Dua belas

55 4 0
                                    

"Abang ?"

"Hei mau kemana lo ? Itu pertunjukkan udah mau dimulai."

Langkahku untuk menghampiri sosok bertubuh tinggi besar itu terpaksa terhenti. Asni sahabatku itu sekarang sudah menahan salah satu lenganku dengan erat.

"Eh, Itu...."

Aku menepis tangan Asni yang bertengger di lenganku lalu melangkah cepat ke arah di mana sosok itu tadi berdiri.

"Lho kok hilang ?"

Aku berputar ke sana kemari mencari sosok itu. Namun, hanya dalam hitungan detik sosok itu lenyap entah kemana. Padahal aku yakin benar bahwa orang itu tadi berdiri di tempat sekarang aku berdiri. Apa mungkin aku salah lihat ? Rasanya tidak.

"Ngapain sih lo muter - muter gak jelas gitu ? Nyari siapa sih ?" tanya Asni dengan nafas yang masih tersengal - sengal. Sepertinya ia sempat berlari tadi untuk mengejar ku.

"Bang Arie, As. Gue yakin tadi dia ada di sini." Aku kembali mengedarkan pandanganku ke sepenjuru arah. Namun nihil. Dalam sekejap mata, pria itu hilang tanpa jejak.

"Halu lo. Orang gak ada juga." Asni turut mengedarkan pandangannya mencari sosok pria bertubuh tinggi besar itu. "Udah ah, matamu kali yang eror. Akibat kelamaan ngegalau jadi gini deh. Korslet." Asni memutar bola matanya sambil berlalu meninggalkanku yang masih berusaha mencari sosok yang mengusik hati dan pikiranku.

***

Jam sudah menunjukkan pukul 06.30 WIB. Sebentar lagi kegiatan pembelajaran akan dimulai. Aku bergegas meninggalkan kantor guru menuju ruang kelas untuk menyambut anak didikku. Mungkin diantara mereka sekarang sudah ada yang tiba di kelas mengingat ada beberapa murid yang diantar lebih awal oleh orangtuanya karena harus berangkat bekerja.

Hari ini aku memang sedikit terlambat dari biasanya. Hal itu tidak terlepas karena drama Korea yang aku dan Asni tonton semalam suntuk. Meski aku tidak terlalu suka menghabiskan waktu dengan menonton tapi berhubung otakku yang lagi stres, ditambah lagi film yang ditayangkan menceritakan perjuangan seorang pria berkubutuhan khusus untuk meraih gelar dokter membuatku tertarik.

"Pagi, Miss."

"Pagi..." Aku balas menyapa pria dengan stelan olahraga khas SD Mutiara. Pakaian yang merupakan seragam khusus untuk guru olahraga di sekolah Mutiara.

"Mau ke kelas, Miss ?"

Aku tersenyum ramah lalu mengangguk.

"Oh, bareng kalau gitu. Saya juga mau ke kelas."

Aku kembali mengangguk lalu kami melangkah beriringan menuju ruang kelas. Dari hasil obrolan yang kami lakukan untuk mengisi waktu selama perjalanan, aku mendapatkan informasi bahwa pria yang bernama Junsen itu akan mengisi jam pelajaran olahraga di kelas 1D pada jam pertama dan kedua.

Begitu tiba di depan kelas, aku langsung pamit untuk masuk ke dalam kelas lebih dahulu, sementara Junsen melanjutkan perjalanan menuju kelas yang ada di pojok lorong.

"Morning All."

Senyumku mengembang sempurna ketika menyapa beberapa anak yang sibuk bermain sambil menunggu waktu pembelajaran dimulai.

"Morning, Miss." sahut mereka dengan senyum yang tak kalah lebar. Beberapa anak yang tadinya sibuk bermain langsung berlari menghampiriku dan berebut menghambur di pelukanku.

"Slowly baby." seruku sambil tertawa geli.

"Miss Vina wangi." seru Feli sambil mengendus tubuhku layaknya anjing pelacak.

"Ia benar." Anak lainnya memejamkan matanya lalu menghirup nafas dalam - dalam.

"Hmm... wangi."

Tingkah konyol mereka inilah yang selalu kurindukan. Kepolosan mereka dalam bertindak seringkali membuatku tertawa lebar seakan tak punya beban. Sama seperti sekarang ini. Apa yang dilakukan oleh Feli beserta beberapa anak - anak kelas 1C yang lain membuatku melupakan sejenak masalah yang membelitku kini. Baik masalah perjodohan atau pun masalah Bang Arie yang hingga kini tak bisa dihubungi.

"Morning, Miss Vina."

Aku menoleh ke arah pintu masuk. Di saat yang sama juga anak - anak yang tadinya berkumpul di sekelilingku sudah berhamburan entah kemana.

Di depan pintu kelas 1C sudah berdiri dua orang pria beda generasi. Yang satu mengenakan seragam putih merah lengkap dengan topi dan dasinya, sedangkan yang satunya menggunakan stelan batik berwarna merah marun yang dipadukan dengan celana bahan berwarna hitam. Tak dapat kupungkiri bahwa keduanya memiliki pesona tersendiri yang mampu membuat kaum Hawa tersihir. Termasuk diriku.

"Morning, Randy." Aku tersenyum lebar menyambut muridku itu. Mengulurkan tanganku yang langsung disambut olehnya kemudian mencium punggung tanganku dengan khidmat.

"Anaknya doang yang disapa, Miss ? Papanya enggak ?"

Wajahku seketika memanas saat pria itu tersenyum jahil dengan mata yang menyorot lembut ke dalam netraku. Apa yang dia lakukan tak pelak membuatku sedikit salah tingkah.

"Eh. Pa...gi Pa...panya Randy." Aku berbicara dengan sedikit kikuk. Matanya yang tak berhenti menyorot ku membuatku tak mampu berbicara dengan lancar.

"Pagi juga Mamanya Randy."

Kedua mataku melotot sempurna mendengar balasan pria itu. Dengan cepat aku melirik ke sekitar sambil terus berdoa agar tidak ada yang mendengar perkataan pria itu. Bisa bahaya jika sampai ada orang yang mendengar. Apa kata orang - orang nanti ? Apa yang dipikirkan orang - orang tentangku ?

"Kenapa Miss ? Apa saya salah bicara ? Bukannya Miss sendiri yang bilang sama anak saya kalau dia boleh anggap Miss sebagai mamanya ?" tanya pria itu tanpa beban seakan tak menyadari bahwa kini aku sedang dilanda kecemasan.

"Hah ?" Aku hanya bisa melotot dengan mulut menganga. Setelah sekian lama peristiwa itu terjadi kenapa baru hari ini pria itu mengungkit. Apa mungkin Randy baru menceritakan hal itu kepada ayahnya sehingga pria itu baru membahasnya sekarang. Aku pikir pembicaraan saat itu terhenti pada hari itu saja karena Randy juga tidak sama sekali pernah mengungkit hal itu. Ya, meski secara perlahan ia sudah mulai membuka diri padaku.

"Randy ?" Aku melirik ke samping meminta jawaban dari bocah yang sedari tadi sibuk membetulkan topinya yang miring.

"Randy tanya ke Papi, Miss. Boleh gak Randy anggap Miss mamanya Randy ? Kata papi boleh." Jawab bocah itu polos. Aku tak pernah mengira kalau ucapanku waktu itu dianggap serius oleh bocah itu sampai meminta persetujuan dari ayahnya. Kalimat itu hanya spontan terucap dari mulutku kala itu untuk menghiburnya. Aku tak pernah berpikir jauh jika kalimat itu ternyata bisa jadi boomerang bagiku.

"Randy, Miss bisa minta tolong sama Randy ?" Bocah itu mengangguk.

"Randy." Aku menundukkan tubuhku agar sejajar dengan tubuh Randy.

"Kalau di sekolah, Miss Vina itu gurunya Randy." ucapku lembut berusaha memberi pengertian.

"Jadi, Kalau di luar sekolah Miss Vina Maminya Randy? Kalau gitu nanti di luar sekolah Randy manggilnya Mami aja bukan Miss. Boleh kan Miss?"

Oh my Goodness. Kesalahan apalagi yang ku perbuat
? Bukannya berhasil memberikan pengertian malah membuat Randy semakin berharap.

"Boleh, Miss ?" tanya Randy penuh harap.

Aku melirik pria yang merupakan ayah dari bocah laki - laki itu untuk meminta bantuan. Namun, bukannya membantu, pria itu justru tersenyum lebar seakan menikmati drama di pagi ini.

Perhatian - perhatian !

Aku bersorak gembira dalam hati saat  suara Bu Tari menggema di sepenjuru Sekolah Dasar Mutiara. Wanita itu kini sedang menjalankan tugasnya untuk mengingatkan para orangtua murid agar meninggalkan area sekolah karena kegiatan pembelajaran akan segera dimulai.

Dengan cepat aku berdiri lalu menatap sinis pria yang hingga kini tidak ku ketahui namanya itu.

"Mohon maaf Pak, silahkan meninggalkan area sekolah karena kegiatan pembelajaran sebentar lagi dimulai !" ucapku penuh penekanan dengan senyum selebar mungkin. Dapat kudengar dengusan kecil keluar dari bibirnya serta wajahnya yang terlihat kesal. Pria itu akhirnya pergi meninggalkan area sekolah setelah sebelumnya berpamitan kepada Randy dengan muka tertekuk.

***

Pariban "Aishite Imasu" ( TAMAT )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang