"Astaga, Bhumi!"
Saking kagetnya, aku terguling sampai jatuh dari tempat tidur, dahi mencium lantai terlebih dahulu. Kegiatan merenang-renungi kenangan beberapa jenak lalu boyak dirusak Ma. Untung beliau menerobos masuk kamarku tepat sebelum aksiku dengan losion dan tisu.
"Kenapa sih, Ma?" desisku frustrasi. Demi Tuhan, sekarang pukul delapan malam dan Ma memilih memekik begitu kencang setakat rasa-rasanya bisa terdengar sampai Samudra Hindia.
"Kami kira kepalamu tersangkut di lubang pantat! Kau tahu sudah berapa kali Ma memanggilmu? Sampai suara Ma serak! Budek kamu, ya? Kapan terakhir kali kamu membersihkan telinga? Mau Ma yang bersihkan? Sini, pakai linggis! Narkoba kamu, ya?! Dapat dari mana kamu itu barang haram?—"
"Tante, rileks."
Nyeri di dahiku berdenyut-denyut begitu hebat, seirama dengan ceramah Ma yang makin lama makin terdengar gila. Untunglah sebuah suara memotong semua keedanan yang keluar dari mulut Ma.
"Tiarma? Ada apa?"
Yang kutanya hanya mengangkat bahu, lalu menyerahkan kotak yang sedari tadi dipegangnya kepada Ma.
Ma mengambil kotak tersebut seraya tersenyum kaku kepada Tiarma, sekejap kemudian menatapku geram. Aku yang tengah mengusap-usap benjol di dahi tak berani menggerakkan satu otot pun ketika dipandang tajam-tajam seperti itu. Sampai akhirnya, mungkin karena beliau capek sendiri, Ma pergi dengan dumalan yang tak mungkin bisa kupahami.
"Trims, Yar. Mungkin aku mesti mendengar omelannya sampai panas telinga kalau tak ada kamu."
"Ya, kau berhutang banyak padaku," balasnya acuh tak acuh sembari beranjak ke arahku, lalu tanpa disilakan merebahkan tubuhnya ke atas kasur.
"Atau mungkin karena kehadiranmulah aku hampir terkena serangan jantung, telingaku pengang, dan dahiku benjol begini. Trims!" sindirku tajam. Karena, sungguh, malamku begitu tenang lima menit yang lalu.
"Kok jadi sinis? Kalau kamu nggak ngelamun jorok seperti tadi mungkin urat saraf ibumu tak akan tegang begitu."
Cih! Aku lupa kalau tak ada gunanya bersilat lidah dengan seorang Tiarma; kau takkan pernah menang. Kujatuhkan tubuhku ke kasur dengan frustrasi.
"Ada apa?" tanyaku lagi. Sudah bertahun-tahun Tiarma tak menginjakkan kaki di rumahku, lebih lagi kamarku.
Aku bisa merasakannya menaikkan bahu dalam baring-baringku, busa kasur bergerak sedemikian rupa ketika ia melakukannya. "Tak ada alasan khusus. Setelah tahu Tante sakit, Kitkat, Bang Jack, dan aku memutuskan untuk menjenguk beliau sore ini usai kerja kelompok. Tetapi mereka berdua ada urusan mendadak, dan tinggallah aku sendiri."
"Thanks, that's very generous of you."
Tak ada niat sedikit pun untuk bersikap brengsek kepada Tiarma, atau setidaknya untuk malam ini, tetapi kenapa satu kalimat itu terdengar begitu... menjengkelkan?
"Oh, maafkan aku, juga fakta kalau yang menjenguk ibumu ternyata aku dan bukan Hara!"
Kenapa sih aku tolol begini?!
"Aku tak bermaksud seperti itu."
"Ya, kau pasti tak bermaksud seperti itu."
Inilah dia, lidah berduri milik Tiarma. Perlu usaha ekstra agar tak terpancing sinisme dalam suaranya. Aku tahu kalau aku yang—sengaja atau tidak disengaja—memulai semua ini. Dan aku sama sekali tak berniat untuk memperpanjang hal tersebut.
"Aku minta maaf, oke?"
Setelah hening beberapa jenak, aku mendengarnya menghela napas keras, kemudian berkata, "Permintaan maaf diterima."
KAMU SEDANG MEMBACA
Whatever Float My Boat
Teen FictionTak ada salahnya untuk cari aman sendiri. Sungguh. Maksudku, pada akhirnya, dirimu dan hanya dirimu sajalah yang bisa kauandalkan, bukan? Ya, kan? Kau setuju, kan? Pun tak ada salahnya memanfaatkan kebaikan orang lain demi keuntunganmu, selama tak a...