Sekedar ingin mengucapkan, "selamat membaca ceritaku."
Salam, Senja
***
Aku menyenderkan tubuhku di balkon kamarku untuk menikmati dinginnya udara dan langit yang hitam kelam sepi tanpa adanya cahaya bintang yang menemani. Saat ini langit malam seolah mewakili perasaanku, merasakan sepinya hari yang akan aku lalui entah sampai kapan. Biasanya aku dan kamu saling bercerita lewat ponsel, tapi sekarang aku tidak ada keberanian menghubungimu lagi. Aku pun menunggu pesan-pesan singkat darimu, mungkin sekedar pertanyaan ringan untuk menanyakan kabar atau kegiatan, tapi pesan itu tak kunjung sampai. Apa mungkin kamu benar-benar akan melupakanku? Sebenarnya apa yang terjadi, Bayu?
"Kamu tau, Bayu? Langit di Bandung sedang mendung dan bintang pun tidak terlihat. Bagaimana di Jogja? Apakah kita berdiri di bawah langit yang sama?"
"Mmm... Di sini terasa sepi, Bayu, pertanyaanku tidak ada yang kamu jawab, pun kamu tidak kembali bertanya kepadaku, aku rasa hidup ini asing, ini bukan hidupku, Bayu."
"Apa aku akan terus-menerus bermonolog sendirian?" Hanya ada pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban yang bersemayam di benakku.
"Kira-kira kamu lagi apa, ya, di Jogja?"
"Siapa, Ra?" Tiba-tiba Mas Galih masuk tanpa mengetuk pintu. Menyebalkan. Aku jadi takut jika Mas Galih mendengar dari awal tadi, semoga saja tidak mendengar. Dasar manusia menyebalkan.
"Bay- Mas Galih! Kalau masuk kamar ketuk pintu dulu! Ini, kan, kamar perempuan."
"Cuma penasaran kamu ngomong sama siapa, udah gitu aja."
"Orang enggak ngomong sama siapa-siapa."
"Bau-bau lagi merindukan seseorang, nih."
"Iya, rindu sama Pakdhe, kapan Pakdhe pulang?"
"Ayah lagi di Bogor, bukan di Jogja."
"Emm... Maksudnya rindu sama Ayah."
"Kok gugup? Ayah apa ayah?"
"Apaan sih, Mas?! Laper mau makan."
Tidak ingin dipojokkan, aku memilih untuk segera turun dan menuju meja makan. Sebenarnya perutku masih terasa kenyang, sih. Tapi, tidak apa, meskipun masih kenyang aku harus tetap menjaga pola makan, daripada sakit terus merepotkan Budhe.
Tunggu dulu, sebelum sampai ke meja makan mataku menangkap seorang perempuan yang tengah duduk di ruang tamu. Aku pikir dia Mba Galis, tapi ternyata perempuan itu tampak asing di mataku. Mungkin itu kekasih Mas Galih.
"Hai! Aku Nara." Aku mengulurkan tanganku padanya untuk mengajak berkenalan. Barangkali dia bisa menjadi temanku selama di Bandung.
"Hai! Adik sepupunya Galih, ya?" aku hanya mengangguk dan memberikan senyum tipis padanya sampai dia berbisik dan tersenyum malu, "aku Darin, pacarnya Galih." Dan, benar saja, dia kekasih Mas Galih. Sedikit tidak percaya jika Mas Galih punya pacar. Mungkin Darin diberkahi sifat penyabar untuk menghadapi Mas Galih.
"Yaudah, makan yuk."
Aku dan Darin langsung menuju meja makan. Bukan, hanya aku yang duduk di meja makan, sedang Darin berjalan menuju dapur untuk membantu Budhe menyiapkan makan malam saat ini. Tapi, kenapa malam minggu Mas Galih tidak dihabiskan untuk jalan-jalan dengan Darin. Jadi ingat kita dulu, Bayu. Setiap malam minggu pasti kita pergi ke alun-alun Jogja dan membeli wedang ronde atau kopi.
Hembusan angin yang begitu kencang mengenai kulitku. Udara di sekitar memang sangat dingin, tapi menjadi hangat karena berada di dekatmu. Sepanjang perjalanan kita tertawa bersama dengan aku yang memelukmu dan kusandarkan kepalaku di punggungmu. Suasana menjadi lebih hangat ketika ada banyak lampu jalan yang indah ikut menghiasi suasana malam Minggu kita.
"Mau beli apa, Ra?" tidak pernah bosan setiap malam Minggu berjalan menyusuri tempat ini. Terlebih tanganmu yang tidak pernah melepaskan genggamannya.
"Wedang ronde aja, biar anget."
"Aku peluk aja biar angetnya geratis."
"Dasar manusia pencari geratisan."
"Ya buat mengurangi pengeluaran aja, Ra."
"Aneh. Mendingan enggak perlu jalan."
"Kalau enggak jalan, nanti enggak ketemu. Kalau aku rindu, kan, malah celaka."
Niat untuk membebaskan ingatanku tentang kamu sepertinya gagal, sekarang aku kembali mengenang kisah-kisah kita dulu, Bayu. Apa kamu masih ingat jika setiap malam Minggu kita keluar bersama dan jalan bersama? Dan, apa kamu ingat bila kamu takut merindukan aku? Aku tidak tahu kenyataan sebenarnya, yang pasti kamu sudah berusaha untuk menjauhkan aku dari kamu yang dulu selalu ingin dekat.
"Nangis kamu? Kenapa, Ra?" tanpa aku sadari air mataku jatuh karena mengenang kamu, karena aku rindu kamu, dan karena aku belum bisa jauh darimu. Kenapa semua menjadi terasa abu-abu, dan harus berapa lama dan harus bagaimana untuk melewati hari yang semakin samar rasanya.
"Enggak kok, Mas." Satu hal yang tidak mungkin adalah menceritakan kamu secara jujur kepada Mas Galih. Aku tidak ingin orang lain tahu bila sebenarnya aku memiliki masalah tentang hati.
"Daripada melamun enggak jelas mending bantuin Ibu aja gih, sana."
***
Rindu, rindu lagi, dan rindu terus. Apa mungkin aku bisa hidup bahagia bila jauh darimu ketika seluruh kebahagiaanku hanya ada padamu. Terlihat berlebihan, tapi memang kenyataannya seperti ini. Kamu yang selalu membuatku merasa nyaman dan aman, karena menurutku kamu adalah sayap pelindungku. Tapi, setelah keadaannya berubah, apa kamu masih bisa aku anggap sebagai sayap pelindung?
Sekarang sudah larut malam, dan aku masih terdiam di balkon kamar dengan mata yang masih setia menemani rintik hujan yang berjatuhan. Malam yang sepi langsung hilang ketika Mas Galih datang dan duduk di sampingku dengan tangan yang membawa semangkuk mi instan.
"Anak kecil kok sok-sokan enggak tidur."
"Terserah Nara."
"Tadi kenapa nangis?"
"Minta mi-nya dong,"
"Emang di Jogja enggak diajarin cara menjawab pertanyaan, ya?"
"Laki-laki kok pingin tau urusan orang, sih?"
"Bukan gitu, Nara. Em... Kalau butuh teman cerita, cerita aja sama Mas, ya?"
"Kok baik?"
"Emang Galih baik, soleh, dermawan, tidak sombong, suka menolong, ganteng pula."Akan ada saatnya aku lelah memendam setiap rasa gundah sendirian, dan pasti akan ada saatnya aku bercerita kepada Mas Galih. Mungkin aku akan menemukan titik terangnya.
***
Alam saja tahu apa yang sedang aku rasakan saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
BISU : Antara Rasa dan Rahasia
Teen FictionCemas, sedih, sakit, kecewa, marah, inilah hidup yang sebenarnya. Tidak bisa memaksa semesta untuk selalu menghadirkan cerita-cerita indah. Hidup memang harus berani menerima kenyataan, meskipun kenyataan tidak semanis bayangan. Nara Aku tahu, melup...