"DEEPSHIKA?! Lo … gak tidur lagi?! Mampus. Bu Anne gak pernah suka ada murid yang tidur di pelajarannya." Alice langsung membawaku duduk di samping bangkunya, tempat biasa aku duduk. Dia bahkan sudah melihat apakah aku membawa buku yang seharusnya di tas. Dan sepertinya, Alice akan mengomel kembali.“Lo kayaknya perlu mandi pake air garam. Gila, ngapain bawa buku buat hari Jumat coba? Sekarang hari Kamis Deepshika. Ka-mis. Fix, kalender di rumah lo gak jelas."
"Bacot lo pagi-pagi."
"Ya gimana gak bacot? Lo udah kayak gak niat sekolah. Baju berantakan, buku gak sesuai, terus itu rambut kenapa ada ranting pohon?!"
Aku langsung meraba kepala. Benar, ternyata ada ranting di rambutku. Setelah diperiksa kembali, bukan hanya ranting yang ada di sana, tapi juga ada daun jambu yang aku yakin sekali dari halaman rumah. Berarti ....
AKU NAIK BUS DENGAN PENAMPILAN SEPERTI ITU?!
Langsung saja aku membenturkan dahiku ke meja. Bodoh banget, sih, Dep? Masa gitu aja sampai gak sadar?
"Kalo mau mati cepet gak usah gitu caranya. Lo mending lompat dari jendela samping Carin duduk."
"Gila lo, Lice. Ini lantai empat. Kalo gue lompat beneran langsung meninggoy."
"Seenggaknya masuk berita," ucapnya acuh. Kulihat dia masih memeriksa isi tas hitamku. Kadang memindahkan beberapa buku dari kolong mejanya ke dalam tasku dan begitu sebaliknya. Semoga saja dia tidak usil dengan barang-barang itu.
Belum ada lima menit, Riel sudah memberi kode kepada penghuni kelas. Katanya, "bu Anne dateng. Duduk woy! Eh, Seno ... cepetan pake dasi!"
Seperti yang sudah kami duga. Bu Anne datang membawa perlengkapan yang ... menakutkan? Entahlah, menurut kami seperti itu. Tangan kanannya membawa sebuah buku yang tebalnya melebihi kamus besar bahasa Indonesia, dan ditangan sebelahnya ada tas kulit sedang serta penggaris kayu setengah badannya. Dia berjalan kecil dari ruang guru ke kelasku dengan baju batik, rok navy yang agak ketat, juga dua cincin emas kebanggaanmembuat siapapun terpesona melihatnya.
Kecuali kami. Penghuni XI Akuntansi.
Bu Anne itu ....
"Rena! Carin! Wanda! Apa-apaan duduk di meja seperti itu?!"
"Seno, tugas minggu lalu kamu mana?! Lima menit lagi harus sudah siap."
"Yang kolong mejanya ada sampah, cepat dibuang! Ibu gak suka kelas berantakan begini."
Berisik.
Mana bisa aku tidur dengan keadaan seperti ini. Mungkin bu Anne punya dendam pribadi dengan aku. Untung yang lain mendukung mataku untuk terpejam, apalagi Ersya yang diam-diam menaruh permen manis ke kepalan tangan. Ucapan terima kasihku untuknya tak mengeluarkan suara, namun dia mengerti dan mengangguk sekilas.
Wanda juga mengerti jika aku sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja untuk ditindas latihan dari bu Anne, maka dia menyuruhku duduk di tempatnya. Pojok kanan belakang adalah tempat Wanda dan tempatku tepat di depan meja guru. Salahkan Alice yang memilih tempat paling tidak strategis.
"Dep, sehat?" tanya Gallen setengah bercanda.
Aku terkekeh kecil. "Wah, dengan mata seperti panda sudah pasti saya sehat banget."
"Lo tidur aja. Bu Anne urusan gue."
Setelah mengiyakan aku menidurkan kepala ke meja. Penjelasan bu Anne tentang Barisan dan Deret Aritmatika membuat mengantuk. Semakin lama kesadaranku makin menipis.
Akhirnya aku pun tertidur.
***
"Aku atau Dia?" tanya cewek itu dengan sebuah pedang di tangannya. Aku hanya diam saat cowok yang kini menggendongku malah berlari ke arahnya.
Sialan, aku ditinggal.
Mereka bertengkar. Aku hanya sekilas mendengar bahwa aku dijadikan kambing hitam. Padahal diriku hanya diam, masih setia dengan pasir pantai yang bersentuhan di kaki. Bahkan mendambakan suara ombak tanpa mendengar mereka berdebat.
Lalu selanjutnya berubah. Aku duduk—sepertinya—di ujung sebuah kapal. Tangan dan kaki terikat, mataku juga tertutup kain. Ramai suara manusia lain terdengar di telinga. Lagi, aku dijadikan kambing hitam.
"Bunuh saja! Dia membuat kami semua susah!"
"Tenggelamkan. Dia tidak cocok berada di sini."
"Sudah aku bilang, kalau dia pembawa musibah. Kamu tetap menolongnya. Dan lihat, apa yang istimewa darinya?"
"Tau apa kamu? Dia istimewa," bantah cowok sialan tadi. Jujur, sebenarnya aku kesal ditinggalkan begitu saja.
Si cewek menjawab. "Kalau kamu milih dia, aku akan mati dengan pedang ini!"
"Jangan. Kamu tidak boleh mati saat ini."
"Maka bunuh dia sekarang!"
Hening. Tak ada yang bersuara setelahnya.
"Baiklah. Jika itu yang kamu mau."
Lalu aku merasa di dorong ke belakang, ke arah lautan lepas. Semuanya bersorak saat sebuah pedang terbebas dari pelindungnya. Bahkan aku mendengar seruan untuk mempercepat proses kematianku.
Pasrah. Mau diapakan lagi? Tidak ada yang mendukungku untuk hidup. Namun aku tidak mau mati dengan kepala terpisah dari badan. Dan inilah jalan satu-satunya. Menjatuhkan diri ke lautan.
Sebelumnya aku berkata, "kalian keji. Kematianku akan menjadi ancaman untuk kalian.”
BYURR!
Aku disiram air.
"Lo udah sadar?"
"Emang gue kenapa?"
Sekelas langsung mengelilingi tempatku duduk.
Kini Carin yang bersuara. "Sumpah, lo tidur serem banget. Lihat! Tangan lo pada berdarah."
"Lo juga tadi bilang bakal bunuh kita semua," timpal Arda yang disetujui oleh semuanya.
"Salah denger kali lo."
Aku masih mengelak apapun yang mereka sampaikan. Alice masih mengobati tanganku. Gallen juga ikut membantu Alice.
Seno berdecak melihat keadaanku. "Dia sering begitu. Lo pada gak inget yang dia tidur tapi mau lompat dari tangga? Waktu kelas sepuluh juga lebih parah."
"Iya, sih. Kok gitu, Dep? Lo ada kelainan?" terka Bara.
"Mana gue tau, gue, kan, tidur," candaku yang membuat mereka semua mengeluh.
“D. Deepshika. 'D' di depan nama lo apa?"
Dan aku tak mampu menjawab pertanyaan Ersya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Candala
Genç KurguYang Deepshika takutkan adalah dirinya tidak layak untuk Ranu. Nyatanya dia hanya ragu. Ranu terlalu kelam untuk sebuah cahaya yang bersinar terang. Deepshika tak pernah tahu itu. Tapi Ranu ingin tahu, apa yang disembunyikan Deepshika? Kenapa ... De...