Sudah satu minggu berlalu sejak kepergian Thomas, rumah terasa kian sepi, terlebih untuk Mbok Darmi yang selama ini mengabdi di sana. Inna pun merasakan demikian, karena selama itu Torra tidak bisa menemaninya selama 24 jam.
Setumpuk pekerjaan harus Torra selesaikan di lokasi proyek, pun tak jauh berbeda dengan pertemuan internal partai di mana dirinya menjadi salah satu bakal calon yang terpilih, kendati itu hanya di posisi wakil.
Inna tak pernah keberatan dan berusaha untuk menerima dengan lapang dada, tetapi hari ini ia begitu kesal pada ibu kandungnya. Betapa tidak, wanita yang kini hanya seorang diri itu, terus meneror putrinya agar secepatnya kembali pulang.
Indri berkeluh kesah banyak hal tentang ini dan itu, merusak satu demi satu pertahanan diri Inna, bahkan menangis dengan suara parau yang begitu memilukan hati.
Rasa gusar membawa ibu jari Inna mencari nomor ponsel Torra dan mengirimkan pesan, tapi tak sampai dua menit kemudian, benda pipih itu sudah berbunyi nyaring, "Halo, Mas?"
"Aku sudah on the way pulang, Sayang. Ini udah di turunan Camplong. Kalau ibu SMS lagi, bilang aja sampai nanti aku mau bicara di telepon." Tentu saja Torra adalah orang yang berada di balik lubang telepon. Ia mengabarkan kondisinya saat ini, sedang berkendara dan tidak memungkinkan untuk membalas pesan dari istrinya itu.
Mendengar penjelasan tersebut, Inna pun berusaha memakluminya dengan baik, sebab itu merupakan sebuah kemajuan pesat, "Iya, Mas. Hati-hati di jalan."
Dulu di saat mereka berusaha membangun biduk rumah tangga dalam keadaan Inna yang sedang berbadan dua, mengabari bukanlah hal biasa bagi Torra, apalagi jika harus mengutarakan perasaannya secara terbuka melalui udara seperti ini, "Hm. I love you, Sayang."
"Iya, Mas. Makasih."
Klik
Itulah mengapa Inna merasa canggung, tetapi tetap tersenyum senang dengan suara yang mati-matian ia redam agar tidak terdengar, lalu memilih secepatnya menggeser ikon merah di layar ponsel dan mengakhiri obrolan.
Di ujung telepon, Torra menyadari Inna masih belum bisa selepas itu, karena sedari awal hal tersebut tidak masuk ke dalam rutinitas serta kebiasaan yang ia lakukan.
Alih-alih memaksakan diri atau menuntut layaknya anak kecil yang suka merajuk, Torra memilih mengalirkan genangan kotor itu dengan cara alamiah, terbiasa atas dasar saling memiliki tanpa rekayasa.
Ponsel pintar keluaran terbaru yang masih berada di genggaman, pun berpindah tempat dari telapak tangan menuju ke atas dashboard mobil, tapi bunyi ternyata kembali hadir hingga membuatnya harus kembali meraihnya.
Laura Wijaya is calling...
Nama lengkap sang mantan kekasih tertera, seketika merusak segala senyuman manis yang sudah terkembang sedari tadi, tetapi suka tidak suka Torra harus menerimanya untuk satu keadaan, "Halo, Ra?"
"Aduh, mampus! Itu tukang pukul yang disewa Koko Acong galak bener deh, Tor. Ibumu diseret tuh ke kantor polisi gara-gara sempat kepo ke ruko." Repetan tajam Laura pun lahir tanpa jeda dengan topik Theresa yang sukses membuat Torra melebarkan bola matanya.
"Apa?! Jangan macam-macam kamu sama mama, Ra!" Kekesalan pria itu juga ikut meluncur, padahal beberapa saat lalu ia begitu bahagia membayangkan wajah cantik istrinya.
Segera membalas karena tuduhan yang tidak mendasar, Torra kembali mendapat keterangan dari mulut Laura, pun tak lupa ocehan panjang tetap mendominasi, "Aku ada di sekretariat kok. Mbak kerja di Ruko yang telepon kasih tahu. Syukur-syukur kamu tuh kukabarin juga! Daripada nungguin ibumu dikasih ucapan selamat datang dari seniornya dalam sel kan nggak enak juga aku dengarnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tolong, Ceraikan Aku! [END]
RomanceMenikah itu tidak mudah. Menikah dimaksudkan agar hidup kedua pasangan menjadi teratur dan terarah dengan baik, tapi tak jarang sebuah pernikahan hanya berlandaskan coba-coba, karena harus bertanggung jawab akibat tak kuat menahan hawa nafsu, lalu t...