MEHUL: WORTH RAINING FOR
Cerita & Ilustrasi: Nanisi
Aku percaya tiap rintik hujan punya alasan kenapa ia turun ke Bumi
Aku percaya tiap rinai hujan punya harapan pada permukaan
Aku percaya tiap bulir punya keberanian
Keberanian besar yang membuat mereka merelakan sepasang sayapnya
Untuk lepas dari langit
Koyak pada angin
Hanyut pada dingin
Satu alasan pasti
Satu alasan kuat
Satu keberanian yang hebat
***
Tiap rintik hujan memiliki sepasang sayap. Sepasang sayap yang membuat mereka berlayar di sudut-sudut langit. Melompat dari satu awan ke awan lain hingga tiba pada pelukan Mother Cumullus, ibu para awan-awan langit yang akan menanyakan satu pertanyaan pasti:
"Siapkah kau turun hari ini?"
Hari ini lompatan terakhir Mehul, si bulir hujan, ke pelukan Mother Cumullus. Sang Angin yang mengantarnya tertawa-tawa mengejek dan menggoda.
"He's playing Romeo and Julliette, Mother," adu Sang Angin sambil berputar-putar diantara lengan-lengan Mother Cumullus, "mau tahu apa yang dia tanyakan padaku saat aku harus turun ke permukaan?"
Mehul menahan tatapan sebalnya pada Sang Angin. Sang Pembawa Kabar ini selalu saja menghembuskan cerita kemana-mana, tak peduli seberapa penting atau rahasianya. Mother Cumullus hanya tertawa lembut melihat Sang Angin yang menggoda Mehul.
"Namanya Cananga, Hero. Dan ia menitipkan salamnya padamu," kali ini Sang Angin melesat cepat di hadapan Mehul. Sangat cepat hingga ujung sulurnya hanya menggelitik sekilas hidung Mehul. Menguarkan aroma cantik kenanga mekar sempurna yang dirindukannya.
Ingin protes atas godaan berlanjut, namun nyatanya keharuman itu membuat Mehul terbius dari kemarahan. Wajah keki samarnya mengendur. Tersenyum bahagia tanpa bisa ditahan. Ia bahkan tak bisa memprotes betapa terbatasnya salam rindu yang dibawa Sang Angin.
"See?" Sang Angin terbahak-bahak. Mother Cumullus tertawa lagi karena Mehul tak berusaha menutupi semu merah di wajahnya.
"Jatuh cintakah yang membuatmu ingin segera turun ke Bumi?" tanya Mother Cumullus lembut.
"Iya," sahut Mehul tegas.
"Kau ingin menemuinya?" lengan Mother Cumullus membimbing Mehul mendekat ke arahnya.
Mehul mengangguk mantap, "Ya, Mother."
"Hey Mehul, my hero, kuharap kau tidak lupa satu hal," Sang Angin mendekat lagi. Kali ini wajahnya lebih serius dari sebelumnya.
"Tepat setelah Mother Cumullus menanyakan kepastianmu, kau akan mempertaruhkan apa yang kau miliki. Sayapmu akan terlepas, Bumi akan menarikmu, udara akan mengoyakmu, debu akan mencabikmu, waktu akan menghitung mundur sisa umurmu. Kau tak bisa memilih, kau hanya akan jatuh. Kau tak bisa berdalih, kau hanya bisa melaju. Cepat. Sangat cepat. Jauh lebih cepat daripada yang bisa kau bayangkan. Batinmu tak sempat merasa, pikirmu akan sirna. Yang kau tahu hanyalah kau jatuh. Sepenuhnya. Kepada permukaan yang siap menghisapmu. Mengembalikanmu pada tempat yang gelap. Sangat gelap dan tak bisa kau kembali untuk sebuah penyesalan."
Sang Angin menatap sepasang mata Mehul tajam. Menguji betul kesungguhannya, "Dalam perjalanan singkat dan satu-satunya ini, kuharap kau menyadari bahwa saat sayapmu lenyap kau tak bisa mengendalikan kemana kau akan jatuh. Bertemu dengannya adalah satu banding milyaran titik koordinat Bumi. Sekalipun kau beruntung dapat jatuh di dekatnya, kau tak akan bisa menyentuhnya."
Beberapa saat Mehul terdiam. Rombongan Angin lain berdatangan, mengayun mereka menjadi rekat pada satu kesatuan. Para Angin itu membawa rintik hujan lain yang siap meluncur ke Bumi. Mehul menatap sekelilingnya dalam diam. Sekilas melirik jauh ke permukaan Bumi. Menimbang deru Angin di sekitar kakinya. Merasakan helai-helai bulu sayapnya yang lembut dibuai sulur-sulur Angin.
Tak lama ia tersenyum tenang, "Terdengar lebih baik dibanding menguap oleh sengat panas Sang Surya."
Mehul melangkah lebih dekat pada Mother Cumullus yang menunggu, "Aku adalah Hujan, yang tercipta untuk jatuh. Berpisah dengan langit adalah kebahagiaan. Menyatu dengan Bumi adalah sebuah Pemenuhan. Merelakan hidup bagiku adalah menghidupi kehidupanku. Aku Hujan. Aku tak selamanya di Awan."
Mehul memberi hormat pada Mother Cumullus yang meraih tubuhnya dalam dekapan. Mempersatukannya dengan titik-titik hujan yang lain. Menderukan ijin pada langit untuk berpamit. Para Angin berputar dan bertiup, menyampaikan salam selamat jalan dari Sang Langit pada Mother Cumullus dan rintik-rintik hujan.
Saat terakhir kali Sang Angin mampu melihat Mehul di balik ribuan Hujan, bulir kecil pemberani itu memancarkan senyum lebar penuh kelegaan, "Aku tak perlu sayap untuk memeluknya. Teman, terimakasih untuk segalanya."
Saat rona mendung menghiasi senyum bahagia Mother Cumullus, pertanyaan itu terungkap:
"Siapkah kau turun hari ini?"
Dan rinai Hujan pun menjawab, "Ya, aku siap. Terimakasih, Tuhan."
Dengan begitu, Mother Cumullus merentangkan lengan-lengan besarnya pada langit. Tersenyum penuh syukur atas ribuan kerelaan dan keberanian dalam pelukannya.
Ia luruh.
Terurai dengan riuh.
Seiring dengan lepasnya sayap-sayap para rintik Hujan, selekas itu pula mereka menyambut pelukan muka Bumi. Melesat cepat menjemput permukaan.
Mehul meluncur, menusuk udara dingin dengan tubuh yang koyak tak bersayap. Debar di dadanya seolah hendak meledakkan dirinya menjadi pecahan molekul yang lebih kecil. Namun ia berkeras untuk melawan. Mengabaikan matanya yang pedih oleh angin yang menyayat tajam, bertahan untuk tetap membuka kedua kelopak matanya lebar-lebar. Fokus. Mencari. Dan tanpa henti berdoa penuh harapan tulus
Maka ketika sosok itu berhasil ditemukannya, ruang dan waktu seolah melepaskan jeratan pada keduanya. Jauh menjadi dekat, cepat berubah lambat. Puluhan kilometer serupa nol milimeter saat mata mereka bertemu dan menukar senyum rindu. Kecepatan tarik bumi serupa detik-detik syahdu di akhir minggu.
Cananga yang mekar sempurna itu merentangkan kelopak kuningnya. Senyum bahagia menghiasi rupa cantiknya.
"Aku telah menunggumu, Mehul," begitu ungkap Sang Bunga penuh rasa syukur dan bahagia.
Mehul mengangguk pasti dalam haru, mengagumi keindahan yang telah lama ingin dijemputnya. Sang Angin yang tak bisa menahan senyum atas kebahagiaan sang sahabat segera menyusulnya. Melesat secepat yang ia mampu. Menukik tajam dengan target yang jitu. Menyambar bulir hujan penuh cita dan cinta itu hingga ia jatuh tepat pada Sang Bunga.
"Selamat," ucapnya turut bahagia.
Mehul mengangguk penuh rasa terimakasih. Dilihatnya Cananga di puncak mekarnya tengah merentangkan lengan. Terbuka lebar, siap menyambut Sang Hujan yang tak lagi sempurna.
Selesai.
YOU ARE READING
Dongeng Dari Tiupan Angin
Short StoryDongeng-dongeng dari aroma yang datang mampir untuk bercerita. Mungkin ceritaku, bisa jadi ceritamu. ___ Nanisi ScentStory adalah brand aromatherapy yang dibuat berdasarkan aroma aura/energimu. Ketahui lebih lengkap tentang Nanisi ScentStory di Inst...