"Mas? Kok ke sini? Tumben! Biasanya juga jarang," sindir Theresa yang sempat terperanjat, setelah Torra menampakkan barang hidungnya di rumah tersebut.
Perkataan wanita paruh baya itu memang ada benarnya, sebab selama ini rumah minimalis Torra yang berada di BTN Kolhua Kupang adalah tempat favorit barunya dan ia pun sudah jarang bertandang ke sana lagi.
Tidak ingin menjawab pertanyaan Theresa dengan cara terus melangkah semakin masuk ke dalam, Torra ternyata tak bisa menghindar lagi, ketika ibu kandungnya terus mengekor di belakangnya.
Torra yang nyaris menginjakkan kaki di anak tangga pertama menuju ke lantai dua, mengalah dan lekas berbalik, "Aku tidur di sini, Ma. Bukan lagi mau ngambil berkas atau apa."
"Nggak makan dulu?" Theresa pun mendapatkan penjelasan dari Torra, membuat rasa penasaran semakin melebar.
Alih-alih menuntaskannya sesegera mungkin, Theresa rupanya memilih jalan lain agar Torra mau bercerita, tapi putranya masih saja mengelak, "Nanti aja, Ma. Aku capek soalnya. Bisa kan?"
Itulah mengapa Theresa membagi kisah lain tentang calon menantu idamannya, "Laura mau menikah dengan dokter kandungan yang katanya saudaraan sama si Inna itu, Mas. Dia sudah hamil dan--"
"--Torra sudah tahu, Ma. Lebih baik begitu daripada dia jadi cewek simpanannya Pak Frans kan?" Membuat Torra merasa jengah, hingga berperilaku kurang sopan, menyanggah ocehan Theresa.
Berpikir jika Theresa akan diam dan membiarkan dirinya terus menuju ke lantai dua, ternyata Torra salah menduga, saat suara ibunya masih saja terdengar, "Tapi apa betul itu anaknya si dokter? Jangan-jangan Laura--"
"--Ma, tolong deh. Itu bukan urusan mama lagi kan? Torra minta mama jangan gangguin Laura terus karena sekarang dia sudah punya keluarga sendiri. Kan masih ada Vero, Ma. Kevin sama Carla pasti udah rindu Omanya." Untuk kedua kalinya Torra memotong ucapan Theresa dengan terpaksa, tetapi kali ini apa yang ia ucapakan berhasil membuat ibunya terdiam hingga sepuluh detik lamanya.
Merasa menang dan tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Torra pun kembali membalikkan tubuhnya, bahkan melangkah naik ke lantai atas untuk menenangkan dirinya.
Namun, apa yang Torra pikirkan ternyata tidak benar, ketika suara Theresa masih lagi terdengar, "Mama nggak enak sama Daniel. Tiap Mama ke sana pasti dia larut baru pulang. Mama kan risih."
"Daniel memang sibuk kok, Ma. Kemarin pinjam bendera punyaku biar bisa ikutan proyek pengadaan alat kesehatan dari Kemenkes dan dapat sekaligus dua untuk puskesmas kota dan kecamatan." Tak urung sejumlah penjelasan pun lahir dari bibir Torra mengenai Daniel, adik ipar satu-satunya itu.
Sahutan demi sahutan lantas terjadi di antara keduanya, "Pinjam bendera? Sewa CV?"
"Nggak sewa, Ma. Aku izinkan aja daripada nganggur terus. Daniel itu sudah mulai berkembang, jadi jangan pikir yang buruk-buruk tentang dia, apalagi tentang Inna! Mama bisa kan menerima takdir?"
"Ngomong apa, sih! Pusing kepala Mama."
"Takdir, Ma! Takdir saat Vero ternyata menikahnya sama Daniel dan sudah punya dua anak yang merubah status mama menjadi seorang oma. Terus takdir ketika aku nggak berjodoh dengan Laura tapi malah menikahi Inna. Juga takdir pas sekarang Laura harus nikah sama dokter sialan itu." Tetapi sampai pada suatu sebab akibat, percakapan pun berubah menjadi yang lebih serius perkara takdir dan kehidupan.
Theresa menolak untuk ikut mengakui kebenaran ocehan putranya dengan berbalik, lalu berniat menuju ke dapur, "Sudah sana pergi tidur, Mas. Mama mau bikin puding aja sama simbok!"
"Aku telepon Vero suruh ke sini, Ma! Bawa sekalian sama pakaian ganti, biar mama nggak kesepian ditinggal Laura yang udah jaga jarak." Tapi Torra membuat langkah kaki Theresa terhenti, atas dugaan yang salah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tolong, Ceraikan Aku! [END]
RomanceMenikah itu tidak mudah. Menikah dimaksudkan agar hidup kedua pasangan menjadi teratur dan terarah dengan baik, tapi tak jarang sebuah pernikahan hanya berlandaskan coba-coba, karena harus bertanggung jawab akibat tak kuat menahan hawa nafsu, lalu t...