❌Berpisah❌

210 33 15
                                    

Sejak keputusan Kolonel Hikaru empat bulan lalu, keluarga Nakamura meninggalkan Hindia Belanda, atau kini Indonesia. Namun, putra dan menantu mereka menjadi pengecualian. Karena satu dua alasan membuat tiga empat alasan lainnya akhirnya pasangan itu memilih tetap tinggal.

Hiro semakin kualahan menghadapi ganasnya Sekutu yang ingin mengembalikan Indonesia ke tangan pemerintah Kolonial Belanda. Padahal, negri terjajah ini telah memproklamasikan kemerdekaannya beberapa waktu lalu. Dengan jumlah pasukan yang tak lagi memadai, Nippon menghimpun kekuatan untuk tetap bertahan dan pulang membawa kemenangan.

Nahas, keadaan memaksa mereka untuk pulang. AS dan antek anteknya meluluhlantakkan bumi Hirosima dan Nagasaki. Membuat negeri sakura itu bagai neraka kecil di kawasan Asia Timur. Hal ini membuat Yamada Hiro dalam keadaan kacau. Karena statusnya adalah seorang petinggi. Jika tertangkap, ia tentu akan tertuduh sebagai penjahat perang dan mendapat siksaan hingga mati membusuk. Sebenarnya bukan itu yang Hiro takutkan, namun bagaimana kelangsungan hidup sang istri jika ia menjadi tawanan perang. Kinanti benar benar sebatang kara jika lelaki itu pergi meninggalkannya.

Dini hari, Yamada Hiro telah siap pergi ke kantor militer untuk berunding bersama rekan rekannya tentang rencana kepulangan mereka. Seragam Hijau kecoklatan, senapan laras panjang, dan katana yang tersemat, telah siap menjadi pelindungnya sewaktu waktu.

Wajah Hiro begitu kuyu, tak mampu tertidur nyeyak walau hanya beberapa jam. Pria itu mengecup lembut kening sang istri yang masih bergelung nyaman dibawah selimut. Membisikkan beberapa kata yang hanya dimengerti olehnya. "Aku pasti akan pulang, Kinanti.."

Hiro melangkah gontai meninggalkan rumah. Semilir angin subuh menyambutnya tatakala ambang pintu terbuka. Dengan mantap, ia mulai berjalan menjauh. Sesekali matanya melirik waspada, jika lengah sedikit, musuh siap menerkamnya kapan saja. Dinginnya udara pagi kota Djogjakarta tak mampu membuatnya gentar pagi itu.

Kurang dari 500 meter, ia akan sampai ditujuan. Gedung yang tak terlalu tinggi telah tertangkap indera penglihatannya, Hiro mengembuskan napas lega. Namun ada sesuatu yang aneh, mata sipitnya menangkap bayangan beberapa penjaga dengan mantel kehitaman. Mereka berbadan tinggi besar, dengan topi Brodie senada melindungi kepala masing masing. Terlihat pula beberapa dari mereka tengah menunjuknya, meneriakkinya dengan bahasa yang terdengar asing. Tak salah lagi, mereka adalah pasukan tentara angkatan darat Inggris.

❌❌❌

Kinanti Brawijaya terbangun karena merasakan gejolak diperutnya. Ia merasa ingin memuntahkan sesuatu. Tak lama, Kinanti berlari menuju kamar mandi, berniat memuntahkan segala isi perutnya. Bagai tersendat, hanya cairan bening serupa air liur yang keluar dari bibirnya. Tubuh Kinanti serasa lemah tak bertenaga, wajahnya sepucat boneka porselen.

Kinanti terkulai lemah dalam ranjang, memijat mijat tengkuknya berusaha mengurangi rasa mual. Jika masuk angin, tak biasanya sampai seperti ini. Kinanti meluruskan kakinya di ranjang, mendesah malas sambil menatap langit langit.

Sakit apa aku ini?




Kinanti terngaga bagai tak percaya, setelah apa yang wanita setengah baya itu katakan. Dia hamil. Seusai merasa tak enak badan tadi pagi, Kinanti langsung memanggil dokter keluarga Nakamura untuk memeriksa kesehatan tubuhnya. Betapa bahagia wanita itu saat mengetahui rahimnya kini disinggahi buah cinta mereka. Dokter perempuan pribumi berbaju putih itu memberikan beberapa obat dan wejangan cara menjaga kehamilan muda. Kinanti hanya mendengarkan sambil mengangguk antusias seperti anak kecil di hadapan dokter itu.

"Jangan terlalu banyak pikiran, nyonya Nakamura. Karena dapat mempengaruhi pertumbuhan janin anda." Ucapnya sambil membereskan beberapa alat pemeriksa dan beranjak pergi. Dokter Nartisah namanya.

𝐋𝐨𝐯𝐞 𝐢𝐧 𝐖𝐨𝐫𝐥𝐝 𝐖𝐚𝐫 𝐥𝐥Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang