BAGIAN 1

425 16 0
                                    

Hampir seharian penuh, tiga orang penunggang kuda berbulu putih menempuh perjalanan. Ketiga kuda itu tampaknya sudah sangat letih. Air liurnya tampak menetes dari mulut yang terbuka. Tapi para penunggangnya yang berbaju hitam dan rata-rata berumur sekitar tiga puluh tahun, tampaknya tidak peduli. Mereka terus menggebah kuda tunggangan yang sudah sangat kelelahan.
Beberapa kali terdengar ringkikan lemah. Sementara ke empat kaki kuda yang semula kokoh, sudah mulai terseok-seok. Tak lama, kuda putih yang berada di depan tersungkur roboh. Namun dengan gesit penunggangnya melenting ke udara dan bersalto. Lalu dengan gerakan sangat manis, kedua kakinya menjejak tanah tiga tombak didepan kuda yang tersungkur tadi.
"Sial...!" gerutu laki-laki bercambang lebat itu sambil memeriksa kudanya yang roboh dalam keadaan sekarat.
Dua penunggang kuda yang berada di belakang laki-laki itu segera menarik tali kekang tunggangan masing-masing. Seketika kuda-kuda itu berhenti disertai ringkikan sangat keras. Mereka segera menghampiri laki-laki bercambang lebat itu.
"Ada apa, Kakang Durupati!" tanya laki-laki jangkung.
"Kita terlalu memaksa kehendak Duruwisa. Kudaku tampaknya kelelahan, sehingga tidak dapat meneruskan perjalanan," kata laki-laki bercambang bauk yang dipanggil Durupati. Nada suaranya terdengar menyesal.
"Bagaimana, Kakang Duruseta?"
Duruwisa, laki-laki berbadan jangkung dan kurus mengalihkan perhatiannya pada laki-laki berkumis tipis disebelahnya, yang dipanggil Duruseta.
Duruseta mengangkat wajahnya. Sebentar matanya memandang ke ufuk barat sambil menggeleng-geleng. Tatapannya pun beralih pada saudara seperguruannya yang paling tua, Durupati.
"Kakang Durupati... Sebaiknya kita bermalam saja disekitar sini. Untuk sampai ke Goa Darah, masih memerlukan waktu kurang lebih dua hari perjalanan berkuda," usul Duruseta pelan.
Durupati tampak ragu-ragu. Entah mengapa, tiba-tiba saja hatinya menjadi bimbang. Matanya kembali merayapi kudanya yang terkapar dengan mulut berbusa.
"lnilah perjalanan yang paling sial! Guru bisa marah pada kita, jika sampai terlambat menyelesaikan tugas ini!" kata Duruseta, agak kesal.
"Tapi kita juga perlu istirahat setelah sehari penuh menunggang kuda," selak Duruwisa.
"Ya! Kita sangat memerlukannya," dukung Duruseta.
"Sebaiknya kita cari tempat yang aman dekat pohon sana."
Durupati terpaksa mengalah. Dan memang patut diakui, tubuhnya sendiri terasa lelah bukan main. Mungkin setelah bermalam di pinggir Hutan Jati Barang ini, keesokan paginya dapat melanjutkan perjalanan kembali, menuju Goa Darah yang masih cukup jauh.
Setelah menambatkan kudanya disebuah tempat yang cukup aman, Duruseta dan Duruwisa langsung menyusul Durupati yang mempersiapkan tempat bermalam. Matahari sudah tidak kelihatan lagi di ufuk barat. Suasana di pinggiran Hutan Jati Barang sudah mulai diselimuti kegelapan.
Entah mengapa, kegelisahan di hati Durupati semakin menjadi-jadi. Matanya melirik ke arah dua saudara seperguruannya yang sudah mulai merebahkan diri di atas tumpukan daun kering, begitu mendengar suara mendesir tidak jauh di samping kanan.
"Seperti ada orang mengintai tempat kita!" bisik Durupati, curiga.
Serentak Duruseta dan Duruwisa bangkit berdiri. Mata mereka merayapi kegelapan disekitarnya. Tidak ada apa-apa yang terlihat, kecuali kegelapan.
"Awaaas...!" Duruseta tiba-tiba berteriak memperingatkan.
Belum habis gema teriakan Duruseta, mendadak melesat beberapa benda putih berbentuk bintang segi empat, ke arah mereka. Namun dengan gerakan cepat sekali, ketiga saudara seperguruan ini menggenjot tubuhnya sehingga melesat ke udara. Setelah berputaran beberapa kali, mereka menjejak di atas dahan sebuah pohon yang cukup besar.
Benda-benda keperakan berbentuk bintang segi empat itu menancap dalam dibatang pohon yang dihinggapi tiga bersaudara itu. Durupati, Duruseta, dan Duruwisa saling berpandangan. Wajah mereka jelas-jelas tidak mampu menyembunyikan keterkejutan.
"Goa Darah masih jauh jaraknya dari Hutan Jati Barang ini. Tapi kedatangan kita sudah diketahui!" gumam Durupati heran.
"Mungkin bukan kelompok manusia buas darah itu yang melakukannya, Kakang?" agak bergetar suara Duruwisa.
"Lalu, siapa lagi yang menyerang kita? Senjata rahasia yang menyerang kita tadi, jelas bintang persegi empat. Dan itu adalah senjata rahasia tiap anggota Istana Goa Darah...!" rungut Durupati yang memiliki pengalaman jauh lebih baik.
Suasana di atas pohon sepi mencekam. Ketiga saudara seperguruan itu saling diam, sambil menantikan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi dengan sikap waspada.
"Kurasa orang yang menyerang kita telah pergi," desah Duruseta. Suaranya pelan tercekat.
"Jangan gegabah. Orang-orang Goa Darah datang dan pergi seperti setan. Kita tidak tahu, apakah iblis-iblis itu telah meninggalkan kita, atau malah menunggu sampai mati berdiri di sini!" gerutu Durupati sambil memegang hulu pedangnya erat-erat. Dan sebelum ada yang berusaha kembali, mendadak...
"Kepada tiga ekor monyet di atas pohon! Hendaknya kalian jangan kasak-kusuk di situ! Lekas tunjukkan diri, sebelum habis kesabaranku...!"
Tiba-tiba terdengar suara yang berasal dari tengah tengah kegelapan. Suaranya pelan saja, namun mengandung satu kekuatan aneh. Sehingga, membuat tiga saudara seperguruan itu menjadi bergetar. Diam-diam, mereka mengerahkan tenaga dalam untuk menghilangkan pengaruh suara orang yang sama sekali tidak dikenal.
Tanpa berpikir panjang lagi, setelah memperhitungkan segala sesuatunya, maka ketiga saudara seperguruan itu melompat turun dengan gerakan ringan, tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Dari sini bisa terlihat kalau ketiganya memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf hampir sempurna. Dan baru saja mereka menginjakkan kaki di atas tanah...
"Hanya orang-orang yang ingin mencari mampus saja yang berani datang ke Istana Goa Darah. Cepat katakan, dari padepokan mana kalian?! Biar agak mudah kami mencatatnya?" kembali terdengar suara aneh.
"Kami dari Padepokan Pedang Halilintar...!" jawab Durupati kalem.
"Hm! Mengapa Ki Subrata tidak datang sendiri ke istana kami?"
Nada bicara orang dalam kegelapan itu terdengar mendengus. Suaranya jelas-jelas meremehkan. Sehingga, membuat tiga murid Padepokan Pedang Halilintar menjadi marah.
"Untuk membasmi iblis-iblis penculik seperti penghuni Istana Goa Darah, cukup kami bertiga yang maju!" sentak Duruseta geram.
"Oh, begitu? Baiklah...!"
Baru saja suara menggeram di kegelapan sana menghilang, mendadak bertiup angin sedingin es, menerpa wajah mereka. Seketika, tiga orang murid pilihan dari Padepokan Pedang Halilintar ini mencium bau amis darah yang demikian menusuk.
Durupati segera memberi isyarat pada kedua adik seperguruannya. Bersamaan dengan itu, dari arah kegelapan di depan tampak berkelebat bayangan putih ke arah mereka.
Dalam waktu yang demikian singkat, tahu-tahu seorang laki-laki berwajah angker telah berdiri satu tombak di depan Durupati. Dalam keremangan malam yang hanya diterangi cahaya bulan, dapat terlihat kalau baju putih orang itu penuh bercak-bercak darah. Sebagian wajahnya juga dipenuhi darah yang telah mongering. Sehingga sepintas lalu dia hanya memiliki sebelah wajah saja.
"Kulihat dua di antara kalian memiliki tubuh meyakinkan! Karena telanjur kalian memasuki daerah ini, aku harus meringkus kalian berdua. Sedangkan yang kurus kerempeng harus kubunuh!" sentak laki-laki bertampang angker ini.
"Siapakah, Kisanak?" tanya Duruseta sudah tidak sabar lagi.
"Siapa aku? Nanti kau bisa menanyakannya pada ratu! Sekarang, kalian tidak berhak bertanya padaku!" dengus laki-laki berlumur darah itu ketus.
Durupati, Duruseta, dan Duruwisa marah bukan main mendengar ucapan orang berbaju putih ini. Tanpa bicara apa-apa lagi, Durpaksi menerjang ke depan sambil menghantamkan kedua tangannya kebagian dada dan perut orang itu.
Namun sejengkal sebelum kepalan tangan Durupati mencapai sasaran, sosok yang ternyata anggota Istana Goa Darah ini mendengus. Lalu dengan gerakan yang sangat manis, tubuhnya meliuk sambil menepis tinju Durupati.
Duk!
"Ufh!"
Durupati mengeluh tertahan. Tubuhnya kontan bergetar dan sempat terhuyung dua langkah kebelakang. Tangannya yang membentur tangan sosok itu terasa panas sekali. Tapi tenaga dalamnya segera dihimpun. Dan laksana kilat sambil memberi isyarat pada dua saudara seperguruannya, segera dilancarkannya serangan kembali ke arah sosok itu.
Sementara itu dari dua arah lainnya, datang pula serangan yang tidak kalah hebat menuju sosok itu. Dan kenyataannya tiga saudara seperguruan ini memang tidak dapat dianggap enteng. Terlebih-lebih setelah mereka melancarkan serangan bersama-sama.
Namun lawan yang dihadapi ternyata tidak bisa dianggap sembarangan. Laki-laki berbaju putih dan berselimut darah ini merupakan orang ketiga setelah Ratu Goa Darah. Dalam menghadapi setiap serangan yang semakin menghebat, dia tidak menjadi gugup. Sebaliknya dengan sikap tenang dia berhasil menghindari serangan tangan kosong murid-murid Padepokan Pedang Halilintar itu.
"Hiya...!" Tiba-tiba saja, laki-laki itu melenting ke udara. Tangan kanannya mengebut ke arah lawan-lawannya tiga kali berturut-turut. Maka seketika tiga buah benda berwarna keperakan melesat cepat bagaikan kilat ke arah ketiga lawannya.
Durupati yang sempat melihat dan merasakan sambaran angin yang memancarkan sinar putih, segera berteriak memberi aba-aba pada kawannya.
"Awas! Cabut senjata kalian!"
Sret!
Di tangan masing-masing ketiga murid Padepokan Pedang Halilintar, tergenggam sebilah pedang berwarna putih mengkilat. Ketika pedang itu diputar membentuk perisai diri, maka terdengar suara mendengung yang disertai berkelebatnya sinar putih menyilaukan mata. Tidak salah lagi, itulah jurus Pedang Bayang-Bayang yang sangat ampuh dan disegani lawan.
Trang!
Seketika terjadi benturan tiga kali berturut-turut. Bola api berpijaran dan memercik kesegala penjuru ketika senjata rahasia berbentuk bintang segi empat itu membentur ujung pedang.
Ketiga saudara seperguruan ini melompat mundur sejauh tiga langkah. Wajah mereka kini berubah pucat pasi. Telapak tangan terasa sakit berdenyut-denyut. Walau dada terasa nyeri bukan main, namun mereka segera menyerang kembali mempergunakan jurus-jurus pedang yang lebih berbahaya.
Laki-laki berbaju putih bersimbah darah ini, walaupun telah mengetahui kehebatan lawan-lawannya tidak merasa gentar sedikit pun. Sebagai tokoh nomor tiga dalam Istana Goa Darah, kecerdikannya sangat hebat. Sejak tadi, dia memang menghindari serangan lawan. Namun, matanya terus memperhatikan setiap gerak dan jurus-jurus yang dimainkan ketiga saudara seperguruan itu.
Sekarang, setidak-tidaknya walau dia tidak dapat melumpuhkan dengan mempergunakan senjata rahasia, tapi sudah dapat mengetahui titik kelemahan jurus-jurus yang dimainkan lawannya.
"Mampuslah kau kali ini! Hiyaaat...!" teriak laki-laki berbaju putih bersimbah darah kering ini.
Bagaikan kilat, tokoh nomor tiga Istana Doa Darah ini melompat ke depan sambil mengibaskan toya pendek di tangannya ke arah Durupati. Begitu cepatnya serangannya, sehingga membuat Durupati tidak sempat lagi mengibaskan pedangnya. Namun dia masih juga berusaha melepaskan satu pukulan, sambil berkelit menghindar. Sayang, pukulan yang dilepaskannya berhasil dihalau. Bahkan toya pendek di tangan tokoh Istana Goa Darah ini terus melaju, dan menghantam urat gerak Durupati.
Tak!
"Aaakh...!" Durupati mengeluh tertahan. Tubuhnya langsung kaku, sulit digerakkan mesti dalam keadaan berdiri. Duruseta dan Duruwisa tersentak kaget melihat kejadian berlangsung sangat cepat ini. Tidak ada jalan lain untuk membebaskan Durupati, selain merobohkan lawan terlebih dulu. Merasa tak ada jalan lain, maka mereka secara bersama-sama segera menggempur tokoh nomor tiga dari Istana Goa Darah.
"Percuma saja melawan kekuasaan ratu! Kalian akan menyesal sampai di neraka nanti! dengus laki-laki berbaju putih itu dingin menggidikkan.
Namun baik Duruseta dan Duruwisa sudah tidak menghiraukannya lagi. Mereka segera membuka jurus Pedang Bersatu Padu, yang membuat terkesiap tokoh nomor tiga di Istana Goa Darah itu. Terutama ketika melihat pedang ditangan Duruseta dan Duruwisa yang seakan-akan berubah menjadi puluhan.
Laki-laki berbaju putih itu terpaksa bergerak mundur sambil menghindari serangan-serangan murid-murid Padepokan Pedang Halilintar yang semakin bertambah cepat ini. Merasa terdesak secara terus-menerus, maka laki-laki berwajah angker ini terpaksa mempergunakan toyanya.
Bet!
Bagaikan kilat, toya berwarna hitam menderu dan menebarkan bau amis yang demikian menusuk. Mata Duruseta dan Duruwisa terbelalak ketika melihat toya yang menderu deras menusuk ke bagian-bagian tertentu di tubuh mereka. Dari samping kiri Duruwisa yang berbadan kurus kerempeng datang memberi bantuan sambil menusukkan pedangnya ke perut lawan.
"Uts...!" Laki-laki berbaju putih bersimbah darah itu melompat kesamping kiri sambil melepaskan tendangan menggeledek ke bagian kaki Duruwisa. Sementara tangan kanannya yang memegang toya menusuk ke bagian urat gerak Duruseta.
Buk!
"Akh...!" Duruwisa berteriak kesakitan. Tubuhnya kontan terpelanting sejauh tiga batang tombak. Tulang kaki kanannya patah.
Tokoh nomor tiga dari Istana Goa Darah tersenyum penuh kemenangan. Belum habis senyumnya, tangannya dikebutkan ke arah Duruwisa yang sudah tidak mampu berdiri. Seketika, dari telapak tangannya melesat senjata rahasia berbentuk bintang segi empat, mengancam keselamatan Duruwisa.
Sementara Duruseta yang sempat luput dari totokan toya, segera menerjang kedepan untuk meruntuhkan senjata rahasia yang dikibaskan lawannya.
Rupanya laki-laki berbaju putih melihat gelagat yang tidak baik ini. Laksana kilat, tubuhnya melesat ke arah Duruseta sambil berguling-guling sebanyak tiga kali. Bukan main cepat gerakannya. Sehingga Duruseta yang mengkhawatirkan keselamatan adik seperguruannya, sudah tidak sempat lagi menghindari totokan toya.
"Hugh...!" Duruseta mengeluh pendek.
Tubuh laki-laki berbaju hitam ini kontan tergelimpang roboh dalam keadaan tertotok. Pada saat yang bersamaan, Duruwisa sendiri sambil terus berguling-guling, mengibaskan pedang di tangannya membentuk perisai yang sangat kuat.
Trang! Trang!
Seketika tercipta pijaran bola api begitu senjata rahasia itu membentur ujung pedang di tangan Duruwisa. Namun tubuh Duruwisa bergetar hebat. Bahkan tangannya terasa panas bukan main.
"Mampuslah kau kali ini!" teriak laki-laki berbaju putih itu.
Saat itu juga, tubuh laki-laki itu melesat kedepan laksana kilat. Duruwisa yang tidak mampu berdiri sempurna, langsung menangkis ketika toya di tangan laki-laki berbaju putih itu menusuk ke bagian perutnya.
"Yeaaah...!" Duruwisa berteriak nyaring.
Trak!
"Hih...!" Pedang di tangan Duruwisa kontan patah jadi dua ketika membentur toya di tangan lawannya. Pada saat yang sama, lelaki berbaju putih lawannya langsung menghantam kepala Duruwisa.
Prak!
"Aaa...!" Duruwisa menjerit setinggi langit. Darah dan otaknya menyembur dari batok kepala yang hancur terhantam toya. Tubuhnya kontan ambruk dan berkelojotan sebentar. Tak lama, tubuhnya terdiam untuk selama-lamanya dengan mata melotot.
"Duruwisa...!" teriak Durupati dan Duruseta hampir bersamaan.
Mereka menjerit-jerit seperti orang yang kesurupan melihat saudara seperguruannya yang tewas dalam keadaan mengenaskan.
"Hahaha! Biarkan saudara kalian yang tidak berguna itu mati. Sudah waktunya bagi kalian untuk mengikutiku menghadap sang ratu...!" ujar tokoh nomor tiga Istana Goa Darah, tersenyum sinis.
Laki-laki berbaju putih itu kemudian mengeluarkan seutas tali terbuat dari sejenis oyot kayu. Sementara Durupati dan Duruseta hanya dapat memaki-maki ketika tubuh mereka diikat lawannya.
"Kalau nasib kalian bagus, akan mendapat kesenangan di sana. Tapi kalau jelek, begitu datang langsung dipenggal! Darah kalian akan digunakan untuk berendam bagi sang ratu kami!" dingin suara laki-laki berbaju putih itu.
Sambil memanggul tubuh Durupati dan Duruseta, tokoh dari Istana Goa Darah ini langsung memutar langkah dan dia segera meninggalkan Hutan Jati Barang.

***

152. Pendekar Rajawali Sakti : Istana Goa DarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang