HAPPY READING 📖
-------------------------------------
Dielus foto pernikahan mereka yang ia temukan di laci nakas. Sudah setahun berlalu namun ia masih mengumpulkan nyali untuk menemui Angel. Bukannya ia tak tahu keberadaan Angel, melainkan ia masih tak berani mengubah raut wajah yang selalu tersenyum itu, melengkung ke bawah karenanya.
Matanya beralih ke luar, mengamati dari dalam mobil dengan halangan kaca film gelap restoran milik Angel yang tak kunjung sepi.
Setiap hari akan ia habiskan waktunya di mobil sampai restoran ini tutup. Ia akui ia begitu pengecut. Untuk melangkah masuk saja ia tak memiliki nyali. Seharusnya ia bisa menampakkan wujud, meminta maaf, dan membawa Angel kembali ke rumah. Sayang, ia terlalu takut mengubah wajah bahagia itu menjadi murung.
Seperti biasa jika Angel sudah keluar dari restoran, inilah jam makan siang dan Angel akan pergi menggunakan mobilnya entah ke mana. Dan seperti biasa juga ia mengikuti ke mana pun Angel pergi tanpa Angel tahu.
***
Angel bersorak girang di dalam mobil. Ia sudah tak sabar ke bandara untuk menjemput sahabat yang ia kenal melalui media sosial. Ini aneh dan ia pun tak percaya ini terjadi padanya. Memiliki sahabat melalui sosial media dan terparahnya lelaki pula.
Ia memakai maskernya dan mengambil papan nama yang sudah ia buat lalu keluar dari mobil. Jantungnya berdegup karena ini pertama kali mereka berjumpa. Mengenal sosoknya sudah sejak tiga tahun lalu namun persahabatan mereka terjalin tanpa melihat fisik. Hanya sekadar bercerita di papan pesan tanpa mengenali suara dan wajah karena mereka berencana menjadikan ini kejutan saat bertemu. Sebelum bertemu Xander Robinson, ia lebih dulu membeli minuman di Starbucks untuk mereka nikmati.
Sialan! Ini hanya pertemuan biasa namun kenapa ia merasa gugup? Padahal semula ia sangat antusias hingga tangannya pun teriris pisau.
Mendapat pesan dari Xander yang menunggunya, ia meneguk ludah walaupun wajahnya tak henti-henti tersenyum. Saat menerima dua plastik minuman itu, ia bergerak lincah memasuki bandara dengan masker hitam yang tak lepas. Secepat ia berjalan, secepat itu juga jantungnya berdegup kencang.
Di pintu keluar, ia mulai menunjukkan papan nama yang ia bawa dengan mata mencari-cari sosok itu. Detik-detik sebelum kemunculan Xander, ia berkeringat dingin. Bagaimanapun, ini pertama kali mereka berjumpa dan ia tak mau meninggalkan kesan buruk untuk sahabatnya.
"Aish, kenapa lama sekali!" gerutunya. Getaran di ponselnya pun tak terasa karena ia tak butuh melihat ponsel untuk mencari-carinya.
Pria berpakaian casual dengan masker dan topi hitam mendekat. Matanya bahkan sempat melotot mengamati sosok itu berdiri di depannya.
"Angel?" Damn! Bibirnya mendadak kaku untuk balas menyapa. Mengangguk saja ia tak bisa karena terkejut. Di balik masker, ia mengumpat dengan gigi mengetat. "Fuck!"
"Iya?" Suaranya bahkan terdengar bergetar.
Sosok itu tertawa kecil seperti hendak mencairkan suasana. Ia balas tersenyum canggung walau di dalam sini—dadanya—ingin meledak.
"Kau tak mau memelukku?" Tanpa aba-aba, ia menubruk tubuh Xander hingga Xander hampir terjengkang.
"Astaga, aku tak menyangka kau benar-benar ada! Aku pikir kau komputer yang kebetulan mengirimiku pesan!" Angel menjerit bahagia. Pelukannya bahkan mengerat dan kakinya bergerak-gerak kegirangan.
"Hahaha! Aku juga! Sumpah, aku tidak bisa tidur karena terus memikirkanmu! Aku sempat berpikir kita akan canggung-canggungan, bicara sedikit, tapi faktanya? Astaga!" Xander balas memeluk erat Angel tanpa berniat melepasnya. Pelukan ini pun tak cukup untuk menuntaskan kerinduan selama tiga tahun berkutat di chattingan.
"Yeay, akhirnya aku bisa melihat wujudmu! Semalam pun aku tak bisa tidur karena membayangkan bagaimana kita akan bertemu. Aku bahkan sempat mengumpat karena melihatmu di depanku. Jantung ini terasa mau meledak!" Xander tertawa lebar lalu keduanya saling menatap. Ingin menyalurkan kehangatan melalui tatapan dan beradaptasi dengan perkenalan baru di dunia nyata.
Mereka melonggarkan pelukan dan berbicara dari jarak dekat. Xander tersenyum merekah di balik masker yang belum dilepas begitupun Angel. Tampak dari mata mereka yang menyipit.
"Aku tak sabar untuk membuka masker ini," gurauan Xander menyulut Angel untuk tertawa dan ia akui wajahnya selalu tertarik membentuk senyuman.
"Kita buka sama-sama, Okay?" Angel memberi usul dibalas anggukan.
"Baik! Tolong jangan terkejut, ya?"
Angel terkikik lalu mendekatkan tangannya pada sisi kanan Xander begitupun sebaliknya. Keduanya tak sabar untuk melihat wujud masing-masing bahkan beberapa kali mereka memejamkan mata seakan ini adalah hal yang paling sulit dilakukan.
"Satu ...," hitung Angel.
"Dua ...." giliran Xander yang menghitung.
"Tiga!" sorak keduanya lalu membulatkan mata.
"Holy shit!" Sebelumnya terlihat akrab, kini mulai menjaga jarak dengan wajah membeku.
"Angel?"
"Xander?"
Terngaga. Itulah yang terjadi.
"Aku tidak menyangka kau secantik itu, Angel."
"Dan aku tak menyangka kau setampan itu, hey!" Angel mendekat lalu meninju lengan Xander begitu keras. "Kau berbohong! Kau bilang wajahmu rusak dan gigimu ompong! Kau berani sekali menipu sahabatmu, huh?"
"Kau juga berbohong kalau wajahmu penuh jerawat dan alismu botak! Bagaimana bisa kau berbohong juga padaku? Lihat saja alismu tebal begitu! Dan ... astaga, Angel! Kau sangat cantik! Sesuai namamu."
"Shit! Kau keterlaluan! Kau ... kau memang pandai berdrama! Tapi, tidak apa. Sebagai balasan karena wajahmu tampan, kumaafkan." Xander tertawa mendengar gurauan itu. Ia kembali mendekap Angel ke pelukan dan mengacungkan jari kelingkingnya.
"Janji kau tidak melihatku hanya dari tampang ini?"
Angel mendongak lalu menautkan kelingking mereka. "Janji kau tidak berteman denganku karena tampangku juga?"
"Janji," ucap Xander. Ia bahagia dapat bertemu dengan sahabat yang satu ini. Ia bahagia karena ia tidak lagi mencurahkan keluh kesahnya dan mendengar keluh kesah Angel dari papan pesan. Ia bisa sesuka hati berceloteh tanpa pegal di jari.
"Janji juga."
Tak ingin menghilangkan moment seru ini, keduanya saling merangkul—menempel bak lintah. Angel memberikan minuman yang ia beli dan diterima senang hati oleh Xander.
"Ah, senangnya bertemu sahabat lama." Xander mendesah setelah meminum kopi dinginnya. Hatinya begitu bahagia sekali. Tak bisa diungkapkan bahkan dijabarkan detail.
"Aku juga. Rasanya jariku pegal mengetik panjang-panjang untuk membalas pesanmu."
"Hahaha!" Xander tertawa lalu merangkul Angel lebih erat. "Kuharap persahabatan ini terjalin selamanya, Angel. Aku tak mau kehilangan sosok manis di hidupku."
Angel mengangguk. "Ya, ini akan menjadi persahabatan selamanya dan aku juga tak mau kehilanganmu! Cukup yang lain saja, tapi tidak kau!" Xander mengelus rambut Angel lalu merekahkan senyumnya lagi.
"Tenang saja." Mereka berjalan keluar dari bandara dan memasuki mobil Angel tanpa tahu Griss sedari tadi melihat dengan tangan terkepal dan wajah mengeras.
.
.
.
TO BE CONTINUE

KAMU SEDANG MEMBACA
No Reason Why ✅
Romance[NOVELET] Pertama kali publish : 12 Oktober 2020 Grisster Clark merasa bodoh karena tidak menyadari jantungnya berdegup untuk siapa. Dulu ia mencintai dan mengira untuk Christine Sullivan. Tapi semuanya berubah sejak kalimat itu menamparnya keras. I...