Perempua itu masih seperti yang dulu. Terlihat anggun dengan hijabnya, santun dalam pembawaannya. Sesabar yang pernah aku kenal, lengkap dengan etika dan moral. Hari ini dia berhenti dari pesantren tepat setelah aku wisuda. Mata berbinar haru saat dia menatapku. Perlahan dia mengucapkan,”Assalamualaikum!”
***
Sebagai jebolan di salah satu Universitas terbaik, membentuk diriku yang angkuh, memuja intelektulitas dan logika, seakan diriku berhak untuk semuanya, meskipu salah dalam agama. Doktrin pemikiran telah merubah cara pandang. Seolah aku bukan muslim yang seharusnya taat pada ajaran agama. Tapi sebaliknya, bebas dengan pemikiran yang ada.
“Umurmu sudah matang, Nak. Apalagi kamu sudah mempunyai penghasilan. Ibu ingin cepat menggendong cucu. Kalau kamu susah mencari jodoh, di sebelah ustazah juga belum menikah, dia cocok untuk kamu.”
“Mohon maaf, Ibu. Bukannya aku tidak mau menikah, akan tetapi anakmu ini belum sepenuhnya siap berumah tangga.”
“Kamu sekarang sudah dua puluh sembilan tahun. Apalagi yang kamu tunggu? Nanti kamu kesulitan untuk beristri. Menurut kakekmu dulu, 'kalau seorang belum beristri sampai berumur tiga puluh tahun, maka keinginan untuk beristri hilang', Lihat bapakmu! Dia menikahi ibu ketika almarhum berumur dua puluh satu Tahun.”
“Mohon maaf, Ibu, bukannya aku mau menentang ibu namun aku masih belum siap."
“Baiklah. Semua adalah hak kamu, ibu tidak akan memaksamu menikah namun ibu harap kamu cepat menikah.”
Ucapan ibu terus menghantam benakku. Ibu terlalu pesimis kalau seseorang belum menikah di usia tiga puluh tahun, keinginannya akan hilang. Kepercayaan itu terus turun temurun dari moyang ke cucu dan dari cucu ke cucunya. Sungguh mereka telah dibodohi oleh budaya dan kepercayaan yang tidak ilmiah. Sains telah merubah kepercayaan yang tidak mungkin menjadi mungkin bahkan sesuatu yang belum pernah ada di dunia menjadi ada. Apa yang tidak bisa dilakukan di dunia saat ini? Semua pasti bisa dengan sains. sains adalah segalanya dalam dinamika kehidupan masa kini dan seterusnya.
Masalah jodoh aku tidak pernah risau. Sebagai pribadi yang menjunjung tinggi intelektualitas dan juga kemapanan dalam tekstur tubuh serta profesi, aku bisa menikahi siapa pun dan saat ini pun juga. Mustahil seorang sepertiku tidak ada yang mau. Meskipun aku jauh lebih pintar dari ibu, aku tidak berani menentang ucapannya. Aku sadar betul bahwa keberaradaanku di dunia ini karena ibu, aku besar karena dan menjadi sukses pun karena ibuku.
“Kalau kita bersungguh-sungguh mencari ilmu maka Allah akan menanggung semua kebutuhan kita. Perbanyaklah belajar dan tekuni ilmu agama agar kita menjadi orang-orang yang beruntung. Dalam kitab Ihya’ulumuddin karya Imam Al-ghozali, Nabi bersabda, ‘barang siapa yang belajar ilmu agama, maka Allah akan mencukupi rizkinya serta menanggung dunia dan akhiratnya’.”
Suara salon dari tetangga seakan mengusik ketenanganku, bertentangan dengan pemikiranku selama ini. Membuat aku tidak suka dengan perempuan itu. Hari demi hari, berbulan-bulan merubah watakku untuk membencinya. Kebencianku terus tumbuh dan selalu menyelimuti di setiap detak jantungku. Sebagai dosen ternama di sebuah universitas negeri, pamorku kalah jauh dari seorang perempuan yang notabene jebolan pesantren ternama di Jawa timur. Apalagi ibu menyuruhku untuk melamarnya.
Berbagai macam cara kulakukan agar prempuan itu berhenti berdakwah. Berkali-kali aku ingatkan agar tidak menggunakan pengeras suara di saat pengajian. Pernah suatu hari aku mendatangi ke tempat pengajiannya dan ingin membubarkannya, tapi prempuan itu hanya senyum manis dengan ciri khasnya tampa sepatah kata pun.
Dulu saat masih kecil aku mengira sarjanawan akan dikenal di mana-mana dan akan dihormati oleh semua kalangan. Kenyataannya tidak, malah aku harus kocar-kacir karena warga menganggapku sebagai orang yang menentang dan provokator terhadap pengajian yang dilakukan oleh Ustazah. Parahnya lagi, aku dicap kafir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Keangkuhanku Runtuh Di Bibir Ustazah
RomanceHai sobat pembaca! Ini cepen terbaik saya dari sebelumnya. Dan akan selelu lebih baik dari tulisan tulisan sebelumnya.