12. Aku khilaf.

2.2K 110 41
                                    


🌸🌸🌸

"Jadi benar Dita anak kalian?"

Pertanyaan Isma mampu membuat detak jantung Dito jumpalitan.

Dulu -kalau sampai aksinya ketahuan- dia pasti pasang badan dan akan dengan lantang mengatakan dan mengakui Dita. Terlepas dari hal yang mendasari kehadirannya, anak adalah anugrah. Jangan bebankan kesalahan orang tua yang melakukan dosa kepada anak yang tidak tahu apa-apa. Biarlah karma menjadi buah yang akan Dito dan Isna tuai karena telah menanam dosa dan aib.

Sekarang, kenyataan itu terasa seperti empedu. Dia merasa hina, bobroknya sekian tahun di ketahui istrinya. Sungguh, Dito malu luar biasa.

Dito hanya diam dan semakin erat menggenggam gelas yang berisi air putih. Otaknya buntu. Dia semakin takut kehilangan kesempatan merengkuh Isma kembali.

Diamnya Dito membuat Isma meyakini yang ia  pertanyakan tadi.

Saat mengelap piring, Isma teringat obrolannya dengan Isna dan Ranti yang mengatakan bibir Dita sangat mirip dengan suaminya. Dia hanya berasumsi untuk mencari kebenaran dan kenyataan yang di dapatnya semakin menyakitkan.

Mereka sudah punya anak. Hubungan terlarang itu telah berbuah cantik. Isma berulang kali mengerjap sambil menggigit bibir dalamnya meredam tangis. Demi Tuhan! Kenyataan ini sangat meremukkan hatinya.

Setelah selesai berbenah, Isma berbalik meninggalkan Dito di ruang makan sedangkan Dito hanya mampu melihat tubuh istrinya yang kian menjauh.

Dito kembali menggenggam erat gelasnya menyalurkan ke-frustasiannya di sana.

Tadi sore, bobroknya terbongkar dan lebih sakit lagi dia terpergoki istrinya sendiri. Saat ini hatinya kembali merasakan sakit yang dia rasakan dulu semasa masih berseragam abu-abu. Sakit saat orang yang di sayang dan di perjuangkan justru menggandeng pria lain dan lebih menyakitkan, pria itu temannya sendiri.

Dito hanya menunduk, meresapi kenyataan bahwa kini kesakitannya lebih parah. Tak terasa bulir bening menetes dari mata Dito. Untuk pertama kalinya, dia menangis. Bahkan dulu saat tahu kekasihnya mendua sakitnya tidak begini. Hatinya dulu lebih didominasi dendam, tetapi sekarang sakit itu mendalam, merajam hati menjadi beberapa bagian.

Bukan niatnya untuk kembali mengulang kesalahan, bahkan dia sudah bertekat tobat, tetapi panggilan dari Isna yang meminta bantuan karena kran air yang bocor juga tidak bisa di tolak. Berniat baik, dia iyakan saja keinginan Isna. Dan kenyataannya memang kran kamar mandi di rumah itu bocor membuat Dito pun memperbaikinya.

Tidak kuat menahan semburan air, Dito meminta Isna untuk membantu menutup sementara pipa paralon, tapi tindakan itu justru mengundang bencana. Air muncrat dan membasahi tubuh Isna. Cipratan air membuat lekukan tubuh Isna sangat menggoda.

Dito terkecoh. Setelah berhasil membenarkan kran, dia pun terangsang dengan tubuh Isna kembali. Pikiran bahwa tidak akan terjadi apa-apa, seperti biasa mereka saling bermesraan. Dito terlupa bahwa sekarang statusnya berbeda. Ada istrinya di rumah yang siap memuaskannya dan berpahala pula.

Bila setan dalam otak sudah bicara, manusia akan terlupa dengan logika. Begitu pun Dito yang laki-laki normal, apalagi dia sudah berpuasa cukup lama. Pertahanannya jebol melihat tubuh Isna yang menggoda.

Dito menghela nafas dan menyeka air mata. Dia berdiri dan berjalan menuju kamarnya sendiri.

Saat tiba di depan kamar, Dito berhenti. Perlahan mendekat ke kamar sebelahnya. Saat terdengar isakan hati Dito kembali di rajam parang. Dia berjongkok di depan kamar Isma dengan tangan bertumpu di kedua siku kaki dan bulir bening kembali turun menyapa pipi maskulinnya. Kembali, Dito menangis mengiringi isakan Isma di dalam kamar.

Keadaan Isma pun tidak baik-baik saja. Bayangkan, dia melihat secara live  bukan lagi live streaming, tetapi live extreme adegan suaminya dengan wanita lain.

Baru beberapa bulan yang lalu dia di bentak tidak becus menjaga anak dan sekarang dia di berikan kejutan perselingkuhan suaminya? Dia merasa sungguh tragis nasib pernikahannya dengan Dito.

Isma merasa tidak ada yang perlu di pertahankan, apalagi pernikahannya dari niatan sandiwara, mungkin saat ini waktu yang tepat untuk mengakhiri. Lagipula Dito tidak pernah menyukainya.

Tidak ada guna mempertahankan cinta jika kita hanya berjuang sendirian. Jadinya hanya akan percuma.

🌸🌸🌸

Semenjak hari itu hubungan Dito dan Isma semakin berjarak.

Dito selalu mendapati sarapan, tapi selalu tidak menemukan Isma di dapur. Laki-laki itu benar -benar merasa kehilangan sosok Isma.

Pulang ke rumah pun sangat sulit menemukan keberadaan istrinya. Entah Ilmu apa yang di pakai isma?  Sehingga sangat sulit untuk mengendus keberadaannya di dalam rumah.

Dito mulai tidak tahan. Sikap kucing-kucingan Isma dirasakannya sudah keterlaluan. Dito keluar kamar hendak menuju ke kamar Isma, tetapi selembar kertas di atas keranjang pakaian yang sudah di setrika membuat dadanya bergemuruh panas.

Selembar kertas gugatan perceraian mampu membuat kaki Dito lunglai, lemas. Bukan ini yang ingin dia dapatkan. Kesempatan kedua yang ingin dia perjuangkan.

Tok! Tok!

Dito mengetuk pintu kamar Isma.

Hening. Tak ada jawaban ataupun pintu yang terbuka.

"Dek! Buka pintunya kita perlu bicara!" kata Dito dari luar kamar.

Hening lagi. Tidak ada jawaban.

Sungguh, bukan ini yang dito harapkan. Lebih baik baginya bila Isma marah, memukul atau apa saja melampiaskan kemarahan dan kekesalan kepada dirinya, bukan mendiamkan dan tahu-tahu membuat gebrakan dengan menyerahkan surat gugatan yang sudah di tanda tangani. Ini menyakitkan.

Semua orang punya kesempatan untuk meminta maaf dan di maafkan. Dia ingin kesempatan itu. Hatinya sungguh tidak rela bila harus berpisah dengan Isma.

"Dek! Tolonglah! Jangan seperti ini. Mas minta maaf, Dek!"

"Dek! Buka pintunya! Kita harus bicara."

"Dek!" kata Dito putus asa sambil memukul daun pintu yang tidak mau terbuka. Tubuh laki-laki itu melorot ke lantai.

"Dek! Jangan begini! Maafin Mas, Dek!" kata Dito memelas. Tubuhnya bersandar di pintu dengan tangan yang sesekali memukul daun pintu berharap mau terbuka.

"Maafin Mas, Dek! Mas khilaf!" kata Dito serak menahan tangis. Membayangkan perpisahan yang semakin dekat di depan mata membuat hatinya kian terluka.

"Pukul Mas, maki Mas, tapi jangan minta pisah, Dek!" Dito masih memukul pintu. Dia tahu Isma mendengarnya saat ini.

"Mas nggak mau, Dek! Jangan pernah tinggalin Mas, Dek," ucap Dito masih menghiba di sertai tetesan air mata.

Sedangkan di dalam kamar, Isma pun merasa sangat dilema.

Terlambat, kereta cinta Isma sudah berangkat meninggalkan Dito di stasiun kenangan. Hatinya sudah kosong, terhapus oleh kebohongan suaminya. Yang tertinggal kini kesakitan dan Isma tidak tahu apa akan mungkin bisa di sembuhkan?

Isma mencengkeram erat selimut dan menggigit ujungnya untuk meredam gejolak tangis. Mendengar perkataan Dito, hatinya seakan luluh, tapi ada masalah lain yang tidak akan mungkin bisa meluluhkan keadaan di antara mereka. Ardita Pramananingtyas.

🌸🌸🌸




Yang kemarin minta up cepet, nih aku turutin ...😅😅😅

Semangat lagi mode on, soalnya kemarin habis  diajak ke pantai. Asekk...

Salatiga. Senin pon.
Dah gitu aja.

Pebinor Bucin.(Sudah Tamat di Kbm-app) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang