Semesta Kartika

45 0 0
                                    

dari Buku "Cerita Kartika Pada Kita" untuk Ulang Tahun Maestro Lukis Indonesia Kartika Afandi yang ke-84 (2018)

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

dari Buku "Cerita Kartika Pada Kita" untuk Ulang Tahun Maestro Lukis Indonesia Kartika Afandi yang ke-84 (2018)

Cerita & Ilustrasi: Nanisi



Ada dua Ternyata yang muncul ketika pertama kali aku bertemu dengan Semesta Kartika:

Satu, "Ternyata aku suka melukis."

Dua, "Ternyata aku buta warna."

Namun Kartika dengan seluruh kebun bunga penuh kejutannya menghadiahiku satu lagi, yang justru paling penting: "Ternyata keduanya bukan jadi masalah sama sekali."

***

Kartika adalah sebuah bintang, begitu sebutmu ketika mendengar namanya dengan telingamu. Ia bercahaya, ia berpendar di langit malam seperti teratai yang mekar megah di danau yang cantik. Dari tempatmu berdiri, bintang itu tampak jauh dan tidak bisa kamu mengerti. Bagimu yang ternyata suka melukis, namun ternyata buta warna, mengamati tak pernah benar-benar menjelaskan apa itu Kartika.

Di hari yang separuh hujan, kau memanggil pesawat kecilmu dan memutuskan untuk menjelajah kesana. Bentuknya seperti stupa candi yang mekar ke enam arah penjuru mata angin. Ia bekerja dengan pancaran aroma yang sama dengan ubun-ubunmu: bau batu berlumut yang terlalu lama kena hujan tapi terlalu licin tanpa tetesan air yang dalam.

Kartika adalah sebuah bintang, begitu pikirmu. Namun ketika menaiki kapal, mengarungi gelap samudra angkasa dan tiba disana, kau bertanya-tanya, bintang mana yang tanahnya begitu hidup seperti ini?

Kartika bukan lagi bintang melainkan sebuah konstelasi kompleks yang terdiri dari berbagai macam habitat rumpun bunga.

Ketika menginjakkan kakimu disana, kau tak bisa membedakan apakah kau tengah berjalan, atau melayang, atau tengah berenang. Di ujung kakimu yang jarang bertelanjang itu, kau disambut oleh permukaan yang terdiri dari rimbun dedaunan yang tajam namun menggelitik. Kau tak bisa merasakan sakit, hanya geli dan tak sabar melangkah lebih jauh lagi.

Di satu tempat kau menemui kebun anggrek berwarna gelap, segelap ketika kelopak matamu ketika mengantuk. Tapi beraroma segar, anggun dan angkuh. Di satu tempat yang lain tampak seperti ladang awan. Gumpalannya terdiri dari gerombolan bunga Hortensia, mulai yang hijau, putih, ungu hingga merah muda. Di baliknya banyak sekali serangga yang suka berbaris sambil membawa payung.

Di satu dan tempat lain, di kanan dan kiri jauh, bunga-bunga yang saling berangkulan memiliki kelopak yang berbeda. Tak semuanya berwarna, tak semuanya tersenyum. Diantaranya sangat wangi hingga ujung bibirmu terlipat ke cuping telinga saking merdu aromanya. Tapi banyak pula diantaranya yang berbau pilu seperti getah kenangan yang terlalu cepat kering di bawah matahari.

Dari ingatanmu yang terdahulu, kau pikir berdiri mengarungi bintang gemintang akan membuatmu kehabisan napas. Tak ada udara, tak ada suara, hanya hamparan warna. Tapi yang kau temukan di Semesta Kartika ini adalah letupan indera serupa mengendarai kembang api yang terbuat dari berisik ilalang yang ditiup angin kering. Namun segar dan harum seperti air cucian beras yang kau minum dengan hausnya di kebun kuncup-kuncup mawar yang menyambut pagi.

Dongeng Dari Tiupan AnginWhere stories live. Discover now