalu terpaku sama hasil yang kamu mau dalam penelitian, dan malah jadi ribet sendiri ke kamunya. Ambil gampangnya aja, yang penting skripsi kamu cepat selesai dan beban pikiran kamu hilang."
"Biar nggak jadi beban keluarga juga!" timpal Abdi meledek.
Laila melotot memperingati Abdi.
"Kalau kamu yang ngomong, aku langsung adem ya." ujar Dika tersenyum.
"Yang sopan kalau ngomong!" sergah Abdi langsung memukul kepala Dika.
"Gue udah sopan, Bang!" balas Dika membentak.
"Aku-kamu apaan?! Dia lebih tua dari lo!"
"Ya terus kenapa?! Gue mencoba menggakrabkan diri!" Balas Dika tak mau kalah. Lalu ia kembali menoleh ke arah Laila. "Boleh kan?" Mata Dika membulat penuh harap.
"Boleh." jawab Laila dengan senyumnya yang membuat Dika kemanisan.
Dika tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya kepada Laila. Selain cantik, senyumnya manis, pengertian pula. Rasa ingin memiliki semakin memuncak.
"Nih makan dulu es buah nya! Biar otak lo yang beku, mencair!" titah Abdi yang membuat Dika sedikit naik pitam. Tapi Dika harus menahan diri, karena bagaimanapun Abdi sudah baik padanya. Terlebih, Abdi adalah aset untuk kelangsungan hidupnya kedepan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laila, Nikah yu! (Revisi)
RomansaMarwan Abdi Pradipa, atau yang akrab dipanggil Abdi dan kadang-kadang Mawar, adalah sosok playboy bersertifikasi yang sedang mencoba untuk bertobat. Alasan dia bertobat adalah satu, dia jatuh cinta kepada Laila dan ingin menikahinya. Namun perjuanga...