Gue turun dari mobil milik Ayah, yang mengantarkan gue ke depan pintu gerbang sekolah. Kedengeran kayak Pembukaan Undang - Undang 1945?
Gak apa - apa. Mari kita abaikan.
"Zee! Disini!"teriak suara yang udah gak asing lagi memanggil nama gue. Gue dengan spontan dan semangat segera mencari sumber suara tadi.
"Oy, Zee congek! Sini napa?!"teriaknya lagi, membuat gue semakin kalap mencari sumber suara tadi.
Mata gue melebar saat mendapati dua orang yang paling sayang dan ngertiin gue, yang faktanya udah gak ketemu selama 3 tahun ini berdiri tepat di deket semak - semak gak jauh dari tempat gue berdiri.
"Fivi! Rossie!"teriak gue sambil berlari melewati beberapa orang yang tampak kesal karena gue dengan seenaknya berlari membelah arah, menyebabkan gue menabrak beberapa orang.
"Gue kangen!"ujar gue sambil memeluk mereka berdua dengan erat.
"Kita juga sama kok,"Rossie menimpali.
"Gue sama Rossie udah nungguin dari tadi, tau gak? Lo kemana aja sih?"tanya Fivi sewot sambil memelototi gue dengan matanya hitamnya yang lebar dan berbulu lentik itu.
"Biasa. Gayran bangun telat,"gue menyebut adik gue dengan santai.
"By the way, gimana Belanda?"tanya Rossie sambil berjalan, membuat gue dan Fivi juga berjalan.
"Seru! Disana anak - anaknya udah pada mandiri kebanyakan. Terutama kakak - kakak mahasiswa disana itu kalo kuliah pada jauh - jauh. Banyak orang Indonesia juga, kok,"jawab gue dengan semangat.
Fivi mengangguk."Persis kayak yang diceritain sepupu gue."
Gue celingukkan, menyadari seperti ada sesuatu yang hilang."Oh, iya. Pastel mana?"tanya gue spontan.
"Oh.., kemana lagi? Pastel kan jam karet. Lagian, dia baru pulang dari Manhattan kemarin sore, kan," jawab Fivi enteng.
"Lah, kok? Manhattan?"tanya gue bingung.
Fivi menepuk dahinya."Ya ampun! Lo gak tau, Zee?"
"Tau apaan?! Gue ngobrol sama Pastel aja terakhir kali 2 tahun yang lalu. Itu juga cuma chatting-an!"gerutu gue sebal.
"Oke, gue kasih tau lo sekarang,"ujar Rossie cepat."Pastel itu pindah ke Manhattan 2 tahun yang lalu."
"Dan lo berdua gak ngasih tau?! Pastel juga?!"
Fivi terkekeh."Wah.., maaf nih Zee. Gue juga gak tau kalo lo gak tau,"ujarnya sambil nyengir.
"Jadi ceritanya dia tuh dapet program beasiswa dari sekolah,"terang Rossie.
"Loh, bukannya di sekolah kalian tuh yang paling pinter Arneta, kan? Arneta juga sekolah di SMP Mentari, kan?"tanya gue sambil menyebut calon SMP gue dulu, kalo gue gak ke Belanda.
"Yah.., dia dapet sih, tapi di lebih milih beasiswa yang ke Inggris. Jadi, untuk nutupin kekosongan tempat, dipilihlah si Pastel. Dan sifatnya itu mengikat. Karena sekolahnya itu ngadain program kerja sama bareng MJH, jadi programnya kayak pertukaran pelajar lagi. Sekolah yang disana juga bentuknya asrama, jadi nggak memperbolehkan alat komunikasi dan eletronik,"jelas Rossie.
"Tapi kan dia bisa pulang pas liburan dan pake alat komunikasi, kan?"tanya gue lagi.
"Tapi kasusnya kayak lo, Zee. Di sana dia punya rumah. Jadi dia menetap disana sepanjang liburan, atau tetep di asrama. Untuk masalah komunikasi, gue juga kurang tau, lah ya... Gue dapet informasi dari Kaa-san,"ujar Fivi sambil menyebut nama rujukan untuk Mama Pastel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teens Beats
Teen FictionKepulangan Zee dari Belanda dan Pastel dari Manhattan disambut oleh kedua sahabat mereka, Fivi dan Rossie. Mereka mendaftar di SMA yang sama, SMA Internasional Jupiter. 3 tahun tidak bertemu dan nyaris tidak berkomunikasi, tentu banyak hal yang suda...