Kusuma Agro Wisata dan Kota Ujung

2 0 0
                                    

Kusuma Agro Wisata semakin sesak, lapangan rumput yang biasanya lengang tampak penuh dengan manusia-manusia yang mayoritas berusia produktif. Letaknya yang dirangkul oleh pegunungan membuat suasana disini sendu, dengan hawa dingin dan matahari muncul hitungan jari dalam sebulan. Aku menaikkan sweater turtleneck berwarna kuning yang tengah dipakai lalu menggerai rambut agar lebih hangat. Padahal udara tetap menyelisik mencari bagian kulit mana yang belum disentuh oleh tangan dinginnya.

Mataku meneliti beberapa orang yang berdiri dalam barisan di depanku, tersenyum geli begitu melihat satu orang wanita yang memakai rok stripes berwarna merah selutut cerah ditambah baju hitam yang memerlihatkan bagian sensitif mereka. Dengan sweater tebal, topi pet kucel, sepatu, dan rambut tebal yang menutupi leher saja aku masih merasakan dinginnya Kota Ujung.

Suara Elda menyanyikan lagu Cry Little Heart mengagetkanku dari pengamatan diam-diam barusan. Mencari-cari ponsel yang tertimbun di bagian bawah totebagku.

"Mima!," ujar seorang di seberang. Tanpa melihat wajahnya aku tahu dia menyiapkan banyak kata untuk menyemprotku.

"Ya?," jawabku.

"Masih di home stay?."

"Udah di Argo, lagi ngantri buat masuk," sambil melihat si wanita dengan rok stripes merah mendahului masuk dengan tiket yang sudah dirobek, sedikit membuatku jengkel masih harus lama mengantre lagi.

"Mima!." Aku mengernyit saat nama itu kembali dipanggil, lengkingan suara Sahnat paling mengerikan sedunia jika sedang jengkel. "Gimana kamu bisa masuk, kan tiketnya ada di aku."

Oh.

Panik. Mataku jelatatan mencari sosok wanita dengan rambut coklat sebahu, berharap Sahnat dengan baik hati akan menghampiriku ke antrean agar bisa masuk ke dalam. "Maaf Nat, lupa."

"Kebiasaan, kalau aku gak telpon terus kamu gimana?."

"Nat," disusul cengiranku yang sebenarnya tak dapat terlihat.

"Iya aku kesitu, nyusahin."

Entah berapa kali aku bersyukur memiliki Sahnat selama tujuh tahun ini. Satu-satunya orang yang dengan rela bertahan dengan moodswing, segala rewelan ataupun rasa-rasa lain yang seringnya muncul dalam waktu yang tidak tepat.

Sambil menunggunya, mataku kembali jelalatan pada beberapa orang yang berbaris di depan. Aku suka mengatami keramaian, orang-orang yang dengan cara sendiri menjalani kehidupan bersama waktu. Berbagai ekspresi, pakaian yang mereka kenakan, atau tawa yang renyah. Sering menebak-nebak latar belakang dari orang-orang itu, sebuah hobi yang ganjil. Bahkan kepada Sahnat, aku tak pernah menyebut-nyebutnya. Kekhawatiranku dianggap sebagai stalker ternyata lebih besar dari keinginanku berbagi hal ini dengannya. Mengamati berarti mengonsumsi. Dan aku senang mengisi pikiranku dengan banyak hal, bisa sejenak melupakan apapun yang biasanya lebih kuat mengisi pikiran. Keramaian, kadang menjadi peralihanku meski pada akhirnya tetap merasa sepi.

Tasku tertarik oleh sepasang tangan, sebelum melihat wajahnya kukira ada seorang yang berpikiran tidak baik ingin mengambil tas yang hanya berisi buku saku, pulpen, headset dan novel N.H Dini. Tetap saja itu sangat berharga.

"Ayo keluar dari barisan, kamu bisa masuk lewat sana bareng aku," Sahnat menunjuk gate yang lebih kecil dari yang akan kumasuki. Badannya yang ramping dan warna kulit khas Asia begitu kontradiktif denganku yang berbadan mirip upil, kecil dan sedikit lebih gelap.

"Gak bakal kenapa-napa?."

Sahnat nyengir. "Penjaga gatenya ternyata temen sekolahku dulu."

Ucapan syukur yang kedua kali ini, bisa melemaskan kedua kakiku yang hampir satu jam berdiri dengan sabar. Berjanji pada diri sendiri jika sampai homestay aku tak akan bergerak hingga pagi sebagai ucapan terima kasih pada dua kaki ini. Aku merangkulnya sambil mengikuti Sahnat berjalan ke arah kanan. "Kamu adalah Tim Sar hari ini."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 14, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FolkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang