Sebenarnya apa yang Panji pikirkan tentang adiknya hanya pikiran sesaat. Yang kapan pun bisa terlewat begitu saja. Namun, Panji lupa kalau dia masih memiliki emosi yang terkadang sulit diredam walau hanya sebentar.
Bagi Panji Ardan bagai mahkota dengan mutiara cantik disekelilingnya. Panji hanya takut kalau adiknya akan melakukan apa yang selama ini ia khawatirkan.
Jika ditanya apa yang Panji takutkan selain kehilangan? Ia akan menjawabnya dengan lantang, kalau dirinya tidak sanggup melihat Ardan menyakiti dirinya sendiri di depan matanya.
Terakhir kali anak itu telah membuat Panji frustasi karena kecerobohannya dengan mendekati Aries. Panji tahu Aries tidak suka Ardan ada disekitarnya, tapi anak itu keras kepala, dia akan melakukan apapun yang dia suka. Baginya, Papa adalah planet. Sedang dirinya hanya rumput yang kapan saja bisa mengering.
Ucapan Aries saat itu benar-benar menampar hati kecil Panji yang memang ada di sana. Menyaksikan bagaimana Pria itu memaki dengan keras juga kejamnya. Panji ada di sana, ketika pria itu menarik tangan Ardan begitu kasar sampai membuat si pemilik memekik kesakitan. Panji ada di sana, ketika pri itu menjatuhkan Ardan begitu keras di atas lantai yang dingin sampai membentur ujung meja. Tapi Panji hanya bisa mematung walau amarahnya sudah memuncak.
"Abang?"
Panji hanya bisa merasakan betapa menyiksanya melihat tangan besar itu menyentuh kulit Ardan. Namun, anak itu tetap bungkam walau air matanya sudah mengalir.
Perlahan Ardan telah membunuh Ardan dengan kebodohan yang sama sekali Panji tidak suka. Seperti saat ini, ketika mereka kembali ke rumah tepat pukul sebelas malam.
Sepanjang jalan menuju rumah, Panji hanya diam membiarkan Ardan mengoceh dengan dunianya sendiri. Usai mengantar Nakula dan Pitter Panji juga sempat mampir ke sebuah coffie shop yang tak jauh dari rumahnya.
"Bang Panji! Lo kenapa sih diem aja dari tadi, kenapa?"
Panji menoleh, mendapati adiknya yang sudah berbaring di atas tempat tidurnya sambil mengangkat kedua tangannya ke udara dan dibiarkan menari-nari di sana.
"Besok rencana lo apa lagi?" tanya Panji akhirnya. Mendengar ucapan Panji tiba-tiba Ardan menjatuhkan kedua tangannua begitu saja, lalu ia letakan kedua tangan itu di atas perutnya. Pandangnya menatap lurus ke langit-langit kamar Panjo yang monoton dengan warna putih.
"Pertanyaan gue aja belum lo jawab, kenapa gue harus jawab?"
"Gis.... gue serius."
"Gue juga serius, kenapa Papa benci gue kayak gini, padahal gue anaknya... 'kan?"
Panji gemas jika adiknya sudah bicara yang macam-macam, ia memilih untuk bangun dan duduk bersila menghadap Ardan yang masih setia di sana.
"Lo mau bukti apalagi? Tadi lo udah nanya ke Mami, 'kan?" kata Panji. Ardan pun ikut bangun lalu duduk dengan posisi yang sama dengan Panji. Anak itu diam, namun jemarinya terus ia tautkan karena ragu dengan pertanyaannya sendiri.
"Gue tanya sekali lagi. Mami udah jelasin ke lo, kalau lo itu anak Mami sama Papa. Apalagi yang mau lo cari?"
Ardan mengangguk, anak itu tak mampu untuk menatap mata Panji. Kali ini ia memilih menunduk, membiarkan pikirannya bekerja lebih keras untuk mengingat beberapa jam lalu ketika ia berada di apartemen milik Aries.
"Saya pikir kamu akan kapok setelah kemarin saya peringatkan, kamu lupa?"
Suara barintom itu mengudara, namun tidak sampai pada pendengaran Ardan yang bermasalah. Pria itu seperti bergumam bagi Ardan. Tapi Ardan bis menangkap apa yang Aries coba katakan namun tidak bisa Ardan dengar. Raut wajah Aries terlampau menampakkan ketidak sukaannya dari pada rasa sayang yang seharusnya Ardan juga bisa dapat.
KAMU SEDANG MEMBACA
EVERY SECOND ✔( Sudah Terbit)
Teen Fiction(REVISI) Ardani tidak pernah bepikir, kalau hidupnya akan menjadi seperti kaki meja yang rapuh, jika tidak di rawat dengan baik. Ardani juga tidak pernah bermimpi kalau dirinya harus menjalani hidup seperti kora-kora yang selalu mencari tahu siap...