Faith auto berhenti nangis waktu gue duduk bersila di depannya sambil bertopang dagu.
Doi mengangkat wajah, menatap gue dengan wajahnya yang sembap. Kayaknya sih kaget juga karena gue yang datang nggak pake permisi. Lagian, ini rumah gue, ngapain juga harus pake permisi sama doi?
Matanya bengkak kayak udah lama banget nangisnya. Duduk berhadapan gini, bikin gue bisa memperhatikan garis kerutan di sekitaran mata, juga lingkar hitam di bawah mata.
"Nangis itu udah jadi hobi sejak lahir ya, Sis?"
Demi apa ya, gue nggak maksud ngejek, tapi mulut gue nggak sinkron dengan otak dan hati gue yang merasa kasian.
"Lu abis darimana? Kenapa jam segini baru pulang?" tanyanya parau.
"Mau ngapain nanya-nanya? Bukan urusan lu," jawab gue ketus.
Ekspresi muka Faith malah tambah sedih, lalu mulai terisak sambil natap gue. Anjir, kok jadi malah lebay gini?
"Lu kenapa?" tanya gue panik.
Doi nggak jawab, cuma langsung mendekat untuk memeluk gue. Kenceng banget pelukannya, sampe gue terjengkal ke belakang dan doi di atas gue.
Bagus! Gue merasa kayak lagi bergulat di WWF, dengan Faith sebagai The Rock, dan gue Triple H. Duo musuh bebuyutan yang bikin gue bego banget waktu nonton itu dan sangkain beneran. Nggak tahunya cuma rekayasa. Sial.
Bedanya, gue nggak berontak ato berusaha menggeliat, tapi cuma diem aja. Cewek itu masih nangis kayak gue udah mau mati.
"Udah, jangan cengeng. Kesambet apaan sih?" tanya gue sambil merengkuh Faith dalam pelukan yang lebih erat.
"Gue takut lu nggak pulang-pulang," jawab Faith sedih.
"Nama aing Babon, bukan Toyib, Sis," celetuk gue yang langsung kena pukulan pelan di dada.
Biar pelan, tapi ngefek juga. Napas gue sempet ketahan dan auto melotot ke arah Faith. "Sakit, anjir!"
"Biarin! Kesel banget sama lu! Jadi orang nggak ada serius-seriusnya!" sahut Faith emosi.
"Yah, kalo mau diseriusin, harus siap dibecandain duluan," balas gue keki.
"Isian mulut lu tuh mercon! Nggak pernah enak didenger, tapi meledak trus!"
"Mulut gue emang nggak enak didenger, tapi enakin buat hal lain."
Faith kayak mau mukul gue, tapi kali ini nggak dapet karena tangannya udah keburu gue tangkep, lalu berguling ke samping buat ganti posisi. Sekarang, doi yang di bawah gue.
Kami sama-sama terdiam dan saling menatap sekarang. Ada perasaan asing yang bikin gue berdebar, sesuatu yang nggak bisa gue ungkapin dalam kata-kata. Auto mikir ulang soal topik obrolan gue dengan Chandra dan Joy tadi.
"Kenapa nangis?" tanya gue pelan.
Tangan gue spontan membelai wajah Faith, karena doi kayak mau nangis lagi. Gue liatnya aja capek, tuh cewek apa nggak capek nangis mulu?
"Jawabnya jangan pake nangis bisa, gak? Gue ngomong kan udah pelan," lanjut gue jenuh.
"Karena gue sedih," balasnya lirih.
"Kenapa?"
"Gue merasa sendiri, Hans. Gue takut. Udah jam sebelas, lu nggak pulang. Biasanya, jam tujuh ato delapan, lu udah di rumah."
Fuck! Jadi, doi nangis di pojokan karena gue pulang jam segini? Kok mendadak jadi merinding gini?
"Lu bisa telepon gue buat nanya," ucap gue cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
SKINSHIP (FIN)
ChickLitThe fiction to the fuckest story #3 The closeness between them, bonding through intimacy of touch. Then it gets so bad, that one day you get breakdown. They make choice based on emotion, then use what they call logic to justify their choice. When...