Suasana koridor itu sepi dan dingin, seakan tengah mengejek kehadiran seorang pria yang sudah lama tidak terlihat batang hidungnya. Setelah sekian lama, akhirnya dia kembali datang dengan sebucket bunga lili segar beserta paper bag berisi sup daging hangat tepat di depan pintu unit apartemen gadis tersayangnya. Perasaan bersalah itu menghantuinya selama dua minggu ini yang rasanya persis seperti dua abad. Tidak mencoba untuk berlebihan karena adanya memang begitu. Hari ini sudah seperti niatnya, ujian mereka sudah selesai dan Benjamin juga sudah siap di restoran demi kelancaran rencana mereka. Racha berharap, dia dimaafkan dan mereka dapat memulainya kembali dengan baik. Karena setelah ini, Racha benar-benar ingin mengajak Judith untuk pulang ke Yogyakarta.
Pria itu menekan bel unit milik Judith, dia tidak berani memasukkan password karena sadar bahwa kini itu tidak pantas untuk dilakukan. Racha menekan lagi, tapi masih tidak mendapatkan tanggapan. Racha memikirkan ide lain, namun sedikit takut karena ia sudah begitu lama tidak melakukan ini. Rasanya canggung mengeluarkan ponsel dan mencari kontak pacarnya sendiri. Ah, bahkan Racha begitu merasa bersalah tatkala kepalanya masih menganggap Judith sebagai pacar. Rasanya dia sudah tidak pantas mengingat seperti apa aksi menghindarnya terhadap Judith. Entahlah, segala perjuangan Racha untuk berpikir dan mencerna apa yang sedang terjadi dan siapa yang salah hanya mengantarkannya pada zona abu-abu. Dia sendiripun sulit untuk paham. Hingga pada akhirnya, satu hal yang dapat Racha simpulkan untuk membuat segalanya kembali baik adalah; biarlah ia yang disalahkan dan biarlah ia yang memperjuangkan Judith kembali. Sudah, cukup dua hal itu.
Racha masih menatap lama layar ponselnya. Dia mendadak bimbang. Haruskah ia menelepon Judith atau hanya mengirimkan pesan singkat dimana besar kemungkinannya tidak akan dibalas. Pria itu mencoba opsi pertama, menelepon Judith walaupun dalam hati ia begitu cupu setengah mati. Tampaknya, bertengkar dengan Judith benar-benar membunuh kepercayaan dirinya sebagai seorang pria. Diletakkannya benda pipih itu di telinga, alih-alih mendengar nada sambung, suara operator wanita membalas panggilan Racha dan memberitahukan bahwa ponsel Judith sedang tidak aktif. Racha terdiam, menurunkan ponsel dan menekan tanda merah untuk menyelesaikan. Dia memberanikan diri untuk mengirimkan Judith pesan singkat dan berharap perempuan itu akan segera mengaktifkan ponsel dan membacanya.
"Kamu kemana, Dith?" lirih Racha sambil menatap pintu di depannya dengan wajah sendu. Apakah dia sudah terlambat?
Suara pintu terbuka sontak membuat Racha mendongak. Namun tidak datang dari depannya melainkan dari arah samping dimana seorang wanita dengan style santai lengkap dengan ransel dan laptop di tangannya baru keluar dari sana. Mereka saling pandang, Racha dan Diane. Seakan mengenal situasi yang sedang terjadi, Diane sontak mendekati Racha dengan telunjuk mengarah ke pintu unit milik Judith.
"Kalian tidak pulang bersama?"
"Pulang?" tanya Racha dengan jantung berdetak hebat. Dia dengan cepat mengerti kemana Judith sehingga tidak dapat menerima panggilan dan pesannya. "Judith pulang?"
Diane mengangguk dengan raut terkejut. "Kau bahkan tidak tahu?" Namun hanya sebatas itu dan setelahnya dia tidak peduli lagi. Wanita berambut blonde itu tadinya ingin langsung pergi mengingat dia juga sedang memiliki urusannya sendiri, tetapi wajah iba Racha membuat nuraninya sedikit terusik. "Dia dan Rizzy pergi pagi-pagi sekali tadi. Aku hanya sempat berbincang dengan Rizzy karena Judith sudah turun duluan, tapi dia memang mengatakan kalau mereka akan pulang dulu ke Indonesia selama liburan ini. Apa informasi dariku cukup? Aku harus pergi sekarang atau aku akan berakhir ditendang oleh Professor Chadwick dari kelasnya."
"Thankyou, Diane."
"Anytime, Cha."
Racha mendadak panik setelah menghilangnya Diane dibalik lift. Dia menyalakan ponselnya lagi dan buru-buru menghubungi Rizzy berharap panggilan itu masih terhubung. Nyatanya sama saja, ponsel Rizzy pun mati. Helaan napas berat lolos dari kedua bibirnya, sedang manik matanya menatap bunga lili penuh kesenduan. Jika dirinya bisa memutar waktu ke malam dimana mereka bertengkar, Racha akan memilih untuk diam saja dan tidak membuka suara. Dia akan memilih mendekap Judith selamanya sampai amarah perempuan itu reda dan mereka bisa baik kembali. Bodoh, percuma sekali mengkhayal dan tidak melakukan apapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Like Yesterday
Fiksi UmumPART MASIH LENGKAP! "Mungkin, pada dasarnya kita hanya datang untuk kembali berkata hendak pergi. Kamu itu layaknya rasi bintangㅡtidak selamanya terang, tidak selamanya indah. Mungkin sekarang saatnya untuk berkata sudah." Judith Aluna, terkait Ori...