00.00

401 34 20
                                    

"Woy, No! Buruan kenapa sih? Lu kayak nggak kenal pak Nardi aja! Lu mau disuruh bersihin lapangan basket apa kalo kita telat masuk kelas?"

"Iya buset, sabar sabar. Roti gua masih setengah ini!"

"Ya lu makan sambil lari kek! Kita udah telat!"

Lino buru-buru memasukkan setengah roti isinya kedalam mulut. Kemudian berlari menyusul sosok yang sedari tadi meneriakinya.

Semester 3.

Satu tahun setelah dia lulus SMA ternyata terasa sangat cepat. Lino mendongak keatas. Melihat langit yang bersih tanpa ada awan putih. Mengangkat telapak tangan kanannya untuk menghalangi sinar matahari yang menyengat wajahnya.











"Hari ini cerah. Gua harap lo punya hari yang indah, Lix."









•••

"Hey yo wassap bro!"

Suara sapaan Darrel yang khas.

"Sore bang Lino. Gimana semester 3 perkuliahannya?"

Suara kepedulian tulus dari seorang Adriell.

"Eh No, gua ada barang baru. Bisa bantuin gua paid promote nggak? Lo yang poto gua gitu, gua modelnya."

Suara kepercayaan diri Haris.

"No, mau minum apa? Mas ambilin."

Suara menenangkan milik Chris.

"Saya nggak mau tahu ya. Itu besok proposalnya udah harus sampe ke tangan saya."

Suara tegas dan berwibawa Deva yang sedang bicara lewat telepon.

"No, bantuin mas bakarin ini ya. Itu si Darrel malah asik main game."

Suara kesal milik Wira.

"Jangan ganggu gua dong, gua tu harus selesai baca buku ini malem ini juga."

Suara merajuk yang khas. Dana.

Lino tersenyum. Sahabat-sahabat baiknya, sahabat-sahabatnya yang berharga. Semua ada disini.











Kecuali suara manis nan pedas milik Felix.








•••

"Bunda..."

"Eh anak bubda udah pulang. Gimana?"

"Gimana apanya bun?"

"Kamu mau bilang apa, bilang sini sama bunda."

Bunda merentangkan kedua tangannya. Mengisyaratkan agar Lino jatuh dalam pelukannya.

Lino tidak bergerak. Ada sesuatu yang sangat ingin ia luapkan, tapi bibirnya terkatup rapat.

Bunda mendekati Lino, memeluknya dengan hangat, menepuk pundaknya dengan pelan.

"Anak bunda keren. Anak bunda udah ngelakuin yang terbaik hari ini. Anak bunda hebat. Anak bunda hebat karena sudah bertahan sejauh ini. Anak bunda ganteeenggg banget. Anak bunda, Fellino Argi Alvaro."

Air mata Lino menetes. Isakan kecil keluar dari mulutnya. Ada rasa sakit yag ingin dia sampaikan. Ada rasa sedih yang ingin dia ungkapkan. Dadanya menyesak. Udara seakan tidak bisa masuk kedalam paru-parunya.

Lino membalas pelukan bunda dengan erat. Meremas baju bunda untuk menahan tangisnya.

"Kamu bisa berhenti kelihatan nggak papa didepan bunda, sayang. Kamu bisa jujur tentang semua perasaan kamu dipelukan bunda. Bunda tahu ini berat. Sudah pasti berat. Tapi bunda yakin. Yakin banget kalau kamu, Fellino, anak bunda, itu udah ngelakuin yang terbaik sampe sekarang. Bertahan. Bunda disini, disamping kamu nak."













•••



Chris menyodorkan bunga lily putih kearah Lino.

"Lo yakin udah siap, No? Gua bisa pergi sendiri kalau lo nggak mau."

Lino menghela napas pelan.

"Gua yakin. Gua nggak papa bang. Gua bisa jamin itu atas nama gua sendiri. Ayo berangkat. Gua pengen ketemu Felix."

Chris mengangguk. Menepuk pundak Lino pelan. Mentransfer sedikit tenaganya.




•••





"Oy, Lix."

Angin berhembus pelan. Membuat rambut Lino sedikit berantakan.

"Gua..."

"Gua kangen sama lo, Lix."











Sudah satu tahun.

Satu tahun sejak kecelakaan pesawat itu.

Kecelakaan pesawat yang menyebabkan sahabat tercintanya pergi begitu saja.

Kecelakaan pesawat yang merenggut mimpi dan impian sahabatnya begitu saja.

Lino menggigit bibirnya yang bergetar. Dia tidak mau menangis. Tidak lagi.

Satu tahun ini dia berusaha membangkitkan dirinya sendiri dari keterpurukan.

Membangkitkan dirinya sendiri dari kesedihan dan penyesalan.

Kata-kata terakhir Felix sebelum pergi meninggalkannya terlintas dikepalanya.

"Gausah cengeng. Gua cuma ke Australi buat belajar, No. Kalau libur gua pasti main kesini, kok. Lo juga bisa liburan kesana. Kita sama-sama punya jalan yang berbeda buat ngewujudin mimpi kita, kan? Banggain dan jagain bunda ya, No. Gua berterimakasih banget masa-masa SMA gua dihiasin sama orang-orang baik kayak kalian. Cepet punya adek, ya!"










"Jalan kita udah beda ya, Lix? Bener-bener berbeda. Bener-bener nggak ada yang bisa mempertemukan kita lagi."

Lino menyeka setetes air mata yang lolos terjun dipipinya.

"Gua udah semester 3 sekarang, Lix."

"Bunda hamil."

"Mas Chris dapet promosi kenaikan jabatan."

"Deva masih sibuk."

"Dana masih suka ndekem diperpus."

"Darrel Haris masih suka ngerusuh."

"Adriell masuk SMA. SMA kita dulu."

"Mas Wira sekarang buka coffe shop. Kopinya enak, Lix."








Air matanya bertambah deras. Lino terduduk didepan batu nissan Felix. Tangannya meremas lutut dengan keras.

"Maafin gua Lix, maafin gua. Gua harusnya ngeyakinin lo buat tinggal disini dan nggak ngelepasin lo. Harusnya gua ngelakuin itu, Lix... Maafin gua."

Titik-titik air terasa membasahi puncak kepala Lino. Hujan. Hujan mengingatkannya pada Felix yang tidak suka suara guntur.

Lino tersenyum. Menghapus air matanya, membuangnya jauh-jauh agar tidak kembali turun dipipinya.

"Sekarang lo nggak perlu takut sama suara guntur lagi. Lo udah nggak perlu gua buat nemenin dan nutupin telinga lo kalau lagi hujan deres."

"Lix. Gua bakal hidup sebaik mungkin didunia ini. Gua bakal ngeraih mimpi-mimpi gua. Gua bakal jagain bunda, gua bakal jagain sahabat-sahabat kita."






























"Gua akan hidup dengan baik. Jadi, pergi dengan tenang ya, Felix Adrian Adinata. Sampai kapanpun, gua bakal tetep jadi Fellino Argi Alvaro yang suka ngusilin lo. Gua bakal tetep jadi Lino, sahabat terbaik lo."




























•TAMAT•

JUST FRIENDS |•TAMAT•|✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang