BAGIAN 2

226 15 0
                                    

Untuk dapat sampai di Istana Goa Darah, seseorang harus melewati sebuah lembah yang membentang di depannya. Namun sayang, tidak setiap orang dapat pergi ke sana. Bukan saja karena lembah di depan goa itu dihuni beberapa jenis binatang berbisa, tapi juga menyimpan rahasia yang setiap saat mengintai. Makanya, tanpa mengetahui jalan rahasia, hanyalah mati konyol jika memaksa ingin datang ke lembah itu.
Matahan pagi mulai memancarkan sinarnya di ufuk timur. Suasana di sekeliling Istana Goa Darah yang berbentuk kubah, tampak sepi menyeramkan. Bagian depan pintu goa yang menghubungkan ke lorong-lorong ke berbagai ruangan, berwarna merah darah. Sesungguhnya bahan yang dipergunakan untuk mewarnai pintu dan sepanjang lorong, berasal dari darah maupun daging yang telah membusuk. Tidak heran jika dari jarak seratus batang tombak, telah tercium bau busuk yang sangat menyesakkan.
Dalam kesunyian pagi ini, dari arah timur Hutan Jati Barang terlihat sebuah kereta kuda yang terus melaju ke arah Istana Goa Darah. Di depannya, duduk seorang laki-laki bertampang angker. Bajunya yang berwarna putih, tampak coreng-moreng bekas olesan darah yang telah mengering. Sebagian wajahnya tampak memerah. Sedangkan bagian lainnya berwarna putih pucat.
Di dalam kereta kuda, tampak tergeletak dua orang laki-laki berbaju hitam dalam keadaan tertotok dengan kedua kaki dan tangan terikat.
"Hiyaaa...!" Laki-laki bertampang dingin itu tak lain adalah tokoh nomor tiga di Istana Goa Darah ini. Dia menggebah kudanya tanpa henti. Kuda tunggangan ini meringkik keras, dan terus berlari bagai dikejar-kejar setan.
"Hooop...!" Begitu sampai di depan bibir lembah, laki-laki bertampang angker itu langsung menarik tali kekang. Sehingga kedua ekor kuda penarik kereta berhenti seketika. Sepasang mata tokoh ketiga Istana Goa Darah memandang tajam ke arah pintu goa yang berwarna merah kehitaman dan dalam keadaan tertutup. Lalu...
"Para penjaga gerbang Istana Goa Darah! Aku membutuhkan Jembatan Penghubung Sukma...!" Sesaat, hanya kesunyian saja yang ada. Namun tidak lama, pintu batu Istana Goa Darah terbuka disertai suara menggemuruh seperti gempa. Tidak seorang pun terlihat di depan pintu yang terbuka itu.
Sret!
Bahkan dari pintu Istana Goa Darah melesat dua leret sinar berwarna merah darah. Sinar itu memipih dan terus melebar, sehingga membentuk sebuah jalan yang menghubungkan bibir lembah dengan pintu goa.
Dengan gerakan sangat ringan, tokoh ketiga Istana Goa Darah menghampiri kereta kuda. Ditariknya dua sosok tubuh yang tak lain Durupati dan Duruseta. Lalu dipanggulnya dua murid Padepokan Pedang Halilintar ini.
"Hup!"
Tanpa merasa canggung lagi, laki-laki berwajah angker ini langsung melewati Jembatan Penghubung Sukma yang membentang di depannya.
Jembatan yang dilalui sedikit pun tidak bergoyang, walau tokoh ini membawa beban yang cukup berat. Ketika sampai di pintu goa, maka dengan sendirinya jembatan gaib itu lenyap begitu saja.
Duruseta dan Durupati yang sempat melihat kejadian ini membelalakkan mata. Sekarang mereka baru tahu, mengapa orang-orang persilatan yang berusaha menyerbu Istana Goa Darah hanya menemui ajal secara sia-sia. Rupanya, untuk mencapai mulut goa harus mempergunakan alat khusus.
Pintu batu goa itu kemudian menutup dengan sendirinya. Dua orang pengawal bertampang aneh dengan baju putih menjura hormat pada lelaki ini.
Tanpa menghiraukan pengawal tadi, laki-laki ini terus melangkah menuju ke sebuah ruangan yang juga bercat merah darah, bercampur serpihan-serpihan daging membusuk. Bau busuk di ruangan itu sama busuknya dengan lorong-lorong lainnya.
Tengkuk Durupati kontan meremang berdiri. Terlebih-lebih, setelah melihat lebih dan sepuluh mayat yang telah diawetkan dijejer di samping kanan mereka. Wajah mayat-mayat yang telah diawetkan ini agaknya adalah orang-orang yang telah berusia lanjut. Paling tidak mencapai tujuh puluhan. Pada setiap mayat, terdapat sebuah luka menganga di dada.
"Apa yang terjadi di sini?" kata batin Durupati.
"Jangan berpikir macam-macam!" dengus tokoh ketiga Istana Darah, seakan mengerti apa yang sedang dipikirkan Durupati.
Durupati terdiam. Wajahnya semakin bertambah pucat, ketika mereka sampai di ruangan lain yang berhawa dingin berbau busuk luar biasa. Tokoh ketiga Istana Goa Darah menghentikan langkahnya. Tubuh Durupati dan Duruseta dihempaskan begitu saja. Sehingga kedua murid Padepokan Pedang Halilintar yang dalam keadaan tertotok, jatuh terguling-guling tanpa mampu berbuat apa-apa.
Begitu tubuh mereka menyentuh lantai yang berwarna merah dan becek, ratusan ulat pemakan bangkai langsung mengerubuti. Durupati dan Duruseta berteriak-teriak. Tapi teriakan mereka hanya sampai sebatas tenggorokan saja. Karena, laki-laki berbaju putih itu telah menotok urat suara mereka.
"Haram jadah! Neraka macam apa ini?" dengus Duruseta dalam hati tanpa daya sama sekali.
Tokoh ke tiga Istana Goa Darah sekarang menghadap ke arah sebuah ruangan yang tertutup kain berwarna merah, menebarkan bau semakin busuk. Tubuhnya menjura dalam-dalam, setelah melihat kain merah yang menutupi ruangan tidak seberapa besar itu berkibar-kibar.
"Hamba datang menghadap, Gusti Ratu...!" kata laki-laki berwajah angker ini dengan suara pelan namun cukup jelas terdengar.
Durupati dan Duruseta saling pandang. Mereka merasa heran melihat keganjilan demi keganjilan yang ada di Istana Goa Darah.
"Gila barangkali orang ini? Dia bicara pada kain merah yang tidak bisa berbuat apa-apa?" gerutu Durupati, dalam hati.
"Kau membawa dua tawanan lagi, Iblis Wajah Sebelah? Apakah mereka seorang tokoh atau hanya penambah pajangan patung-patung mayat diruangan sebelah itu?"
Tiba-tiba terdengar sebuah suara menyahuti, dari balik tirai ruangan. "Maafkan hamba, Gusti Ratu," ucap laki-laki berwajah angker yang ternyata berjuluk Iblis Wajah Sebelah. "Hamba hanya membawa dua orang murid Padepokan Pedang Halilintar. Tapi... hamba yakin Gusti Ratu pasti menyukainya."
"Hm, begitu?" Ada kemarahan dalam nada ucapan orang yang duduk di balik tirai berwarna merah. Sehingga, kain berwarna merah itu berkibar-kibar lebih keras. Bau di ruangan semakin bertambah busuk. Sementara, Durupati dan Duruseta berusaha keras agar tidak sampai muntah.
"Hamba yakin begitu, Gusti Ratu!"
"Iblis Wajah Sebelah! Tikus-tikus seperti itu hanya membuatku bosan. Yang kuinginkan, kau dan Hantu Pencabut Nyawa sebagai orang kepercayaanku disini, segera meringkus tokoh-tokoh persilatan golongan putih! Apakah kau masih ingat, siapa-siapa saja orangnya?" tanya suara dari balik tirai, yang merupakan, Penguasa Istana Goa Darah.
"Ham..., hamba masih ingat, Gusti! Pertama-tama adalah Pendekar Rajawali Sakti dari Karang Setra. Kedua, Ki Subrata dari Padepokan Pedang Halilintar. Sedangkan yang ketiga dan keempat, masing-masing adalah Raja Pembual dari Gunung Bromo dan Bayangan Malaikat dari Gunung Dieng!" jawab Iblis Wajah Sebelah, menyebutkan nama-nama tokoh yang harus dibunuhnya.
"Bagus! Mereka itulah orang-orang yang pantas mati demi kejayaan Istana Goa Darah. Juga, demi menghormati para iblis yang telah mendukung semua usaha kita."
Iblis Wajah Sebelah menganggukkan kepala.
"Cepat atau lambat, mereka akan mati juga di tangan kita, Gusti Ratu. Hamba telah membuat beberapa pengumuman untuk memancing kedatangan mereka ke Lembah Putus Nyawa di depan istana ini," jelas laki-laki berwajah angker itu.
"Hm. Mengenai empat tokoh lainnya, aku tidak begitu memikirkan. Tapi pemuda yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti, perlu mendapat perhatian khusus dariku...!"
"Betapapun hebat kesaktiannya, kita tidak perlu merasa takut, Gusti Ratu. Kita pasti dapat mengatasinya!" tandas Iblis Wajah Sebelah penuh keyakinan.
Sementara itu, Durupati dan Duruseta yang dapat mendengar pembicaraan Penguasa Istana Goa Darah tampak terkesiap. Mata mereka melotot dengan wajah berubah pucat seperti mayat. Sama sekali tidak dikira kalau para iblis Istana Goa Darah memiliki rencana yang sangat keji.
Selama ini, yang mereka ketahui adalah, penghuni Istana Goa Darah hanya menculik orang-orang tertentu untuk dijadikan tumbal. Namun tak disangka kalau mereka mempunyai niat yang sangat besar untuk menaklukkan tokoh-tokoh persilatan golongan putih.
"Guru harus diberitahu mengenai rencana gila mereka! Tapi bagaimana caranya agar dapat meloloskan diri dari neraka ini?" kata Durupati dalam hati, sambil terus menahan geli akibat gerayangan ulat-ulat di tubuh.
"Dua ekor tikus ini kalau perlu masukkan ke dalam perangkap, agar hatinya tidak berkicau terus!" dengus Gusti Ratu.
Untuk yang kedua kalinya, Durupati terkejut. Sama sekali tidak disangka kalau Penguasa Istana Goa Darah juga dapat membaca hati orang lain.
"Tapi Gusti Ratu! Apakah Gusti tidak memerlukannya?" tanya Iblis Wajah Sebelah, hati-hati sekali.
"Tentu! Tapi nanti...!" sahutnya dingin.
"Hamba mohon diri, Gusti Ratu...!"
Iblis Wajah Sebelah menjura penuh hormat. Kemudian tubuhnya berbalik, menghampiri Durupati dan Duruseta. Seketika kedua pemuda murid Ki Subrata itu diseretnya memasuki sebuah ruangan lain, membuat ulat-ulat yang mengerubungi berjatuhan. Setelah melewati ruangan yang berbentuk seperti istana kecil, mereka menyeberangi sebuah jembatan yang terbuat dari tulang-belulang manusia. Durupati maupun Duruseta sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa, karena masih dalam keadaan tertotok.
Sampai di sebuah ruangan yang di tengah-tengahnya terdapat sebuah kolam berwarna merah darah, Iblis Wajah Sebelah menghentikan langkahnya. Diangkatnya Duruseta dan Durupati dalam keadaan berdiri. Kemudian tangan dan kaki kedua pemuda itu dirantai satu sama lain, menghadap ke tengah-tengah kolam. Sehingga dengan jelas mereka dapat melihat kolam darah yang dalam keadaan menggelegak seperti mendidih.
"Jika Gusti Ratu berkenan hati, beliau akan membawa kalian ke surga. Begitu menjadi tua setelah sari kehidupan kalian diisap, maka darah di tubuh kalian akan dijadikan pengisi kolam darah itu!"
"Keparat terkutuk...!" maki Durupati dalam hati, marah bukan main.

