Tiga

34 10 0
                                    

Tak terasa, ujian akhir semester telah berlalu dan waktu kami tampil di acara sekolah semakin dekat. ada sekitar 18 surat yang aku terima selama satu semester ini. Saking banyaknya surat yang aku terima dengan isi yang sangat bervariasi, aku sampai merasa semakin dekat dengan si penulis surat kaleng ini walaupun hingga mendekati waktu libur, aku tak pernah tahu siapa dibalik surat dengan amplop biru itu.

    "Haza, ayo mulai", ujar Asta.

aku memetik gitarku. ini adalah latihan terakhir sebelum malam nanti kami tampil. Aruna akan membawakan 3 lagu yang dipilih oleh teman-teman seangkatan dan juga kakak kelas. Latihan berlangsung singkat, hanya satu kali putaran dan kami memutuskan untuk istirahat. Zia menghampiri kami di ruangan sambil membawa begitu banyak cemilan dan minuman. Ia kaget saat melihatku berdiri di balik pintu dan sedikit salah tingkah.

    "Jadi aku mau ngumumin sesuatu" Kata Aruna memecahkan suasana canggung yang meliputiku dan Zia.

    "Aku mau kasih tau kalau hari ini adalah hari terakhirku di Indonesia, nanti malam aku akan terbang ke Rusia bersama kedua orang tuaku. Ayahku ditugaskan disana"

    "loh Ara? kok..." Kalimat Asta langsung dipotong oleh Aruna

    "Dengar dulu kenapa sih Ta", Asta kembali bungkam

    "Aku mau ucapin banyak terima kasih untuk kalian karena sudah jadi sahabat terbaik bagiku selama ini. waktu-waktu yang kita habiskan di ruangan ini akan jadi kenangan yang sangat berharga bagiku" Lanjut Aruna, kali ini dengan tatapan yang dipaksakan untuk riang, berusaha menyembunyikan kesedihan yang terpampang jelas di matanya.

Aku menatap Zia dengan penuh tanda tanya, seolah dengan menatapnya aku bisa mendapat jawaban dari pertanyaan, 'apakah Zia tau?' dan 'apakah Aruna sudah tau sejak lama'. Jawaban yang kudapat dari Zia hanya mata yang berkaca-kaca sembari menundukan pandangannya.

    "Jangan pada sedih dong, kan kita masih bisa bersenang-senang nanti malam. Hayuk sekarang kita makan-makan dulu sebelum nanti malam kita manggung" Kata Aruna mencoba mencairkan suasana yang seketika menjadi hening sembari menghampiri Zia dan merangkulnya untuk duduk. Aku hanya terdiam sambil memandang punggung keduanya.

    Tepat jam 7 malam, kami berkumpul di backstage. setengah jam lagi kami akan tampil untuk membuka acara malam ini. seperti yang sudah disebutkan sebelumnya. Kami akan membawakan tiga buah lagu. Satu untuk pembuka, satu untuk selingan dan yang terakhir sebagai penutup. Setengah jam kami lalui dalam keheningan, aku tau semua pasti sibuk dengan pikirannya masing-masing, sibuk memikirkan pentas yang tersisa beberapa menit lagi dan sibuk dengan kegalauan akan ditinggal oleh vokalis dengan suara emas kesayangan kita. Dan aku? pikiranku bertambah dengan tanda tanya apakah aku benar-benar menyukai Aruna, atau aku justru menyukai seseorang yang entah siapa tetapi selalu menemani hariku dengan cerita-cerita di dalam amplop biru.

"Untuk membuka acara biar makin seru ayo kita dengar penampilan dari The Given. Mana tepuk tangannya?" Terdengar suara host penuh semangat, Asta memimpin doa sebelum kami menginjakkan kaki di panggung. Dari nadanya sungguh terasa kesedihan yang mendalam.

Acara berjalan lancar, dua lagu sudah kami bawakan. Hanya tersisa satu lagu terakhir sebagai penutupan. Hari semakin malam, suasana semakin syahdu, kami putuskan untuk menyanyikan lagu dari Chrisye, Pergilah kasih.

Pergilah kasih, kejarlah keinginanmu

selagi masih ada waktu

jangan hiraukan diriku

aku rela berpisah, demi untuk dirimu.

semoga tercapai segala keinginanmu

Suara merdu Aruni terdengar jelas bahwa ia sedang menahan tangisnya. Dan benar saja, dia tak sanggup melanjutkan nyanyiannya. Aku menyambungkan suara untuk menyelesaikan nyanyiannya. Aku menatap dalam Aruna, Asta menghampirinya dan memeluknya sambil turut bernyanyi bersamaku dan bersama semua hadirin yang sudah menyalakan flash dari hp mereka. Aku memalingkan tatapanku dan berkata perlahan untuk mengobati rasa sakitku, "aku punya si pemilik amplop biru, aku akan baik-baik saja". Di samping panggung, aku mendapati Zia yang menatapku, aku tak tau arti dari tatapannya.

    Aku menuruni panggung setelah lagu penutupan selesai, Asta terlihat masih mencoba untuk menenangkan Aruna. Aku memilih untuk mencari sebotol Air mineral untuk menghilangkan dahaga yang sudah tidak tertahankan, aku sudah lama tidak bernyanyi. Tiba-tiba dari atas panggung terdengar suara dari Keyboard Asta, jarakku dengan panggung cukup jauh, sekitar 15 meter tetapi  masih terlihat jelas bahwa Asta masih berada diatas panggung, memainkan keyboardnya dan Aruna sudah kembali memegang micnya.

If you don't mind

Can you tell me

All your hopes and fears

And everything that you believe in

Would you make a difference in the world

I'd love for you to take me to a deeper conversation

Only you can make me

I've let my guard down for you

And in time you will too

Lapangan yang awalnya hampir kosong, kembali terisi. Penonton seperti enggan meninggalkan Aruna bernyanyi sendiri.

    "Tunggu... liriknya..."

Aku berlari sekencang-kencangnya, menaiki puluhan tangga tanpa berhenti, bahkan aku melompati 2 tangga sekaligus. Aku membuka lokerku dengan kasar dan mengacak-acak semua amplop biru, mencari surat kedua yang pernah kuterima. Tiba-tiba semua menjadi hening, bukan hanya karena lagu yang dinyanyikan Aruna telah berakhir, tetapi juga karena kepalaku terasa seperti diduduki oleh puluhan gajah, berat. Aku segera menyadarkan buru-buru aku berlari menuruni tangga, menuju ke arah panggung, sampai di depan panggung aku disambut oleh bogem mentah dari Asta.

    "Ah kamu tuh gimana sih?! Aruna tuh cinta sama kamu! Aruna yang menulis puluhan surat yang ada di lokermu!" Asta tak berhenti memukul, aku bahkan tak sempat menghitung jumlah pukulan yang mendarat di wajahku.

TUUUUUUUUUUTTTTTTTT...!!!!

    Seketika lamunanku ditendang oleh bunyi kereta datang, aku bergegas memasukan hpku ke dalam saku dan membiarkan earphone tetap terpasang di telingaku. Sejak saat itu, aku tak pernah bertemu Aruna lagi, aku terlambat dan aku sungguh menyesali kebodohanku. Aku berjalan memasuki kereta, mengambil posisi ternyaman dan melempar pandangan keluar, dari peron sebelah terlihat gadis berambut pendek, berwajah bulat dan mengenakan jaket yang sangat aku familiar bagiku. "ARUNA!" pekikku dan berusaha untuk turun dari kereta, lagi dan lagi. Aku terlambat.

Kala itu,Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang