PART 42

1.8K 275 52
                                    

"Sayang, ayo kita telepon ibu yuk? Kamu maunya gimana biar aku bisa cari solusinya? Kita suruh ke sini aja gimana, Yang? Ini lho aku udah coba telepon dari tadi tapi nggak diangkat juga. Mungkin kalau teleponnya pakai handphone kamu, baru mau dijawab." Suara Torra itu, datang dari balik punggung Inna yang sedang membantu Mbok Darmi mengocok adonan kue dengan mixer.
    
Sebenarnya Inna masih dapat mendengar apa yang Torra katakan karena intonasi suara tersebut nyaring dan besar, tetapi entah mengapa ia memilih untuk menjadi seekor kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu.

Sikap tersebut Inna lakukan bukan tanpa alasan, sebab sejumput kekesalan masih bergelayut dalam dirinya untuk aksi menjengkelkan Torra beberapa saat lalu.
   
Tombol paling besar dengan angka satu berwarna putih yang berada dua sentimeter dari pegangan tangannya pun menjadi sasaran Inna, sengaja melajukan putaran mesin, untuk melengkapi opera sabun ciptaannya.

"Sayanggg... Ayo kita telepon ibu yuk? Kuenya biar Mbok Darmi aja yang buat." Tapi Torra tak berniat untuk berhenti, bahkan tanpa tahu malu ia memeluk istrinya itu dari arah belakang.

"Lepas, Mas! Ini muncrat kemana-mana nih adonan kuenya!" Mesin mixer pun menjadi tidak terarah dengan baik, dan Inna pun menyerah, bersuara agar Torra berhenti menggodanya.

Tak ingin adonan terus tercecer, Torra dengan sigap mematikan mesin mixer, membuat jemari Inna melepaskan benda itu dan memaksanya untuk keluar dari dalam dapur. Mbok Darmi yang melihat hanya bisa terkekeh geli, mengacungkan jempolnya ke hadapan Torra sembari mengedipkan dua kelopak matanya.

Putra sulung mendiang Thomas Mahardika itu, membawa istrinya ke teras samping yang berhadapan langsung dengan kolam ikan koi berukuran kecil.

Ada dua kursi berbahan kayu mahoni buatan meubel milik anak daerah yang waktu itu menawarkan dagangannya secara langsung pada Torra, dan karena memang merasa nyaman, maka transaksi jual beli pun terjadi.

Ketika sampai ke rumah, teras samping adalah tempat paling cocok untuk menempatkan kedua kursi cantik tersebut, sama seperti wanita cantik yang kini sudah mendaratkan bokongnya di sana.

Memindai ke segala penjuru halaman kecil yang sudah disulap dengan ornamen air mancur dan ukiran bambu dari campuran semen oleh tukang langganan, jujur saja tempat itu merupakan pilihan favorit Inna ketika sedang berada di lantai bawah.

Terbukti saat melihat makanan ikan di atas meja bundar, secepat kilat Inna melebarkan telapak tangan dan menuangkan isinya sebelum melemparkan ke dalam kolam.

"Sayang, kita jadi telepon ibu nggak, sih?" Tanya Torra setelah Inna terlihat melakukan aktivitas memberi makan untuk yang kedua kalinya.

Dengan tangan yang masih setia melempar pelet ikan ke dalam kolam dari tempat duduknya sembari berpikir, suara Inna pada akhirnya terdengar juga, "Biar aku aja nanti yang bicara itu sama ibu, Mas. Kan tadi udah aku bilang tadi."

Inna menolak secara halus apa yang Torra kehendaki tentang ibunya, "Kalau gitu ikut Mas ke makam adek yuk, Sayang. Belum pernah ke sana kan?"

"Adek? Adek siapa?" Namun, pergerakan Inna terhenti, sesaat setelah mendengar ucapan Torra. Arah pandang yang sedari tadi enggan untuk bersitatap, berubah mengkhianati, meminta penjelasan dari sorotan matanya.

Torra yang mengerti pun secepat mungkin memberinya seulas senyuman manis, mengulurkan telapak tangan untuk menyentuh puncak kepala Inna dan mengelus surai hitam legam itu dengan lembut.

"Almarhumah anak kita, Sayang. Kamu kemarin katanya pengen bacain Yasin ke sana kan? Mumpung belum malam, gimana kalau perginya sekarang aja?" Tanya Torra di ujung penjelasannya.

Bola mata cantik yang melebar membuat telapak tangan Torra terlepas dari kepala Inna, meraih kursi kayu dan menyeretnya untuk mendekat.

"Sayang... Kenapa, hm? Nggak mau ya ke makam Adek?" Tanya Torra yang kedua kalinya, setelah berhasil menautkan jari-jari mereka.

Torra menunggu sembari menggerakkan ibu jarinya di telapak tangan Inna, dan tak sampai satu menit, suara istri kesayangannya itu pun terdengar juga, "Mau kok. Ya udah Mas tunggu di sini dulu deh. Aku mau ganti baju."

"Mas juga mau ganti pakaian kali, Yang. Nggak mungkin kan Mas ke makam Adek pakai celana pendek kayak gini?" Inna menyanggupi ajakan Torra dengan berencana mengganti pakaiannya terlebih dahulu, tetapi entah mengapa suaminya itu berniat yang sama sepertinya.

Mereka membicarakan tentang celana kesukaan Torra yang pendek dan sedikit ketat dari bahan katun, "Emangnya kenapa sama celananya, Mas? Bagus kok."

"Ampun, Yang. Ini kan celana umpan. Masih mendingan boxer tadi."

"Ya sapa yang suruh Mas suka pakai celana kain yang ngepres kayak gitu. Jadi menonjol deh itunya." Dan tema obrolan itu ternyata mampu membuat Inna tergelitik, nyaris menumpahkan tawa yang berusaha ia tahan setengah mati.

Wajah Torra yang bertanya, benar-benar terlihat konyol di mata Inna, "Itunya apanya, Sayang?"

"Pantatnyalah! Apa lagi?" Menyebabkan Inna memilih untuk melepaskan saja jawaban atas pertanyaan Torra tadi.

"Hah?" Tentu saja keterkejutanlah yang Torra berikan setelah mendengar jawaban dari Inna. Istri kesayangannya itu tidak biasa berkelakar tentang bagian-bagian sensitif di tubuh manusia, dan senyuman nakalnya pun terbit tanpa menunggu lagi.

"Udah ah lepasin tanganku. Ngomongin pantat ntar malam tegang anunya. Kan ini masih siang!" Sadar akan hal tersebut, seribu satu alasan ditebarkan Inna untuk secepatnya melepaskan tautan jemari mereka.

"Oh, jadi kalau malam baru boleh ya, Sayang?" Torra pun mengizinkan Inna untuk terlepas darinya, tetapi ia belum berniat berhenti mengganggunya.

"Hari ini nggak boleh! Aku lagi nggak mood!" Torra berkelakar, melemparkan bahasa atas kalimat yang Inna keluarkan, menyebabkan kedua bola mata si cantik menjadi berputar jengah.

Dengan senyuman tertahan, Torra seakan tak ingin berhenti mengusili, "Lha, Sayang? Aku kan--"

"--Stop! Ini jadi ke tempat Adek nggak, sih?" Namun, Inna yang sadar ternyata memiliki senjata lain yang lebih ampuh, memotong ucapan Torra dan menekan intonasi suaranya.

"Astagaaa...! Langsung kaget Masnya, Yang. Jadi dong jadi. Ya udah Sayang duluan aja deh ganti bajunya. Biar aman!" Ada elusan telapak tangan di dada yang Torra buat setelah mendengar bentakan sang istri. Ia pun mengalah demi hubungan baik rumah tangganya, tetapi kini giliran Inna yang melakukannya.

"Bagus kalau ngerti! Kalau masih  maksa juga, malam ini aku tidur sama Mbok Darmi di kamarnya!" Bukan faktor kesengajaan ancaman Inna itu terjadi, dan tidak juga ia mengharapkan agar obrolan jinak-jinak Merpati kian melebar hingga membuang banyak waktu.

"Astaga, Yanggg... Kamarnya Mbok Darmi kan kecil tempat tidurnya. Nanti kamu--"

"--Diam! Kenapa jadi cerewet, sih? Capek dehhh..." Itulah mengapa Inna kembali menyanggah ucapan yang belum tuntas Torra keluarkan dari mulutnya, memilih langkah seribu daripada harus mengulanginya kembali.

Kekehan renyah dari pita suara Torra terdengar seiring langkah kaki Inna yang kian menjauh, tetapi tak ada respon apapun dari wanita cantik itu. Setelah derai tawa terhenti, ia pun ikut berpindah tempat dari teras samping menuju ke arah dapur, berpamitan pada Mbok Darmi sebelum mereka pergi.

Loyang pertama yang isinya sudah matang menjadi bagian dari keusilan Torra pula, tetapi belum lagi kerenyahan itu masuk seluruhnya ke dalam perut, "Kapan si Enon bakalan hamil lagi, Den? Nanti kalau pulang dari kampung, Simbok bawain jamu yang paling manjur biar cepat isi lagi ya, Den?"

"Ukhuk ukhuk ukhukkk...!" Insiden kecil terjadi atas ucapan dari Mbok Darmi.

"Aduh, Den! Minum dulu. Astaga!" Keduanya lantas sibuk dengan segelas air yang hampir tandas, tetapi di dalam pikiran Torra, pertanyaan Mbok Darmi berhasil mencuri perhatiannya.

Hamil lagi? Memiliki bayi dalam perut dan berharap kembali? Apakah Torra akan mendapatkan kesempatan kedua itu dari si Empunya Dunia? Hm, sangat berat untuk ia jabarkan sebenarnya. Keinginan tersebut ada sedari awal keduanya dapat saling melayani seperti biasa, tetapi ketakutan sedikit beradu di tengahnya, saat mengingat bagaimana kehilangan datang dan memberi duka nestapa hingga nyaris merusak segalanya.

Haruskah berusaha sekarang? Entahlah. Torra akan mencoba untuk bertanya pada Inna, menipiskan kekeliruan kendati manusia adalah tempatnya salah dan lupa. 

***

BERSAMBUNG

Tolong, Ceraikan Aku! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang