17 - Endure Uncertainty

9.7K 2.1K 237
                                    

Pra tidak menduga kalau perbincangannya dengan ayah Astrid beberapa waktu lalu membuat perempuan itu murka.

"Berani-beraninya kamu nego sama papaku soal di mana aku tinggal setelah kita menikah nanti!" semprot Astrid tiba-tiba.

Perempuan itu mengejutkan Pra dengan datang langsung ke ruangannya, di saat dia sedang membicarakan hal serius bersama Eki. Untung rekannya itu cukup tahu diri dan segera menghindar dengan pergi ke luar ruangan.

"Ada apa, Astrid?" tanya Pra berusaha sabar meskipun setengah mati menahan malu kepada sesama dosen barusan. "Apa nggak bisa urusan pribadi dibicarakan setelah kerja?"

"Ini sudah menjelang malam. Sudah di luar jam kerja," jawab Astrid tak peduli. "Kamu apa-apaan sih, Pra? Bikin emosi saja!"

"Aku? Aku hanya berbicara pada ayahmu, meminta beliau mempertimbangkan kembali tentang apa yang disampaikan pada acara lamaran dulu."

"Kenapa ke ayahku? Bukan ke aku?" tuntut Astrid ngotot.

"Karena ini urusannya adalah aku menyampaikan pendapat mamaku terhadap statement ayahmu, Astrid."

"Kenapa sih soal di mana kita tinggal aja bikin ibumu repot?" bantah Astrid sengit.

Pra terkejut juga mendengar pertanyaan ini. Tetapi dia tidak mau terburu-buru menyimpulkan. "Namanya juga orang tua. Pelan-pelan saja kita menghadapinya. Jangan dibantah dulu. Sebaiknya setelah ini kita segera berunding dan memutuskan nanti akan bagaimana, lalu kita sampaikan kepada orang tuamu dan ibuku tentang rencana kita. Kalau menurutku sih, mending kita tinggal di rumah sendiri aja. Normal seperti pasangan lain. Berkeluarga kan butuh privasi."

"Hah? Tinggal serumah sama kamu? Di rumah sendiri? Jangan mimpi!"

Kali ini Pra benar-benar terkejut oleh pendapat ini. "Astrid, hal seperti ini terbuka untuk didiskusikan. Kita bisa..."

"Aku sudah mantap, nggak mau keluar dari rumahku. Aku nggak mau tinggal sama kamu, juga nggak mau tinggal di rumahmu."

Pra tertegun. "Tapi ini nggak masuk akal, Astrid."

"Apanya yang nggak masuk akal? Aku anak tunggal, Pra. Nggak mungkin aku tinggalin mama dan papaku begitu aja."

Dia anak tunggal, dengan orang tua lengkap yang bahkan masih aktif bekerja. Sedangkan Pra, ibunya janda yang...

Saat Pra masih bingung dengan jalan pikiran Astrid, perempuan itu sudah bersiap pergi. "Pikirin aja apa yang barusan aku bilang. Dan untuk urusan ini aku nggak mau ngalah."

Astrid pergi dengan meninggalkan pintu yang ditutup dengan kasar. Dan Pra yang terbengong-bengong, berdiri dengan bersandar pada meja rapat di ruangannya. Tak lama kemudian pintu terbuka lagi. Astrid? Ternyata bukan. Eki. Yang menghampirinya dengan senyum kecut tersungging di bibirnya.

"Apa juga kami bilang, Pra..."

***

Setelah meletakkan belanjaannya di kursi yang ada di dekat Steven, Neri mengatakan niatnya untuk memesan minuman.

"Biar aku saja, Ner," kata Steven.

Dengan sigap Neri menahan pria itu. "Nggak, biar aku saja. Emangnya kamu tahu apa mauku?" tanyanya sambil tersenyum meyakinkan. Lalu berjalan cepat menuju meja pelayanan. Emangnya itu Lidya mau dikemanain? Dia sampahmu, beresin sendiri dong, pikir Neri.

Sambil antre, pikiran Neri berputar cepat. Berusaha memahami karakter Steven yang terserak dalam bentuk kepingan-kepingan tak beraturan seperti puzzle di kepalanya. Belum terbentuk sempurna. Tetapi gadis itu mulai bisa meraba polanya.

Marry Me Marry Me NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang