"Aku cinta kamu, Nada."
Mataku terbuka perlahan. Menatap langit-langit kamar yang terasa asing. Mencium semilir aroma menenangkan, hingga membuatku tak sadar meneteskan air mata.
Kumohon, jangan mimpi itu lagi.
Dengan masih setengah enggan menapakkan kaki ke lantai, aku beranjak bangun, mengusap air mata itu dengan tenang, untuk kemudian melangkah ke luar kamar menghampiri seseorang yang beberapa menit lalu ada dalam mimpiku, selalu.
"Eba?" Untuk pertamakalinya, kuucapkan nama itu kembali.
Hanya satu kali panggilan dan tanpa mengetuk pintu, seseorang yang dimaksud menampakkan dirinya di hadapanku. Dia tersenyum, lebih lebar dari senyuman dalam mimpi. "Ayo."
Seolah mengetahui isi pikiranku, dia berjalan terlebih dulu menuju dapur. "Pasta? Roti panggang? Atau yang lainnya?" Dia seperti seorang pelayan yang menanyakan menu makanan yang akan dipesan pelanggan.
Aku masih terdiam dengan kepala tertunduk, tak berani menatap matanya, dan hanya berani memperhatikan sepasang kakinya yang beralaskan sandal hitam. "Aku ... Mau sup ayam, sama nasi hangat."
Kutebak dia tak akan mampu memenuhi pesanan 'sang pelanggan'.
"Jangan ngeluh kalo nanti gak enak. Sana, kamu duduk."
Dan tebakanku keliru. Di kulkasnya ternyata banyak menyimpan bahan masakan, bahkan ayam potong pun ada. "Kata Giri, kemauanmu susah ditebak, ternyata benar. Gak mubazir tadi aku beli ayam." Ebara kembali menambahkan saat melihatku masih memperhatikannya heran.
Maka aku pun menurut, duduk di kursi, di balik meja. Mengurungkan niat bertanya tentang ahli tidaknya perempuan itu dalam memasak, karena awalnya aku meragu akan kemampuan itu, tapi ternyata pertanyaan yang tak terlontarkan terjawab ketika tangannya cekatan memotong dan bahkan lihai di depan wajan.
Sungguh banyak sekali kejutan dalam diri Ebara saat ini, entah kejutan apa lagi selanjutnya. Sampai kukira baru mengenalnya kembali.
"Sudah punya pacar?"
Pertanyaan macam apa itu. Mengapa tidak bertanya saja keadaanku selama ini.
Aku menggeleng, walau dia sedang tak menangkap responku barusan karena wajan di hadapannya lebih 'asyik' untuk ia pandangi.
"Aku gak pacaran."
Kulihat Ebara menyeringai miring. Senyum pisaunya yang selalu berhasil menusuk ulu hatiku. "Ambigu. Jawabanmu itu ambigu Nada. Orangtuamu melarang? Atau kamu gak suka pacaran?"
Mengerti dengan situasi, aku langsung mengoreksi. "Maksudku bukan nggak suka pacaran atau nggak bisa, aku hanya nggak mau terikat hubungan kayak gitu."
"Berarti itu tandanya kamu gak suka."
Lagi-lagi aku menggeleng tanda memprotes. "Gak gitu juga," ingin rasanya aku menjawab bahwa alasan aku tidak mau terikat dengan siapapun itu karena dirinya. Meskipun aku tau, bahwa kami berdua tidak akan pernah menjadi 'kita' tetapi setidaknya aku ingin kembali merasakan dicintai sepenuhnya oleh Ebara.
"Kamu gak pernah pacaran kan Nada?" Aku terdiam mendengar kalimat yang entah kenapa membuatku sakit hati. Sikap diamku barangkali menjadi jawaban yang dinantinya. "Bagus."
Dan rasa sakit hati ini mendadak sirna saat dia kembali berujar demikian.
Ambigu. Semua sikapmu itu ambigu Ebara.
***
"Kalau nanti udah dewasa, gak kebayang kamu bakal secantik apa."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Girl From Hell [GxG]
RomancePerempuan itu mencuri hatiku, menarik ulurnya, lalu setelah bosan mempermainkannya, ia buang begitu saja. Perempuan itu sepupuku, dan aku mencintainya. Ini salah, salah besar. Ini gila, aku tahu. Tapi ini cinta, dan aku merasakannya. ...