Mataku enggan tertutup sedari tadi.
Aku memilih tidur lebih dulu dari yang lainnya. Tersisa beberapa menit lagi sebelum pukul 12:00 menjemput.
"Del lo mau ke mana?"
Aku memeluk tubuhku yang sudah diselimuti jaket sesaat setelah beranjak berdiri hendak meninggalkan yang lain. "Gue duluan Ndy. Gak kuat."
"Hah?" Indy mengecek jam tangannya. "Ini tuh masih jam set 12 Delll. Masa lo cabut duluan di malming trip kita."
"Gue gak bisa begadang soalnya," alasanku.
Aidan melirikku dan tanpa basa-basi, aku pun berkata, "gue duluan ya."
Aku bohong. Mana ada aku tipikal yang tidak bisa begadang? Toh biasanya aku akan tidur saat sholat subuh usai. Aku hanya mencoba untuk menghindari Indy.
"Lo salah paham Dan." Aku menggeleng segera.
"Gue sama sekali belum suka sama Adimas," lanjutku.
Anak laki-laki itu lagi-lagi mendengus tersenyum sumbang. Aku mengernyit belum pernah melihat ekspresi Aidan seperti ini.
"Belum," katanya. Gitar yang dipegangnya disandarkan di patahan batang pohong yang didudukinya.
"Gini loh." Aku menumpu sikut di kedua lutut. Dudukku kuatur senyaman mungkin. "Gue seharusnya gak sedeket ini kan sama Adimas?"
Aidan mengenakkan kupluknya aku tak lagi dapat melihat wajah anak lelaki itu dari samping. "Menurut lo?"
"Yah enggak."
"Lo udah tau jawabannya kenapa malah nanya gue?"
Aku menggaruk leher yang kebetulan gatal. "Maksud gue ... gue tuh pengen denger pendapat lo."
"Gak satu orang aja yang suka sama dia," ucap Aidan ambigu.
"Jadi?"
"Kenapa harus khawatir ngelukain hati Indy?"
"Karna dia sahabat gue. Posisinya sama kayak lo ke Adimas. Gimana perasaan lo saat tau-taunya orang yang lo harepin malah disukain sama sahabat lo sendiri? Gila banget."
"Gue khawatir Indy punya asumsi itu."
"Salah?"
"Ya jelas salah. Gue sebagai sahabat harus paham, sekalipun gue belum punya perasaan suka ke Adimas."
"Lo bohongin diri lo sendiri."
"Ma-maksud lo?" Mataku memicing antara alisku mengernyit.
"Gak mungkin lo gak suka sama modelan kayak Adimas." Aidan kembali memetik senar gitar memainkan instrumen yang berbeda-beda.
"Adimas temen gue woi sama halnya lo ke gue. Kita cuman temenan."
Aidan menurunkan kupluk hoodie-nya. Dia sedikit memberiku putaran matanya namun dilakukan secara halus. "Jadi, gimana perasaan lo sekarang?"
"Gue gak tau."
"Kenapa harus khawatir, gue tanya?" Aidan menghembuskan napas lalu berdecak setelahnya.
"Karna gue takut persahabatan kita rusak?" Aku terkekeh.
"Pertemanan yang gak toxic ketika lo berdua gak saling cemburu satu sama lain dalam bentuk apapun. Gak saling berkompetisi apalagi ke orang yang disuka."
"Dia gak bisa maksa orang yang dia suka itu, harus suka balik ama dia."
"Ma-maksud lo Adimas gak ada perasaan yang sama ke Indy?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bully and The Victim
Teen FictionAda takdir yang mampu diubah oleh manusia, usaha untuk memperbaiki dirinya dan yang diimpikannya. Bagaimana ketika dulu ia yang terburuk kini menjadi yang terbaik. Bagaimana ketika mimpinya yang cerah tak secerah milikmu. Dan bagaimana ketika ia...