Enchanté

781 103 24
                                    

Alien.

Satu kata yang tersirat dalam benaknya saat dia menyusuri jalanan wilayah Champs-Élysées di Paris sore itu. Meskipun dia mengerti satu dua kalimat dalam bahasa Prancis, rasanya tetap saja asing. Dalam kepalanya terus-terusan terputar lagu Englishman in New York nya Sting, seolah bisa merasakan si 'aku' dalam lagu itu.

Dengan setelan kemeja hitam dan celana khaki selutut, wajah tampannya yang universal (tidak terlalu mongolian tidak juga terlalu kaukasian) membuat beberapa pasang mata kadang meliriknya penuh rasa ingin tahu. The Unrealistic, julukan para reporter olahraga padanya dulu nampaknya bukan hanya menunjuk pada catatan impresif nya saat debut sebagai pembalap F1, tapi juga pada tampangnya yang kelewat paripurna. Faktanya, dia bahkan pernah jadi alasan beberapa orang Grid girl seksi berkelahi perihal pembagian siapa yang memayungi siapa. Dia primadona, di luar ataupun di dalam sirkuit sampai akhirnya kecelakaan sial itu terjadi, merenggut cita-cita lamanya.

But life must go on. Tidak ada pohon uang yang tumbuh untuk membayar tagihan listrik, atau alkohol. Jadilah sekarang ia terdampar sebagai Manager salah satu boyband dari Perusahaan hiburan besar di Korea dengan usia rata-rata anggota 19 tahun. Ya, pada akhirnya tugasnya bukan hanya sebagai manager, tapi juga orang tua ganti bagi bocah-bocah itu.

Taeyong-nama lelaki itu, masih terus mengayunkan kakinya. Sesekali matanya memindai tiap jalan, membaca tiap kalimat walau dalam hati dan terbata-bata. Ia baru saja selesai bertemu dengan pihak vendor tempat konser boyband asuhannya nanti, memutuskan untuk menghabiskan sore dengan berjalan kaki di sekitar hotel akomodasi perusahaannya. Di tangannya tampak tergenggam sebungkus roti isi daging sisa setengah.

Matanya memicing saat melihat satu sosok yang nampaknya familiar, tapi juga tidak. Berdiri di depan sebuah bangunan yang ia duga kuat merupakan bar kalau dilihat dari logo gelas birnya.

Sosok itu tertawa lebar, memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi seperti baru perawatan dengan dentist mahal. Matanya menyipit sebelah, lalu muncul garis-garis cekungan di bawah matanya, memberikan kesan seperti anak kucing yang imut didukung dengan tinggi badan yang sepertinya tidak lebih dari 171 cm. Di depannya berdiri sosok laki-laki lain, Asia sepertinya, menjulang lebih tinggi. Taeyong langsung mengenali lawan bicara si Anak kucing. Lelaki tinggi itu Johnny Seo, staff creative perusahaan saingan sekaligus teman dekatnya. Kalau tidak salah Johnny pernah bilang pada Taeyong bahwa Agensi tempatnya bekerja sedang mengincar kerjasama dengan perusahaan multinational advertising berbasis di Prancis. Mungkin Johnny kesini untuk alasan itu.

Taeyong buru-buru mengalihkan pandangannya ke tempat lain saat sosok yang dia perhatikan itu tak sengaja melirik ke arahnya. Taeyong tampak pura-pura sibuk memperhatikan street signs meski masih dengan ekor mata yang sesekali melirik ke arah keduanya.

Ia melihat Johnny menepuk pelan pundak lelaki itu, tersenyum lebar, lalu melambaikan tangan dan pergi dari sana. Sedangkan Ten (akhirnya ia ingat nama lelaki itu) masuk ke dalam bar. Sendirian.

Taeyong tidak bisa menahan gerak kakinya yang seolah punya kehendak sendiri. Diam-diam ia mengikuti Ten dari belakang. Penasaran? tidak juga. Tentu saja Taeyong tahu apa yang orang lakukan di dalam bar publik begitu. Taeyong hanya mengikuti intuisi.

Intuisi yang bilang kalau akan ada hal menarik nanti terjadi.

***

















Matahari tenggelam di Prancis pukul 5 sore, maka tak heran jam 6 sore saja sudah gelap seluruhnya meskipun suasana bar yang remang menyarukan terang siang dan temaram malam.

Taeyong masih diam-diam menatap Ten, mengikuti pergerakan lelaki itu. Tiap detailnya ter-scanning sempurna. Bahkan 3 piercings di telinga kanan Ten tak luput dari perhatiannya. Pun saat tangan itu meremas kecil lelaki lawan bicaranya.

[end] Hakuna Matata (TAETEN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang