Semenjak itu, bercinta merupakan bagian dari interaksi mereka sampai pada akhir bulan ketiga, Kew, pacar Mean yang juga tinggal di Inggris memberikan kejutan kepada Mean. Dia berdiri di depan pintu rumah Plan dan bertanya tentang Mean.
Saat itu Mean tengah ikut dalam program. Plan mempersilakan Kew masuk dan Kew langsung memasuki kamar Mean dan beristirahat.
Plan segera memberitahu Mean bahwa Kew, kekasihnya dari Inggris ada di kamarnya dan sedang beristirahat. Saat Mean pulang, Plan bersikap seperti biasanya. Ia sudah mewanti-wanti Mean agar tidak mendekati dirinya dan berinteraksi layaknya tuan rumah dan tamu homestay dan Mean sangat paham akan hal ini tentunya.
Mereka sarapan pagi bersama dan makan malam bersama. Mean menghabiskan lebih banyak waktu dengan Kewpla kecuali saat ia ikut program. Sang pacar biasanya akan di rumah atau pergi jalan-jalan sendiri.
Interaksi Mean dan Plan sangat terbatas dan ini membuat Mean sangat sulit karena ia selalu merindukan Plan, seolah ia kecanduan akan semuanya tentang perempuan yang terpaut sembilan tahun lebih tua daripada dirinya dan ia tak memedulikan masalah itu.
Naganya pundung dan tak bisa hidup walaupun Kew sudah telanjang bulat, merebah di atas ranjang, dan melakukan gerakan-gerakan sensual di depan Mean. Alhasil, Mean menolak berhubungan.
Karena alasan ini, Kew menanyai Plan tentang Mean selama di Thailand, apakah ia punya gebetan atau bahkan mungkin saja Plan pernah melihat Mean membawa seseorang, khususnya perempuan ke rumahnya.
Kew juga menjelaskan alasannya mengapa ia bertanya hal ini sebab pertama Mean tak mau menyentuhnya dan kedua meskipun Mean berusaha untuk membuatnya senang di ranjang dan ia telah melakukan usahanya untuk membuat sang naga senang, semuanya tak mempan untuk dilakukan.
Plan menjawab lantang mengenai masalah ini dengan mengatakannya bahwa ia tidak tahu apa-apa mengenai urusan pribadi Mean sebab interaksinya dengan Mean hanyalah sebatas tuan rumah dan orang yang tinggal di homestay.
Kew kecewa. Ia berpikir Mean gay sebab naganya tak hidup saat ia berinteraksi dengannya. Plus, Meam seperti tidak lagi tertarik padanya. Padahal, sudah lama ia mendambakan jatahnya yang lama tak terpenuhi sebab ia dan Mean tinggal berjauhan.
Pada suatu malam, mereka makan malam seperti biasanya. Mean dan Kew duduk bersebelahan dan Plan duduk tepat di depan Mean.
Plan tengah menikmati makan malamnya saat ia merasakan sesuatu meraba kakinya lalu menelusuri lembut ke bagian atas pahanya. Ia terhenyak. Itu kaki Mean sengaja bermain di bawah meja menjamah kaki Plan.
Plan menatap sejenak Mean dan kemudian mengalihkan pandangannya, membuang kecurigaan Plan. Saat Mean melakukan itu, Ia sengaja mengajak ngobrol Plan dan Kew tentang hal yang tak penting dan sebenarnya itu sungguh di luar kebiasaan Mean.
Seusai makan malam, Mean memasuki kamar duluan dan kemudian keluar lagi setelah tak lama berselang. Ia menuruni tangga dan mengamati bahwa Plan sudah berada di kamarnya.
Kew tengah berada di halaman belakang seolah tengah memikirkan sesuatu. Mean menghampirinya dan kemudian duduk di sebelahnya."Kau kenapa?" tanya Mean, memberikan perhatian layaknya kekasih.
"Mean, kau benar-benar mencintaiku, bukan?" Kew menatap Mean lembut.
Mean terhenyak. Ia tak bisa menjawab sebab sekarang pikiran dan hatinya bukan lagi tentang Kew. Sekarang semuanya diokupasi Plan, bahkan naganya.
"Sudah kuduga," ujar Kew tiba-tiba. Mean tak merespons.
"Kau gay?" tanya Kew lagi. Ia menatap Mean tajam. Mean agak kaget saat Kew mengutarakan ini, tapi ia bisa paham apa yang menyebabkannya berpikir seperti itu.
"Kurasa aku tidak seperti yang kau pikirkan, Kew!" Mean menolak pernyataan itu.
"Benarkah? Lalu apa penyebabnya? Mengapa nagamu tak bisa bangun dan membuatku bahagia seperti biasanya," nada Kew dipenuhi dengan kekecewaan. Mean diam seolah berpikir.
"Entahlah! Mungkin aku sedang lelah saat ini," sahut Mean lagi.
"Mungkin kau datang tidak di saat yang tepat. Aku banyak pikiran akhir-akhir ini dan kau tak ada di dalamnya. Maafkan aku," sambungnya.
Kew terperangah. Ia menatap Mean dengan mata berkaca-kaca.
"Kau melupakan aku sekarang. Karena itukah kau jarang menghubungiku belakangan ini?" Kew bertanya lagi.
"Iya, bisa jadi. Aku ada banyak tugas. Dan ayahku memberi tugas tambahan selain mata kuliahku. Ini benar-benar menyita semua waktuku," ujar Mean. Yang dikatakannya tidak sepenuhnya benar memang, tapi tentang tugas tambahan itu, memang Mean jujur.
"Lalu kau ingin aku bagaimana?" tanya Kew lagi.
"Aku tak sanggup LDR, Mean," sahut Kew.
"Kalau begitu kita putus saja," ujar Mean.
"Memang itu yang kau inginkan, bukan?" Kew menatap Mean dan nada bicaranya sungguh sinis.
"Lalu kau mau bagaimana? Kau bilang tak sanggup LDR. Masih ada tiga bulan yang harus kulalui di sini. Kau juga tak bisa seterusnya bersamaku. Kau tahu aku sangat sibuk," sahut Mean.
"Katakan kepadaku, apa solusinya?" Mean menantang Kew.
"Kita rehat saja dulu. Selama tiga bulan ini, kau boleh fokus dengan pekerjaanmu, tapi aku juga membutuhkan seseorang. Aku kesepian di sana. Jadi, selama tiga bulan ini, biarkan aku menjalani kehidupanku sendiri dan kau jalani kehidupanmu sendiri." Kew menjelaskan panjang lebar.
Mean marah. Ia mengepalkan tangannya.
"Tidak ada kata rehat dalam kamusku. Kalau mau putus, putus saja. Kalau takdir kita masih bersinggungan, kita pasti bersama lagi, kalau tidak, artinya aku bukan yang terbaik untukmu," ujar Mean.
Keduanya diam sekarang. Tak lama kemudian, Kew beranjak dari duduknya dan ia kemudian melepaskan kalung yang pernah Mean berikan kepadanya dan memberikannya kepada Mean.
"Oke, kita selesai," sahutnya dan kemudian ia beranjak pergi meninggalkan Mean. Malam itu juga, Kew pergi meninggalkan rumah Plan dan ia menyewa hotel terdekat dengan bandara, mempercepat kepulangannya.
Sementar itu, Mean masih dalam posisinya, duduk melamun dan memikirkan yang baru saja terjadi. Ia beranjak dan mengetuk pintu kamar Plan. Plan membukanya dan ia kaget sebab Mean di depannya dan langsung memasuki kamarnya memeluknya.
Bersambung