INTERSECTION

72 30 58
                                    

Aku memandang dinding kaca dengan kesedihan yang dalam. Gadis berambut hitam panjang terbaring tidak berdaya di atas tempat tidur putih. Mataku sudah tidak sanggup lagi mengeluarkan butiran air mata, yang kulakukan hanya menatapnya dalam diam.

Polisi yang terus berjaga di belakangku, telah siap menahanku atas tindakan yang tidak pernah kulakukan. Beberapa jam yang lalu, salah satu pihak kepolisian menghubungiku dan memberitahu bahwa anak perempuanku yang berumur 8 tahun dilarikan ke rumah sakit setelah ditikam oleh seorang pria.

Tidak ada informasi jelas yang diberitahu para polisi, semua tetangga yang melihat kejadian itu menunjukku sebagai pelakunya. Berkali-kali aku membantahnya, berkali-kali pula mereka semakin menyudutkanku. Satu bukti pasti yang semakin menjatuhkanku adalah rekaman CCTV, memperlihatkan sosokku yang menikam anak perempuanku dengan pisau tepat di depan rumahku sendiri.

"Orang itu bukan aku!" Hanya kalimat itu yang bisa kugunakan untuk membela diri.

Tentu saja mereka tidak akan percaya. Ketika sebuah borgol akan mengunci kedua lengaku, aku memberontak. Sekeras mungkin aku berteriak dan mengambil kesempatan melarikan diri, tidak akan kubiarkan mereka menangkapku dan membiarkan pelaku yang sebenarnya bebas di luar sana.

Aku berlari di dalam rumah sakit, menghindari orang-orang yang mencoba menangkapku. Jantungku berdebar cepat dan napasku semakin berat, bukan karena kelelahan, melainkan karena aku membayangkan tidak akan pernah lagi bertemu dengan putri kesayanganku kalau aku berada di penjara.

Namun ketika aku hampir tiba di pintu keluar, beberapa pemuda mengerumuniku. Aku terkepung, tidak menemukan cela untuk meloloskan diri. Saat kupikir untuk langsung menerobos maju, pukulan keras telah menghantam belakang kepalaku.

Entah berapa lama aku tidak sadarkan diri, kejadian selanjutnya adalah aku terbangun di atas kasur keras. Aku memegangi belakang kepalaku yang masih terasa sakit, seseorang yang sepertinya cukup baik telah membalut lukaku dengan perban. Aku melihat sekeliling, ruangan yang kutempati saat ini sangat sempit dan berdebu. Pakaian-pakaian bertebaran di lantai dan sampah-sampah tidak dibuang pada tempatnya, siapapun yang tinggal di kamar ini pastilah orang yang tidak suka beres-beres dan menjijikkan.

"Hey, dia sudah bangun," ucap seorang pria yang tidak kusadari mengintip dari balik pintu.

7 pemuda masuk ke dalam ruangan, 3 dari mereka sepertinya masih berumur 17 tahun, dan 4 sisanya kemungkinan 40 tahunan sepertiku. Saat kuperhatikan kembali, merekalah yang telah mengepungku saat di rumah sakit.

Mereka mulai menjelaskan hal-hal yang tidak masuk akal, seperti dunia paralel, cabang alam semesta, dan persimpangan kejadian-kejadian tertentu. Menurut mereka, persimpangan dunia terbentuk ketika seseorang dihadapkan dengan beberapa pilihan. Sebagai contoh, saat seseorang diberi pilihan untuk melakukan sesuatu pada kue yang berada di atas piring. Jika orang itu memilih untuk tidak memakan kue, maka saat itu juga terciptalah dua dunia baru. Dunia pertama dimana orang itu tidak memakan kue, dan dunia satunya dimana orang itu memilih untuk memakan kue dan mati keracunan.

Tanpa perlu mendengar penjelasan lebih lanjut, aku bisa mengerti inti pembicaraan mereka hanya dengan melihat foto-foto yang terpajang di dinding. Foto-foto itu tidak ada satupun yang berada dalam ingatanku, sepertinya di dunia ini aku adalah seorang penemu miskin yang bahkan tidak tahu cara membersihkan kamar sendiri.

Aku memandang fotoku yang sedang memakai jas putih panjang, dia terlihat bahagia dan seolah tidak peduli dengan kehidupannya yang berada di bawah level berkecukupan. Namun, semakin aku memandangnya, emosiku semakin memanaskan darahku. Pria itu adalah diriku sendiri yang datang dari dunia lain dan membunuh anak perempuanku.

"Kami telah menjelajahi banyak dunia paralel, tetapi hanya duniamu saja yang jauh berbeda," jelas salah satu dari mereka.

"Lalu apa hubungannya dengan dia membunuh putriku!" bentakku.

Tidak ada jawaban, hanya gelengan kepala. Mereka menculikku dan membawaku ke dunia lain untuk menyelamatkanku dari polisi-polisi yang hampir menangkapku. Lebih tepatnya mereka menghindari keretakan dunia, orang-orang dari dunia paralel tidak diperbolehkan untuk mengubah takdir seseorang, dan jika hal itu terjadi, maka dunia itu akan menghilang.

Pembicaraan mereka memang sulit untuk dipercaya untuk orang-orang normal, tetapi foto-foto dan kejadian yang menimpa putriku adalah bukti kuat bahwa dunia paralel itu memang nyata. Lalu ada satu hal lagi yang membuatku percaya.

"Kami telah menjelajahi banyak dunia paralel, tetapi hanya duniamu saja yang jauh berbeda."

Kurasa aku tahu alasan mengapa duniaku berbeda. Zeal Jorge, dia bisa kusebut sosok lainku yang datang dari dunia paralel dan membunuh putriku. Namun, akan sangat susah menjelaskan pada mereka bahwa aku bukanlah Zeal Jorge yang asli, tubuh ini sejak awal bukan milikku. Kemungkinan, Zeal Jorge berusaha menghancurkan duniaku karena mengetahui hal itu.

Kuputuskan untuk mencari Zeal bersama orang-orang yang telah menculikku, tentu saja untuk membalaskan hal yang telah dia lakukan pada putriku.

Setelah berhari-hari mencari dan tetap tidak menemukan keberadaannya, pria itu akhirnya datang dengan sendirinya. Ia muncul di hadapanku dengan sebilah pisau penuh darah, pakaiannya masih sama dengan yang dipakainya ketika putriku diserang.

"Aku berhari-hari mencarimu di dunia itu, ternyata kau ada di sini," ucap Zeal Jorge, "haha, maaf kawan, aku berencana membunuh anakmu di depan matamu, tapi aku tidak menemukanmu. Percuma saja kembali ke dunia itu, kau sudah menjadi kriminal yang melarikan diri."

Tanpa sadar tinjuku telah menghantam wajahnya. Orang ini bahkan tidak memikirkan bahwa aku adalah salah satu bagian dari dirinya. Ketika aku meminta penjelasan, yang aku dengar hanyalah sebuah rasa iri dan kecemburuan.

"Aku selalu mendapati diriku dalam alur yang sama, miskin, dan tidak punya pekerjaan tetap. Saat kupikir bahwa itu adalah takdirku, aku menemukanmu. Kaya dan menikah dengan orang yang sangat kau sukai. Walaupun kau tidak pernah tahu bahwa aku telah membunuh istrimu, kau tetap hidup bahagia bersama anak perempuanmu! Aku ... aku bahkan tidak tahu jalan mana yang telah salah aku pilih!"

"Kau tidak salah memilih jalan, itu memang takdirmu." Aku memotong kalimatnya, "ah, padahal kukira kau tahu sosokku yang asli," lanjutku lalu membuka lemari yang berisi tumpukan mayat orang-orang yang telah menculikku.

Mayat yang bertumpuk berjatuhan, bau menyengat mulai memenuhi ruangan, dan Zeal Jorge hanya bisa membelalakkan matanya. Tanpa ia sadari, pisau di tangannya telah berpindah ke tanganku.

"1910, Jepang menjajah Korea. Aku seorang pembunuh bayaran yang tewas dalam perang dan bereinkarnasi dalam tubuhmu. Aku menikmati menjadi dirimu. Harusnya kau bersyukur aku telah mengubah takdirmu." Pisau di tanganku mulai menggores leher Zeal Jorge, "dan karena kau telah mengambil nyawa orang-orang yang kusayangi, aku juga akan mengambil nyawa orang-orang yang kau sayangi."

END

INTERSECTION [OneShot]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang