Seberkas Cahaya

26 2 0
                                    

Setelah diwisuda beberapa bulan yang lalu, aku masih betah menjadi pengangguran ber-title. Beberapa pekerjaan sudah ada yang menungguku, tapi entah kenapa aku masih ingin menyelesaikan beberapa bukuku yang akan terbit. Waktuku begitu banyak tersita untuk hal ini.

Tentang ayah dan bundaku, mereka berdua tidak terlalu mempermasalahkan aku yang belum bekerja. Baginya, kesenangan aku lebih utama.

Aku kembali teringat dengan perbincangan malam itu di meja makan.

"Kak, maunya kakak ke depan apa? Udah ada rencana belum untuk menikah?" Tanya bundaku sepertinya serius.

"Menikah? Yaa belum dong, Bun. Aku masih belum kepikiran hal itu." Jawabku tidak nyaman dengan pertanyaan bunda.

Di umurku yang 23 tahun, sudah selayaknya dipertanyakan untuk menikah dan mendapatkan calon untuk melangkah bersama. Tapi, sampai saat ini aku masih stuck di hati yang sama, yang belum menemui ujungnya.

Bagi bunda, aku sebaiknya disegerakan menikah setelah tamat kuliah. Apalagi aku anak satu-satunya. Besar sekali harapan bunda untuk menyambung keturunan.

Tentang melanjutkan pendidikan S2, aku juga sudah memikirkannya. Karena sejatinya aku belum siap turun bekerja, masih ingin menambah ilmuku.

"Mau lanjut S2 aja, Kak?" Tanya ayahku kemudian.

"Mau banget, Yah. Tapi kayanya gak dibolehin bunda." Jawabku cemberut.

"Boleh aja sih ambil S2, tapi harus nikah dulu." Ucap bunda dengan tegas.

"Tapi aku belum ketemu jodohnya, Bun. Selagi belum ada yang dateng ke rumah, mending aku kuliah dulu." Ucapku lembut menyangkal bunda.

"Kemaren udah ada yang ngomong kok sama bunda. Kayanya ayah juga bakalan setuju." Ucap bundaku santai.

Aku begitu terkejut tak terkendali. Siapa lelaki pemberani itu? Aku sendiripun tidak ada diberi tahu sama sekali.

"Siapa bun?" Tanyaku penasaran.

"Nanti kamu juga bakalan tau. Tapi dianya belum siap untuk kamu tau sekarang."

"Aku gamau ya dijodoh-jodohin sama orang yang aku gak kenal."

"Kamu kenal dekat sama laki-laki itu. Tapi memang belum waktunya sekarang, Nak."

Begitulah sedikit percakapan penting yang aku ingat dari malam itu. Sampai sekarang, aku masih dibuat penasaran. Setiap ditanya sama bunda, selalu diminta menunggu.

****

Dimas yang dimaksud bunda ketika hari reunian itu ada di rooftop hotel, adalah Dimas yang selama ini aku nantikan. Dimas adalah anaknya Tante Nana, yang bilang aku cantik kala itu. Dan Tante Nana adalah adiknya ibu Arfa, suaminya Qiza. Begitu banyak hal tak terduga dari kaitan hubungan mereka. Sekali lagi, ini hasil permainan takdir yang tak mampu kita kendalikan.

Ketika bunda memberi tahuku tadi malam, dalam hatiku begitu bahagia tanpa bisa ditunjukkan lagi. Aku merasa Dimas semakin dekat.

Aku kemudian menangis di dalam sujudku. Terima kasih yang begitu dalam kepada Tuhan karena semakin memperjelas arah doaku.

Meskipun aku akan tahu pasti keberadaan Dimas, aku tetap pada janjiku sejak awal. Tidak akan menemuinya dengan langkah yang direncanakan.

****

"Assalamualaikum, Dit. Tadi malam Dimas ke rumah aku. Kami cerita banyak tentang masa sekolah kita dulu. Tapi, pas aku mulai cerita tentang kamu, dia kayak salah tingkah gitu. Aku yakin aja dia juga punya rasa sama kamu." Sebuah pesan masuk dari Qiza yang aku baca satu jam kemudian.

Ternyata semakin hari tanda-tanda kemunculan cahaya itu semakin jelas. Aku terus memperkuat doa-doa panjangku tanpa ada yang terlewatkan.

"Waalaikumusslam. Beneran, Qi? Ada perlu apa dia ke rumah kamu?" Balasku untuk Qiza.

"Dia kan sodara aku juga. Bebas dong kapan aja ke rumahku, Dit hihihi." Pesan baru lagi dari Qiza.

Ternyata aku bertanya sesuatu yang tak perlu jawaban lagi. Karena Dimas akan bisa datang kapan saja ke rumah Qiza tanpa perlu menunggu satu moment tertentu.

"Hehe iyaa sih. Seperti apa dia sekarang, Qi? Waktu di rooftop itu, aku cuman liat dia dari belakang aja."

Meskipun aku sudah melihat dirinya setelah beberapa tahun, tapi tidak ada sedikitpun aura lamanya tinggal menurutku. Aku menatapnya seperti sedang melihat orang baru.

Walau raganya seperti tidak sama lagi, tapi rasaku akan selalu sama untuknya. Tidak akan pernah berubah meskipun dilenyapkan ruang dan waktu.

Pesanku yang terakhir terlalu lama dibalas kembali oleh Qiza. Padahal aku terlalu penasaran sosok Dimas kini.

Akhirnya aku menelpon langsung wanita cantik yang sedang hamil 1 bulan itu.

"Kenapa lama banget sih bales pesanku?" Ucapku tanpa basa basi kepada Qiza.

"Iya sebentar, Dit. Aku lagi bikin minuman untuk tamu. Sabar yaa."

"Tamu siapa sih? Sering banget terima tamu kamunya, Qi." Ucapku lagi ketika Qiza terdengar sibuk di dapur.

"Ada Dimas."

Tut..tut..

Sambungan telpon dengan Qiza segera aku putus. Aku tidak ingin Dimas mengetahui aku dan Qiza sedang membicarakan dirinya.

Padahal aku sedang begitu penasaran seperti apa perawakan Dimas sekarang, tapi lagi-lagi aku harus menyimpannya dalam diam.

****

Dalam Diam Kita BertemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang