ini adalah kisah yang diceritakan oleh sepupuku—fraya—saat kami berkunjung ke perkemahan milik paman pada musim panas tahun lalu. aku harap kalian membaca cerita ini sampai akhir.
ㅤtunggu, sebelum memulai cerita aku akan memperkenalkan diri, namaku yeosan dan aku adalah orang yang biasa-biasa saja.
ㅤfraya dan aku seumuran. bisa dibilang kami menjalin hubungan sebagai sahabat juga. di malam itu, fraya datang ke rumahku dan bertanya apa aku mau pergi ke perkemahan paman. aku menyetujuinya karena dia bilang tempatnya sangat ramai, sekalian cari cowok begitu kata fraya.
ㅤhari pertama disana sangat membosankan untukku. fraya sibuk kesana-kemari untuk bersosialisasi dengan peserta kemah lainnya. aku tidak menyukai hal itu, jadi yang kulakukan sepanjang hari itu adalah duduk dan kadang membantu paman dengan administrasi perkemahan.
ㅤsaat hari kedua, fraya sudah membaur dengan peserta lainnya. siang itu ia datang ke kamar kami dan memperkenalkan kepadaku seorang cowok.
ㅤ"hei mau bergabung malam nanti?"
ㅤaku melirik malas ke fraya, "tidak."
ㅤ"apa kau yakin?" giliran si cowok eksotis yang bertanya. "kau tahu? nanti malam kita mengadakan api unggun dan—"
ㅤ"apa yang bagus dari itu?" oke aku tak seharusnya bersikap sinis. tapi, oh ayolah, aku tidak bermaksud begitu. dengan rasa bersalah, kuputuskan untuk mengiyakan ajakan mereka.
ㅤmalam tiba, fraya sudah berada di tempat kumpulnya terlebih dahulu. yang kuherankan adalah, tidak terlalu banyak peserta lain yang ikut. hanya ada 3 orang lainnya disini.
ㅤ1 jam terlewati dengan acara memanggang marshmallow dan bernyanyi. aku lega ketika fraya tidak menyuruh-nyuruhku lagi untuk bersosialisasi.
ㅤ"bagaimana kalau bercerita seram?" pria eksotis itu memulai percakapan. "bergiliran ya. mungkin dari fraya dulu?"
ㅤaku tidak suka saat fraya bercerita. hal yang harusnya tidak nyata, saat ia ceritakan kepada orang lain terdengar seperti sesuatu yang nyata. dan aku sudah bisa menebak kalau ia akan membual kali ini.
ㅤ"aku tahu cerita ini dari kakak temanku, dia adalah seorang mahasiswa fakultas kedokteran," fraya memulai ceritanya saat angin malam berhembus dari arah barat.
ㅤ"di dekat kampusnya, ada satu restoran yang terkenal. bukan karena terkenal sebab rasa yang enak atau tempatnya yang bagus untuk swa-foto, melainkan terkenal karena pemiliknya bisa meramal apa yang terjadi saat pelanggan-nya akan meninggalkan tempat itu.
ㅤ"restoran itu menjual sup daging sapi. cara pemilik itu meramal tidak biasa. pelanggan akan diajak untuk memilih sendiri mangkuk, sendok, garpu, bumbu, daging, kaldu, sayuran, serta serbet. lalu, saat pelanggan meminum kuah kaldu pertamanya dan sendoknya dimasukkan lagi ke mangkuk—pemilik itu akan melihat ke dalam mangkuk dan mulai meramal."
ㅤ"bagaimana dengan tingkat akurasinya?" salah satu peserta yang ada disini bertanya, aku tak melihat kearahnya jadi aku tidak tahu siapa yang bertanya. pandanganku fokus pada fraya.
ㅤ"100%."
ㅤkami tercekat.
ㅤ"lalu, ada satu pelanggan yang datang di hari jumat. seperti pelanggan lainnya, ia memilih semuanya sendiri lalu menunggu di meja. beberapa menit, pemilik restoran keluar bersama dengan sup pelanggan itu. ia mulai menyesap kaldu itu, dan pemilik itu melihat ke mangkuknya, tapi—
ㅤ"tidak ada apa-apa di supnya."
ㅤ"mengapa begitu?" celetuk si cewek yang memiliki freckles namun cantik.
ㅤ"sepeninggalan pelanggan itu, pemiliknya baru menyadari bahwa yang ia ramal barusan adalah orang mati," oke ini semakin menyeramkan. "dan sampai sekarang, pemiliknya memutuskan untuk berpindah tempat demi restoran nya."
ㅤsuasana dingin yang tidak wajar menyelimuti atmosfer kelompok kami. bahkan aku merasa kini seperti berada di dunia yang lain setelah mendengar cerita dari fraya. ini aneh, fraya tidak pernah bercerita tentang orang mati. aku melirik kearahnya dan terkejut ia tidak ada disana. semua orang juga sama kagetnya denganku.
ㅤkami mulai mencari-cari fraya. aku tahu ia adalah orang yang usil, tapi tidak usah kan menghilang saat ceritanya sudah selesai?
KAMU SEDANG MEMBACA
horror story
Short StoryNama : Aisyah Astri Izzati Kelas : 911 Absen : 2 Tugas : Cerpen