Di Rumah Qiza

25 1 0
                                    

Hari ini aku akan berkunjung ke rumah Qiza dan suaminya. Sejak dia menikah, belum pernah sekalipun aku diajak ke istana kecilnya. Untuk jarak rumahku dan Qiza, ternyata tidak jauh. Mereka berdua punya rumah baru bersebelahan dengan komplek rumahku.

Sebelum ke rumah Qiza, aku berpamitan dengan Bunda Ilfa sambil menenteng kado pernikahan untuk pasangan muda itu. Tidak terlalu mewah memang yang akan aku berikan, tapi hanya sebuah mukenah cantik yang aku pesan khusus dari toko bordir langganan bundaku.

"Bun, Dita pamit ya." Ucapku sambil mencium tangan Bunda Ilfa.

"Hati-hati ya, sayang. Kabari bunda kalau ada apa-apa." Jawab bunda sambil mengusap lembut kepalaku.

Tentang aku dan bunda memang tidak banyak yang tahu. Dua kepribadian yang sejatinya terlalu bersebrangan, tapi begitu mudah disatukan. Setiap hari bunda selalu suka berkumpul sambil berbincang ria dengan ibu-ibu komplek yang sesama berjiwa muda, berlainan dengan aku yang senang di kamar untuk menghabiskan waktu membaca dan menulis semua pikiranku yang terkadang bisa menghasilkan karya.

Dalam keseharian, bunda selalu hangat kepada ayah dan diriku. Meskipun bunda termasuk orang yang sibuk di kantor, tapi dia tak pernah melewatkan ritual-ritual yang menjadi kewajibannya setiap hari. Ketika bunda harus berangkat subuh, dia akan bangun lebih awal lagi demi membuatkan nasi goreng kesukaan aku dan ayah. Bunda memiliki pangkat dan gaji lebih tinggi di atas ayah, namun saat di rumah dia berubah layaknya ibu rumah tangga yang selalu tunduk sama suami. Terlalu indah sekali hidupku yang pantas disyukuri beribu kali lipat.

Aku berangkat ke rumah Qiza menggunakan ojek di samping rumahku. Dalam keseharian, aku jarang sekali bawa mobil sendiri apalagi aku tidak terlalu percaya diri menyetir mobil tanpa ada teman di sampingku. Bapak di pangkalan ojek itu juga sudah hafal dengan nama dan rute perjalanan rutinku.

"Seperti biasa, Mba Dita?" Tanya Bapak Adi langgananku.

"Enggak, Pak. Aku mau ke komplek sebelah, nanti aku arahin jalannya,Pak." Ucapku sambil memakai helm yang diberikan Pak Adi.

"Siap mba." Ujar Pak Adi sambil mulai melajukan motornya.

Untuk sampai di rumah Qiza, hanya butuh waktu beberapa menit saja. Lingkungan sekitar rumahnya terlihat begitu asri dan banyak pasangan muda sedang jalan-jalan sore. Sepertinya kompleks ini memang diperuntukkan untuk yang baru memulai perjalanan rumah tangga.

"Pak, nanti di ujung jalan itu belok kanan ya pak. Rumahnya nomer 5." Ucapku sambil menunjuk ke arah jalan yang aku maksud.

Pak Adi hanya membalas dengan anggukan.

Setelah sampai di depan rumah yang tidak begitu luas tapi terlihat mewah itu, aku turun dan membayar ojek Pak Adi sebanyak yang diminta. Tak lupa ucapan terima kasih selalu aku ucapkan.

"Qi, aku udah di depan rumahmu." Sebuah pesan singkat aku kirim kepada Qiza.

Tidak lama aku duduk di bangku kecil dekat taman, tiba-tiba pintu rumah yang berwarna putih itu terbuka. Aku dipersilahkan masuk oleh tuan rumahnya. Setelah menginjakkan kaki di ruang tamu, terlihat sekali penataan ruangan di rumah itu begitu rapi dan menonjolkan nilai seni yang tidak semua orang mampu. Aku percaya, rumah ini tidak dibeli dengan harga yang murah. Perlu korbankan dana yang tidak sedikit. Tapi rasanya sesuai dengan pekerjaan suaminya Qiza, seorang arsitek handal yang pastinya sudah cukup mapan.

"Keren banget rumahmu, Qi." Ucapku ketika dipersilahkan duduk.

"Ah kamu bisa aja. Ini suamiku sendiri yang bikin, hadiah pernikahan kami berdua." Ujar Qiza dengan bangganya.

"Alhamdulillah ya, Qi. Kamu bisa dibikin bahagia sama dia. Semoga aja selalu begitu sampai nanti." Ucapku sambil berkaca-kaca.

Entah kenapa, untuk urusan aku dan Qiza selalu saja terbawa perasaan. Aku bahagia sekali dia sudah menemukan sosok yang paham caranya membuat Qiza bahagia, dan aku selalu minta agar Tuhan selalu menjaga kebahagiaan di rumah tangga mereka. Bahagianya dia adalah sumber bahagiaku, sedihnya dia awal berkecamuknya hatiku. Aku mencintainya seperti diriku sendiri.

"Aamiin Yaa Allah. Semoga semua doa baik kamu untukku berbalik yaa, Dit. Aku sayang banget sama kamu." Qiza kemudian memeluk erat tubuhku dengan mata yang tak kalah berkaca-kacanya.

"Ini aku ada sesuatu buat kamu. Gak mahal, tapi khusus dibikin buat kamu, Qi" Ucapku sambil memberikan bungkusan kado berwarna pink seperti warna kesukaan Qiza.

"Terima kasih banyak yaa sahabatku yang paling baik. Kita ketemu lagi setelah beberapa tahun jauh, udah jadi kado terbesar buatku, Dit."

"Iyaa. Sama-sama teman hidupku yang cantik." Balasku seperti tak ingin ketinggalan untuk menggombal.

Ruangan dengan corak berwarna coklat itu dipenuhi dengan tawa bahagia aku dan Qiza seperti tak kekurangan topik untuk ditertawakan bersama. Kita berdua mengulang kembali masa-masa yang tak pernah hilang di ingatan.

"Aku masih ingat banget, waktu kamu suka berdiri di belakang pintu buat intip Dimas yang lagi main basket." Ucapan Qiza kemudian beralih ke sosok laki-laki itu.

Duh, Qiza. Dia lagi-lagi membawaku ke masa sulit dulu. Ketika itu, aku ingin menggapai seseorang yang sejengkal saja aku akan bisa mendapatkannya, namun aku tidak punya kekuatan untuk itu. Berbeda sekali dengan sekarang, ribuan jarak sudah terbentang untuk aku bisa menggapainya. Tentunya hal itu tidak sepayah dulu.

Tiba-tiba aku menangis di pelukan Qiza. Tumpahan air mata di bahu perempuan cantik itu sudah bertahun-tahun tidak aku dapatkan. Rindu sekali ingin bermanja.

Aku runtuh seketika. Di posisi ini memang tidak pernah mudah bagiku. Aku selalu merindukan seseorang yang aku sendiripun tidak tahu harus berbuat apa. Aku hanya bisa segera berdoa, setiap rasa rindu itu hadir. Aku selalu bermohon kepada Tuhan, agar hatiku ditenangkan dan dirinya disenangkan.

"Dit, mau ya aku bantu buat ketemu sama Dimas. Kamu gabakalan hina kok menemui seseorang duluan. Lagian hanya untuk kembali berkenalan dengan teman lama."

Setelah aku bertemu Qiza di rumahku waktu itu, dia selalu memohon untuk aku bisa dipertemukan dengan Dimas. Dia ingin sekali mengobati susah hatiku dengan hadirnya Dimas. Tapi aku yang selalu menolaknya. Aku tidak ingin mengejarnya, aku hanya mau disatukan ketika Dimas yang berusaha.

Tentang perasaan Dimas memang tidak ada seorangpun yang tahu pasti. Sejak masa sekolah dulupun, tidak ada tanda-tanda Dimas tertarik denganku. Dari hal itulah, aku tidak ingin Dimas terpaksa bertemu aku. Biarlah Tuhan yang suatu hari membisikkan hatinya untuk mencariku, jika memang ditakdirkan.

Qiza juga sudah banyak bercerita tentang aku dan Dimas kepada Arfa, sepupunya Dimas sendiri. Tapi, sosok introvert seperti Dimas sulit sekali diketahui isi hatinya. Arfa tidak bisa banyak bertanya tentang hal privasi laki-laki pujaanku itu.

Andai saja Arfa tahu apa yang Dimas rasakan, apalagi tentang rasa yang sama denganku, tentulah keadaan sekarang tidak akan berlarut sulitnya. Aku dan Dimas bisa sama-sama berlari untuk bersama.

"Qi, sampai aku belum tahu isi hatinya Dimas, aku tidak akan pernah ingin bertemu dia duluan dengan sengaja dan banyak perencanaan kita. Aku berharap bertemu dia ketika takdir yang menyatukan." Ucapku begitu serius.

Jawaban yang begitu jelas ditangkap oleh Qiza. Aku yakin dia begitu memahami isi hatiku tanpa perlu banyak berujar lagi.

"Aku percaya kamu, Dit. Semoga selalu dikuatkan mempertahankan komitmen kamu. Aku disini berdoa tanpa putus untuk kamu."

Kemudian pelukan erat aku dan Qiza menutup kunjunganku ke rumahnya di hari itu. Aku berpamitan pulang dengan membawa 4 toples kue buatan Qiza sebagai buah tangan untuk bundaku. Terlalu manis istri Arfa ini.

****

Dalam Diam Kita BertemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang