Urusan tentang Dandy selesai. Tapi masalah baru datang lagi. Bukan hidup namanya kalau enggak ada masalah.
Kali ini sama papa.
Sehari setelah gue ketemu Dandy, Papa ngajak gue ngobrol. Dia bilang dia mau gue dateng ke acara ulang tahun usaha impor dia yang ke 15 tahun. Papa punya perusahaan impor makanan dan minuman yang kemudian diedarkan di Indonesia, dan juga dia bekerja sama dengan hotel-hotel bintang 5 untuk menyediakan supply bahan makanan mereka, sejak 15 tahun yang lalu. Memang enggak sebesar usaha alat berat yang dia punya, tapi kata Mama usahanya di bidang impor makanan tergolong selalu stabil.
Di tahun sebelumnya, Papa enggak pernah nyuruh gue buat bawa Dandy. Tapi tahun ini papa mau gue bawa Kak Jano.
Diskriminasi enggak sih?
Enggak adil buat Dandy! Ya meskipun gue udah putus, tapi gue enggak suka aja. Pasti ujungnya papa mau pamer ke keluarga besar gue kalau dia udah punya calon yang tepat buat anak perempuannya.
"Kenapa sih Pa? Dulu aja Dandy gak pernah disuruh dateng. Sekarang papa minta aku bawa Kak Jano."
"Kamu yang kenapa? Lagian Jano itu pacar kamu, papa kenal juga sama dia. Gak salah kan kalau papa undang dia?"
"Tapi dulu sama Dandy gak begini!"
"Kamu pacar Dandy apa pacar Jano. Kenapa masih mikirin Dandy?"
"Karena aku masih merasa bersalah sama dia. Gara-gara papa! Gara-gara cara papa memperlakukan dia!"
"Refa nada bicara kamu!" tegas papa.
"Apa sih yang bikin Dandy sama Kak Jano berbeda di mata Papa? Papa lihat status? Atau Papa lihat karier mereka?!"
"Kamu tau, Dandy itu enggak bisa jagain kamu! Dia gak tau apa-apa kecuali belajar dan sibuk sama dunia dia Refa! Kalau Papa mau, bahkan papa bisa cariin jodoh buat kamu yang lebih dari Jano! Tapi enggak papa lakuin kan?!"
"Kamu butuh Jano kedepannya. Kamu itu terlalu naif buat tau masalah orang-orang di tingkat kamu Refa! Papa cuma mau kasih tau, ketika kamu dewasa, enggak ada saudara yang benar-benar saudara!" suara papa enggak kalah lantang.
"Kamu bisanya cuma marah-marah aja sama Papa. Tau apa kamu Refa? Kamu itu enggak tau apa-apa tentang dunia ini. Papa coba lindungi kamu, kamu terus berontak. Kamu mau papa biarin sesuka hati? Hancur kamu Refa."
"Kamu itu harusnya sadar. Kamu lemah, kamu enggak punya power apapun buat melawan hal-hal buruk yang akan terjadi sama kamu. Yang bisa kamu lakuin cuma nangis, dan marah-marah!"
Tapi papa juga gak pernah ngajarin gue buat jadi kuat. Hal yang gue ingat waktu kecil adalah, ketika ada yang macem-macem sama gue, papa selalu nyuruh gue buat nyebut nama dia. Dia gak bisa nyalahin gue juga, karena outputnya saat ini adalah dari didikan dia juga.
Gue lemah? Bahkan gue gak tau gue lemah atau enggak, karena papa gak pernah biarin gue berusaha. Papa yang selalu kasih gue jalan halus.
"Kapan kamu mau jadi dewasa? Berhenti jadi tukang marah!"
Mata gue memanas. Kemudian gue meninggal kan papa begitu saja. Malemnya gue mutusin buat pergi dari rumah dan nginep di hotel. Rasanya gue marah banget sama Papa.
Paginya gue minta Kak Jano buat enggak jemput gue. Gue juga di kantor enggak bersuara seperti biasanya. Untung hari ini hari Jum'at, karena singkatnya hari ini, warga kantor enggak sadar kalau gue lebih diem.
"Yang bawa Maserati siapa tuh? Baru tau gue, orang sini ada yang pakai maserati." Kak Jeni yang udah siap buat balik membuka pertanyaan.
"Daril kalik?" tebak Kak Raka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senior [1] : Finding Mr. Right
FanfictionCinta aja ternyata enggak cukup dalam sebuah hubungan. Secermerlang apapun karier juga ternyata enggak cukup kalau itu hanya untuk ajang pembuktian. Semuanya rumit bagi Sharefa Yushrin. Inginnya, sang kekasih selalu perhatian dan ada untuk dirinya...