Gadis berwajah tegang itu mencengkram ponselnya lebih erat, selagi mendengarkan rentetan panjang omelan yang dilayangkan lawan bicaranya dari ujung lain sambungan. Rambut sebahu yang tadinya tertata rapi mulai sedikit teracak, ketika jemari lentik berkuteks merah muda itu terus menerus menyugar tanpa sadar. Kondisi sekitarnya sepi, rata-rata penghuni kantornya sudah berbondong-bondong pulang sejak pukul lima sore. Sementara dirinya yang tinggal sedikit lebih lama karena meeting berkepanjangan, akhirnya yang paling terakhir keluar dari ruangan.
"Pokoknya nggak bisa, Ayah!" bisiknya dengan nada tegas. Puncak rambutnya mulai tak beraturan karena dicengkram oleh sebelah tangannya. Ia terus berjalan ke arah deretan smart lift yang ada di lorong. Detak hak stiletto-nya menggema di lorong yang sepi itu.
"Aku nggak mau pokoknya. Terserah Ayah aja, mau coret aku dari daftar warisan juga aku nggak peduli deh!" Ia berniat memutus teleponnya, tapi ayahnya masih belum selesai juga berpendapat rupanya.
Gadis itu pun menarik lanyard yang tergantung di lehernya, menekankan kartu akses gedung ke touch screen dan memilih lantai dasar— lobby. Kemudian ia menunggu lift yang di assign untuknya, lift dengan kode N. Ia pun melangkah cepat ke depan lift yang dipilihkan oleh mesin pengatur.
"Iya, iya terserah! Aku tutup Yah, aku mau masuk lift, bye!" tutupnya dengan ketus. Helaan napasnya begitu keras. Gadis itu menoleh ke kiri dan kanan, ia benar-benar sudah sendirian rupanya. Melirik jam tangan mungilnya sekilas, ia paham kenapa ia pantas sendirian.
Namun sudah lima menit lift yang ditunggunya tak kunjung terbuka juga pintunya. Padahal gedung sudah sepi, kenapa juga smart device yang super merepotkan —seperti lift pintar ini— tidak memilihkan lift yang paling cepat. Bibir merahnya merutuk lagi sumpah serapah, mumpung ia sendirian.
"Bu ... Bu?" Ada suara laki-laki yang memanggilnya dari arah belakang. Gadis itu pun perlahan menoleh, lagipula siapa lagi yang ada di lorong, selain dia? Tidak mungkin panggilan 'ibu' itu untuk Pak Satpam yang ada di balik pintu kaca, kan?
Pupil cokelat itu menelisik asal suara, ternyata lift dengan kode Q yang terbuka lebar, dan berada di ujung lain lorong. Gadis itu menunjuk wajahnya sendiri, mengisyaratkan pertanyaan pada lelaki yang menahan pintu lift untuknya. Orang itu sepertinya dari lantai atas, lift-nya terhenti, lalu justru terbuka di lantai ini.
Lelaki itu menyengir lebar sekali, sambil mengangguk. "Bu, mau turun? Pakai lift yang ini loh, Bu!" serunya.
Sang gadis mendengkus pelan, sambil buru-buru menuju ke lift sialan yang —seenak jidat pintarnya itu— mengubah pola. Lift gedung ini memang selalu memperhitungkan berapa jumlah orang yang melakukan tap kartu akses, dan mengatur lift mana yang paling cepat menuju ke lantai tersebut. Kelemahannya, kadang polanya bisa berubah kapan saja, karena satu dan lain hal. Kalau ingin cepat, mata harus jelalatan untuk menunggu lift mana yang terbuka duluan. Sungguh repot kalau sedang terlambat dan harus berhadapan dengan lift 'pintar' ini.
Gadis itu pun masuk ke lift, diikuti si lelaki berseragam t-shirt hitam dengan logo perusahaannya di dada. Lelaki itu tinggi meski agak bungkuk, dan membawa ransel. Sama juga hendak pulang mungkin. Gadis itu berdiri di pojok lain, berusaha memutar otaknya untuk menyelesaikan masalahnya dengan sang Ayah.
Hening, perjalanan mereka turun tidak terlalu lama, hanya memakan beberapa detik.
Lelaki tersebut menahan tombol lift agar pintu tetap terbuka, sambil menoleh ke arah gadis itu. "Silakan, Bu!" ujarnya sopan, dengan logat yang agak udik.
Namun gadis itu tak juga beranjak dari posisinya, malah mengerutkan dahinya dan menatap curiga pada si lelaki yang berdiri di sisi lain lift— masih nyengir dengan murah meriahnya.
Sadar ditatap kelewat berlebihan macam maling ayam, lelaki itu pun menyengir semakin lebar. "Bu, mau ke lobi kan yah? Udah sampek nih, Bu!" jelasnya lagi, jempolnya masih menekan tanda buka di dinding lift. Karena sekali lagi, lift pintar (tapi menyebalkan) ini terhitung pelit untuk urusan buka tutup.
"Eh, Mas, mau tolongin saya nggak?" tanya gadis itu dengan nada memaksa.
[1] Open Sesame : Mantra yang digunakan Ali Baba untuk membuka pintu gua penuh dengan harta karun (Ali Baba and the Forty thieves).
❁❁❁
|
|
©risingthought14
08 March
2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Elevate
ChickLit#Wattys2021 Winner ㅡ Chicklit | Chicklit - Romance Comedy | This work was added to @WattpadChicklitID Reading List April 2021 Lift my life, help me out! Live my life, leave me out! Mengapa Maia menolak perjodohan yang diatur seapik mungkin oleh ayah...