13. Menghiba rasa yang hampir binasa.

1.5K 99 24
                                    

🌸🌸🌸

"Kamu mau ke mana?" tanya Dito yang baru pulang dari bekerja. Isma tak menjawab dan mundur memapah motor matic-nya. Sikap acuh Isma sangat membuat hati Dito kian nelangsa.

"Dek!" tanya Dito lagi mencekal tangan Isma yang sudah naik ke sepeda motor.

"Ke rumah Ibu!" jawab Isma lirih sambil menunduk. Matanya memanas menahan tangis, wanita itu masih belum terima dengan perbuatan suaminya.

"Bareng sama Mas. Aku nggak mau Ibu tahu masalah kita. Tolong, Dek!" Dito masih menghiba sedangkan Isma melengos mendengar permintaan suaminya.

"Oke! Oke! Sekali ini saja, penuhi permintaan Mas. Kita ke rumah Ibu bareng, setelah itu aku akan kabulkan semua permintaan kamu." Isma  bergeming, tak mau menatap ke arah Dito.

Tangan kiri Dito mengusap wajah kasar. Dia sangat frustasi dengan sikap Isma. "Termasuk surat gugatan itu." Perlu berton-ton kekuatan agar Dito bisa mengucapkan kata-kata itu, bahkan suaranya terdengar berat.

Mendadak Isma mau berbalik dan memandang suaminya. Ada ribuan kesakitan yang tergambar dari pancaran mata indah Isma kepada Dito.

"Tunggu di sini. Mas letakkan tas dulu di dalam, sebentar," kata Dito sambil meminta motor Istrinya. Isma turun dan berdiri di belakang mobil suaminya.

Dito menghela nafas. Menuntun naik motor istrinya dan membawa masuk ke dalam garasi kembali. Dito menyugar rambutnya frustasi. Dia sangat stres dengan keadaannya kali ini.

🌸🌸🌸

Mereka diam seribu bahasa. Isma masih bungkam sedangkan Dito sesekali mencuri pandang ke arah istrinya. Mata sembap, lingkar hitam menghiasi mata cukup membuktikan bahwa Isma juga tersiksa.

"Kita harus bicara." Isma masih diam dan memandang ke samping di mana kendaraan lain berhenti di lampu merah.

"Dek!" tanya Dito lagi masih memandang istrinya.

Isma masih diam, hanya suara mesin yang menderu di luar kendaraan suaminya beradu kecepatan.

Dito hendak kembali bersuara, tetapi rentetan suara klakson dari arah belakang membuatnya urung dan melajukan kendaraan kembali.

Tidak kuat basa-basi, Dito memarkirkan mobilnya di bahu jalan di sekitar Taman Tingkir Salatiga.

Isma yang menyadari kendaraan berhenti memandang bingung ke arah depan dan samping tempat mobil terparkir.

"Kita perlu bicara!" tegas Dito.

Menyadari hal itu, Isma hendak ke luar mobil, tetapi Dito culas. Laki-laki itu memarkirkan mobil mepet dengan pohon besar. Alhasil pintu mobil tidak bisa terbuka.

Tidak ingin kalah, Isma hendak keluar dari pintu  belakang, namun tangan kiri Dito langsung menghalangi sela di antara kursi Isma dan kursi pengemudi, membuat Isma gregetan dan kembali duduk walau dengan muka semakin tertekuk.

Jangan bilang Isma labil, nyatanya usianya baru dua puluh tahun. Masa segitu masih waktunya anak bermanja dengan kedua orang tua, tapi dia sudah dipaksa memikirkan jalan keluar masalah dalam rumah tangga.

"Dengerin Mas!" Isma jengah malah menutup kedua telinga dengan tangannya.

"Ya Tuhan, Dek!" Dito yang geram memukul kemudi mobil membuat Isma berjenggit kaget.

"Mas minta maaf. Mas khilaf! Oke!" Dito semakin tampak frustrasi. Laki-laki itu menangkupkan kedua tangan di kemudi dan meletakkan kepala di sana.

Hening, hanya suara sliweran kendaraan lain yang terdengar saat lewat di samping kendaraan Dito.

"Tidak perlu minta maaf. Semuanya sudah terjadi. Mas pernah bilang kalau Mas punya kekasih dan tidak mungkin menyukai saya, jadi mungkin kita memang tidak berjodoh," kata Isma membuat kepala Dito terangkat dan badannya menegak. Laki-laki ini menoleh ke arah Isma yang masih memandang ke depan.

Pebinor Bucin.(Sudah Tamat di Kbm-app) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang