Suasana memanas berkat kehadiran seorang perempuan. Berpasang-pasang mata memperhatikan tiga orang itu lekat-lekat, menunggu momen penting yang sangat jarang terjadi. Ghina memang sering meluapkan emosi pada sembarang orang. Namun seorang Ghina tidak pernah berhadapan dengan Aurora saat sedang ingin bermain.
"Gue saranin lo mundur, Ghin," perintahnya. Raut wajahnya menunjukkan keseriusan.
Emosinya sudah di ubun-ubun. Ghina masih ingin bermain. Mengapa pertunjukannya harus dirusak? Praktis, Ghina tertawa pelan. "Ada urusan apa lo sama ni cewek?"
"Stop, Ghin. Gue nggak bakal ngulang lagi."
Ghina meremas tangannya. Bila bukan Aurora, ia pasti akan melanjutkan aksinya. Dengan terpaksa, Ghina melangkah menjauh dari tempat sebelumnya disusul mahasiswa-mahasiswi lain. Tinggallah Tia, Aurora, dan Alvin.
Tanpa perlu berkata-kata lagi, Tia melangkah meninggalkan tempat itu. Melihat itu, Alvin pun beranjak menyusul. Ketika berpapasan dengan Aurora, ia memberi seulas senyum dan berkata, "Good job."
***
"Ngapain sih lo?!" Tia sudah tak tahan. Diikuti sedari tadi oleh orang aneh pantas saja membuatnya risih setengah mati.
Alvin menggaruk kepala bagian belakangnya yang tak gatal. "Gue mau... pulang?"
"Jangan ngikutin gue!"
"Gue?" Alvin melirik ke sekelilingnya. "Nggak mau."
"Lo mau apa sih?"
"Pulang bareng, yok?"
Tia tidak akan mau pulang bersama laki-laki itu. Ada di sekitar laki-laki itu saja membuat ia ingin hengkang ke mana pun asal tidak bertemu dengannya.
"Ayo dong, pulang bareng gue. Gue nggak gigit kok. Seperti yang lo tau, gue abangnya Kiara, pasti lo bisa percaya sama gue. Ah, satu lagi, gue salah satu mahasiswanya Pak Rangga. Asal lo tau, Pak Rangga itu dosen favorit gue! Pas kelasnya dia, gue selalu tidur di kelas dan doi nggak pernah protes. Emang dosen terbaik, sih."
"Bodo, tai."
Alvin membelalak. Meski ia sudah tahu bahwa anak perempuan itu sangat tidak menyukainya, Alvin tidak menyangka ia akan menyebutnya "tai". Belum-belum Alvin mengeluarkan sepatah kata lagi, Tia melanjutkan langkah kakinya. Tidak putus asa, Alvin kembali mengejar Tia. Di tengah kerumunan orang, sangat sulit untuk menyajarkan langkah kakinya dan Tia. Barulah saat mereka tiba di parkiran, Alvin dapat meraih tangan perempuan itu, membuatnya semakin naik darah.
"Bentar-bentar," Alvin yang terengah-engah sedikit menunduk karena adegan lari-lari yang tidak sebentar. Selama setengah menit ia tetap menunduk dengan Tia yang diam di tempatnya.
"Lo suka apa?" tanya Alvin.
"Ni cowok pertanyaannya selalu di luar dugaan, ya. Heran gue. Gue bahkan nggak ngerti maksud pertanyaannya dia apa."
"Maksud gue makanan. Lo suka makan apa?"
"Lah ngapain tiba-tiba nanya gue suka makan apa? Dia kira gue mau apa makan bareng di— Hah? Jangan bilang ini usaha dia ngedeketin gue?"
"Nggak. Jangan mikir yang aneh-aneh."
Ekspresi Tia berubah terkejut. Ia memundurkan kepalanya beberapa senti ke belakang. "Kenapa sih dia selalu bikin gue mikir dia bisa baca pikiran gue?"
"Nggak. Gue nggak bisa."
Praktis kening Tia berkerut dalam. "Lo beneran bisa baca pikiran gue?"
Alvin menggigit bagian dalam bibirnya, memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. "Nggak cuma blak-blakan, lo juga bego ternyata. Lo habis nonton film apa sih, tadi malem? Bisa-bisanya berharap ada yang bisa baca pikiran orang di kehidupan nyata."
Pada akhirnya, Alvin tak mengakuinya.
"Cowok aneh," komentar Tia dalam hati. "Lama-lama gila gue ada di deket dia."
"Nggak penting juga, sih. Lo bisa baca pikiran atau nggak," ujar Tia.
Tanpa memedulikan apa yang akan dilakukan oleh laki-laki aneh itu, Tia melanjutkan langkahnya yang sangat tergesa-gesa menuju halte. Ia sudah tidak bisa memikirkan cara untuk menyingkirkan laki-laki itu. Ia duduk menunggu bis yang akan membawanya. Namun selama nyaris satu jam ia di sana, bis yang ia harapkan tak kunjung tiba. Satu jam itu ia habiskan seorang diri karena laki-laki tadi sudah meninggalkannya tanpa membujuk Tia lagi.
***
Malam ia habiskan dengan menenggak cokelat panas sembari duduk di atas kursi yang ada di balkon kamarnya. Semilir angin menjilati kulitnya tanpa henti. Tangan perempuan itu beranjak menuju asbak untuk mematikan api rokok. Ia menghirup napas dalam-dalam.
Kalau ibu ada, ibu pasti marah habis-habisan. Tia tidak pernah merokok kala ibunya masih ada di dunia. Namun kemampuan ibunya untuk menginterogasi dan menilai Tia tengah berbohong atau tidak sungguh luar biasa. Mau tidak mau, Tia harus selalu patuh dan jujur.
Tiba-tiba Tia mendengar suara ban mobil berdecit di depan rumah. Belum pukul dua belas, lantas mengapa ayahnya sudah pulang? Sejak Tia duduk di bangku SMA, ayahnya selalu pulang tepat pukul 12 malam. Mungkin seorang dosen memang harus selalu pulang tengah malam, begitu pikirnya.
Berselang beberapa menit, nama Tia dipanggil dengan suara keras dari arah ruang tamu. Perasaan Tia menjadi tidak enak. Dimatikannya api rokok yang masih setengah batang lalu pergi menghampiri ayahnya.
"Apa yang kamu lakuin sama mahasiswi ayah?" tanya Rangga spontan.
Alis Tia berkerut karena lupa. "Mahasiswi yang mana?"
"Bisa nggak kamu itu nggak bikin masalah sehari aja? Ayah capek disalah-salahin terus sama temen-temen ayah. Kata mereka, karena ayah nggak becus ngurus kamu makanya kamu selalu bikin onar. Bisa nggak kamu jadi anak perempuan yang sama dengan anak perempuan lainnya? Kenapa kamu nggak pernah bisa menghormati orang lain, Tia?!" Suara Rangga terdengar di tiap sudut rumah itu.
Tia berusaha semampunya untuk meredam emosi yang terdesak ingin memuncak. Selama ini, meski di hari paling berduka bagi Tia sekalipun, perempuan itu tidak pernah meneteskan air mata di depan ayahnya. Rasanya terlalu sia-sia menunjukkan luka kepada sang penggores luka. Tapi malam ini, entah karena kata-kata Rangga atau karena Tia sudah benar-benar lelah air mata itu turun. Bulir demi bulir.
"Memang ayah sudah seperti ayah yang lain?" Tia balas bertanya dengan suara pelan.
Rangga membisu. Ia menyadari apa yang barusan ia katakan saat menatap punggung anak perempuannya. Betapa ia sangat melukai hati perempuan mungil itu. Rangga menghela napas panjang.
🛵🛵🛵
KAMU SEDANG MEMBACA
At the Moment
Teen FictionWe just know each other very well and we know how hurt it is.