***

Di pinggiran Hutan Kemusuk, sebuah bayangan berkelebat dari satu pohon ke pohon lainnya. Gerakannya cepat luar biasa, pertanda bahwa bayangan putih ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai taraf sempurna. Tak lama, langkahnya terhenti.
Tatapan matanya memandang lurus ke batang pohon. Tampak selembar daun lontar yang menempel pada batang pohon menjadi pusat perhatiannya. Rupanya sosok yang ternyata pemuda tampan berbaju rompi putih ini merasa tertarik untuk mengetahui isi tulisan yang tertera diatas daun lontar tersebut. Tanpa merasa curiga pemuda itu menghampiri. Dibacanya beberapa baris kalimat yang ditulis dengan tinta darah.

Ini adalah undangan untuk para tokoh yang terhormat. Karena itu, datanglah ke Hutan Jati Barang untuk melihat sebuah pertunjukan menarik yang Kisanak semua seumur hidup pasti tidak akan dapat melupakannya!
Tertanda
Orang-orang gagah

"Undangan gila!" rutuk pemuda berbaju rompi putih yang tak lain Rangga, alias Pendekar Rajawali Sakti. "Orang yang menulis di daun lontar ini sama sekali tidak menyebut, apa tujuannya mengundang para tokoh persilatan, tokoh mana yang dimaksudkan. Tokoh aliran putih atau aliran hitam?"
Seingatnya, sekarang ini Rangga telah berada di daerah Hutan Kemusuk. Untuk sampai di Hutan Jati Barang, sudah tidak jauh lagi jaraknya dari hutan ini. Rangga berpikir keras. Jauh-jauh datang dari Karang Setra, semata-mata karena mendengar adanya kabar burung tentang penculikan yang dilakukan segelintir orang terhadap para tokoh golongan putih.
Masih belum jelas, siapa yang melakukan penculikan. Pendekar Rajawali Sakti masih melakukan penyelidikan. Beberapa tokoh yang dikenalnya dengan baik, ternyata juga lenyap dari tempat tinggalnya. Sekarang, Rangga dihadapkan pada satu masalah lain. Undangan yang tertulis di atas daun lontar ini bisa saja berupa jebakan yang sewaktu-waktu dapat mencelakakan dirinya.
Namun. Pendekar Rajawali Sakti pun merasa tidak ada salahnya jika melihat apa yang sedang terjadi di Hutan Jati Barang. Tanpa berpikir panjang lagi, segera langkahnya diputar menuju Hutan Jati Barang yang memang tidak jauh lagi jaraknya.

***

Pada waktu yang bersamaan, di pinggir Hutan Jati Barang seorang laki-laki tua berbaju hitam dengan senjata pedang tampak sedang memeriksa sosok mayat yang tergeletak di tanah. Laki-laki tua berjenggot putih itu tiba-tiba saja menundukkan kepala dalam-dalam, ketika mengenali siapa mayat yang kepalanya hancur itu.
"Begini singkat hidupmu, Duruwisa? Sama sekali tidak kuduga kalau umurmu hanya sampai di sini...!" desis laki-laki tua berbaju hitam ini dengan perasaan sedih. Matanya memandangi mayat yang tak lain dari jasad Duruwisa sambil memperhatikan setiap lekuk yang ada. Sampai akhirnya, matanya melihat sebuah benda bersegi empat berwarna putih seperti perak.
Dengan sangat hati-hati sekali, orang tua itu mencabut senjata rahasia yang terbenam di dada Duruwisa. Benda berbentuk bintang segi empat itu diperhatikannya dengan cermat.
"Hm...!" gumam orang tua itu, guru dari Duruwisa.
Laki-laki yang tak lain dari Ki Subrata ini memperhatikan bekas luka di dada mayat muridnya yang jelas berwarna hitam. Jadi senjata rahasia berbentuk bintang segi empat itu mengandung racun sangat jahat.
"Aku yakin, semua ini pasti perbuatan orang-orang Istana Goa Darah!" geram Ki Subrata dengan tangan terkepal. "Tapi apakah dua muridku yang lain masih selamat hingga saat ini? Aku tidak tahu apa yang bakal terjadi pada mereka. Tapi naluriku mengatakan, ada sesuatu yang tidak beres di Istana Goa Darah."
Laki-laki tua berjenggot putih ini bangkit berdiri. Matanya beredar ke segenap penjuru, di mana mayat-mayat yang tidak dikenal bergeletakan saling tumpang tindih. Ditimangnya benda persegi empat di tangan. Dan mendadak saja dia terkesiap begitu pendengarannya yang cukup tajam menangkap suara berdesir dari samping kanan.
Seketika itu pula, Ki Subrata berpaling. Wajahnya yang selalu tenang tiba-tiba saja terkesiap. Dalam suasana panas terik itu, dia melihat tiga buah benda berwarna putih keperakan menderu ke arahnya. Dengan sigap, senjata rahasia yang ada dalam genggamannya disambitkan.
"Hih!" Dan dengan gerakan yang sangat indah pula, Ki Subrata melenting keudara.
Tring!
Salah satu senjata rahasia langsung jatuh ketanah, ketika membentur senjata yang disambitkan Ki Subrata. Sedangkan dua lainnya terus berkelebat dua jengkal dibawah telapak kakinya.
Crap! Crap!
Senjata rahasia yang dilepaskan pembokong menembus salah satu pohon di belakang Ketua Padepokan Pedang Halilintar itu.
"Heps!"
Dengan gerakan sangat manis, Ki Subrata menjejakkan kedua kakinya kembali ke atas tanah. Lalu dijelajahinya tempat di mana serangan tadi berasal.
"Pembokong licik! Tunjukkan tampangmu. Jangan bertindak pengecut seperti banci...!" teriak Ketua Padepokan Pedang Halilintar dengan suara lantang.
Beberapa saat setelah gema suara Ki Subrata menghilang, suasana berubah sepi mencekam. Udara di siang hari terasa sangat panas menyengat. Namun kesunyian tidak berlangsung lama, langsung terobek oleh terdengarnya suara tawa serak seseorang yang terasa menyakitkan gendang telinga.

***

152. Pendekar Rajawali Sakti : Istana Goa DarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang