"kapan pulang nak? Nggak kangen apa sama Papa?"
Pagi ini aku sedang bermalas-malasan di kamar sambil teleponan sama Papa aku.
"Alah kemarin ditelepon nggak diangkat juga," jawabku protes padanya.
"Kan kerja, handphone di rumah."
"Kerja apa ketemu sama cewek." Aku menggerutu, sedangkan Papa malah tertawa terbahak dengan suara khasnya yang sedikit serak, yang kata April teman aku, suara khas laki-laki seksi.
"Dewi bikin story ya di Instagram? Dasar anak bayi," katanya masih sambil tertawa.
"Papa juga pikiran kayak bayi. Bocah masih kuliah dipacarin. Saingan lah apa apanya sama anak sendiri. Heran deh mau-maunya dipacarin sama orang tua,"
"Eh Alika jangan salah, malah Dewi yang ngejar Papa duluan. Pesona duda keren katanya."
"Ck sesuka Papa aja lah sana. Alika capek kupingnya Pa, nanti aja telepon lagi. Bye!"
Aku abaikan muka Papa yang hendak protes. Dia berusaha untuk video call lagi tapi aku abaikan.
Aku lebih memilih berjalan menyusuri anak tangga satu persatu, dirumah ini, rumah yang pernah buatku merasakan bahagianya menjadi anak. Pernah, karena itu dulu ketika semuanya masih terlihat menyenangkan di mata Alika kecil.
Belum juga sampai tangga paling bawah, aku mendengar suara Mama dari arah dapur.
"Memang keluarga mereka gitu yang, semua anak dimanjain. Iya sih benar ada pembantu tapi kan buat jaga-jaga kalau pas kepepet bisa lah terjun di dapur sendiri. Setidaknya untuk diri mereka sendiri. Ini mereka manjanya keterlaluan. Cuman bikin minum aja nyuruh orang lain. Apalagi Papanya Alika itu, uh sudah kayak orang lumpuh kalau udah pewe. Mau ambil asbak aja selalu minta tolong. Padahal kan posisi dekat sama dia, tetap aja minta tolong,"
Aku memilih melanjutkan langkah, tidak peduli dengan Mama yang tengah membicarakan keburukan mantan suaminya dan juga anak kandungnya sendiri. Dengan sengaja aku mendekat dan berjalan dibelakang mereka. Mengambil apel yang sepertinya baru saja di cuci, lalu menggigitnya.
Aku tahu tatapan keduanya mengarah padaku, tanpa harus melihat ke arah mereka. Memang aku sengaja.
Lalu aku berjalan menuju kulkas untuk mengambil susu UHT dan menutup kulkas dengan kaki.
"Sudah dibikinin coklat hangat sama Mama kamu." Aku tersenyum sekilas pada orang yang menikahi Mama ini.
"Lagi nggak pengen coklat. Pengennya susu dingin, yang instan dan ngga ribet. Entah ya, Jogja pagi ini gerah banget," timpalku.
Keduanya saling pandang yang mungkin saja sedang bertelepati membicarakan aku.
"Masak apa sih Ma? Kok belum mateng juga. Anakmu ini laper."
Aku sengaja menegaskan kata 'anakmu' dihadapan mereka, kalau-kalau Mama lupa kalau aku itu anak kandung dia.
"Bentar lagi," jawabnya disertai helaan nafas. Capek kah dia dengan kelakuanku? Kalau iya, sama. Aku juga sudah beberapa tahun ini capek dengan keadaan, juga dengan perlakuan dia padaku yang tidak semestinya.
Bolehkah aku iri dengan anak-anak lain di luaran sana?
***
"Zan,"
"Hmm, apa sayang?"
"Ih!" Ku dorong bahu Razan si manusia super pede ini. Malam ini aku kembali menyambangi rumah Razan. Bukan menyambangi sih, tepatnya dia yang mengambilku dari rumah yang terasa seperti banyak api di sekitar. Anehnya dampak api itu tidak pada rumah tapi membakar hati aku, dan juga pikiran aku. Rasanya membara hingga kepala terasa pening.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'M (NOT) OKAY
Teen FictionKata sebuah lagu, harta yang paling berharga adalah keluarga. Lalu bagaimana dengan perasaan seorang anak dari korban perceraian orang tua? Alika Nada, merupakan salah satu dari banyaknya korban dari perceraian. Lalu ada Razan yang dia kenal seja...