Gio Alvino

32 2 0
                                    

Gio dan Faza sedang menungguku di ruang tamu rumah. Sudah setengah jam, aku tetap menolak untuk bertemu mereka berdua. Aku mengerti maksud kedatangannya kesini setelah bunda menjelaskan semuanya.

Sosok laki-laki yang dimaksud bunda malam itu adalah Gio. Laki-laki pemberani yang ingin menaklukkan hatiku itu memang sudah aku kenal sebelumnya.

"Bunda, Dita gamau ketemu Gio. Dita gamau bikin dia kecewa sama jawaban Dita. Dita takut menyakiti hati oranglain, Bun." Ucapku terisak di pelukan bunda.

Alasanku selalu membatasi diri untuk berhubungan dengan Gio, karena takut membuatnya kecewa. Aku takut dia menganggap aku membuka pintu masuk untuknya, padahal nyatanya aku tidak pernah ingin untuk menerima tamu.

Meskipun aku tidak menyukainya, tapi aku peduli dengan hatinya. Aku begitu mengerti betapa sakitnya cinta yang berlainan arah itu.

"Bukan kewajiban Dita untuk membuat semuanya bahagia. Dia dateng kesini, berarti sudah siap dengan risikonya. Dengan kamu menemuinya, berarti kamu menghargai dia, Nak." Bujuk bunda dengan lembutnya.

Akhirnya aku luluh dan memberanikan diri keluar kamar untuk menemui laki-laki yang akan aku tolak semua inginnya. Aku merasa menjadi jahat tapi aku tidak bisa memaksakan semuanya.

Ketika aku berjalan menuju ruang tamu, tampak Gio memandangku dengan sorot mata penuh arti. Begitu jelas di lingkar kecil berwarna hitam itu menyiratkan rasa sayang begitu dalam. Aku bahagia dicintai sekuat itu, tapi sekali lagi aku tak mampu membalasnya.

"Maaf yaa menunggu lama." Ucapku setelah duduk di sofa bersebrangan dengan Gio dan Faza.

"Gapapa, Dit." Jawab Gio dengan suara berat.

Mendengar suaranya yang sungguh berbeda dari kemaren aku bertemu dengannya, rasa ibaku muncul. Aku tidak tega menambah kalut di hatinya.

Tepat sebelum Gio datang ke rumah, bunda sudah menceritakan semuanya padaku. Percakapan itu kembali melintas di pikiranku.

"Dit, kamu tau siapa laki-laki yang mau ajak kamu menikah nantinya?" Ucap bunda kala itu sambil memegang tanganku.

"Aku gabisa nebak, Bun."

"Gio, temen deketnya Faza." Ujar bunda dengan jelas.

"Serius bun? Aku udah sering banget nolak dia. Setiap dia hubungin aku, selalu aku matiin. Kayanya dia gabakalan berani lagi deketin aku, tapi malah berani ngajak nikah." Jawabku masih tidak percaya.

"Beneran, sayang. Waktu itu dia dateng ke rumah dan ngobrol langsung sama ayah bunda."

"Dia cerita apa aja sama ayah bunda?"

Akhirnya bunda menceritakan inti dari apa yang dijelaskan Gio kepada ayah dan bunda di hari itu.

Gio : Ayah dan Bunda. Kenalin aku Gio, temen satu kampusnya Faza. Sekarang aku sedang co-ass sudah stase akhir. Maksud kedatangan aku kesini ingin meminta izin untuk berkenalan lebih jauh dengan Dita. Tujuan akhirku untuk menjalani pernikahan nantinya. Maaf ayah dan bunda, kalau aku terlalu cepat. Tapi hari ini sudah aku persiapkan sejak lama.

Ayah : Kamu udah lama kenal sama Dita? Responnya Dita bagaimana?

Gio : Berkenalan dengan Dita belum lama dan baru beberapa kali bertemu ayah, tapi tidak pernah membahas hal serius ini dengannya. Sepertinya Dita belum memberikan peluang untukku. Maka dari itu, aku mau minta tolong sama ayah dan bunda untuk dimudahkan jalanku dengan Dita.

Bunda : Bunda tidak pernah masalah tentang siapapun yang ingin berkenalan lebih jauh dengan Dita. Bunda selalu mendukung asal Dita sendiri bersedia.

Gio : Tapi sekarang Dita belum mau menanggapi apapun tentang aku, Bunda. Niatku baik, tidak ingin mengajak anak ayah dan bunda pacaran, tapi mau menjalankan kehidupan rumah tangga dengannya kelak. Saat ini aku belum berharap banyak dengan ayah dan bunda, hanya ingin sedikit memberi pengertian untuk Dita. Semoga nanti hatinya dilembutkan untuk saling mengenal denganku, meskipun nanti takdirnya bagaimana tidak bisa kita atur.

"Udah denger cerita dari bunda belum, Dit?" Suara Faza menghentikan lamunanku.

"Udah kemaren." Jawabku singkat.

"Dit, aku mau kamu jawab jujur. Udah ada yaa cowok yang mau seriusin kamu?" Tanya Gio dengan suara bergetar.

"Belum kok, Gio." Ucapku lembut.

Entah kenapa, ketika menjawab itu semuanya seakan berubah. Hatiku terketuk untuk berlaku baik dan menyenangkan hatinya Gio.

"Aku gak berharap apapun dari kamu nantinya. Tapi aku mau sama-sama belajar saling mengenal dan memahami dengan kamu. Siapa tau ada kebahagiaan berkat ini nantinya."

Menenangkan sekali ucapannya kala itu. Suaranya yang lembut membuatku luluh detik itu juga. Aku berbanding terbalik dengan Dita sebelum keluar kamar tadi.

"Iya aku mau. Maaf kalo kemaren ini aku judes sama kamu." Ujarku seperti merasa bersalah.

Mendengar jawabanku, terlihat jelas ada senyuman tulus dan berarti dari bibirnya Gio. Laki-laki itu semakin tampan dengan senyum lebarnya. Aku semakin terpesona dibuatnya.

****


Dalam Diam Kita BertemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang