Pukul satu siang lewat tiga belas menit Sabira sampai disalah satu restoran yang berada ditengah kota.
"Permisi ada yang saya bisa bantu, mbak?"salah seorang pelayan datang menghampiri Sabira.
"Meja atas nama pak Sabas dimana ya?"tanya Sabira. Seperti yang Andrew— Ayahnya katakan, hari ini adalah hari pertemuan pertamanya dengan laki-laki yang digadang Andrew akan menjadi calon suaminya. Beruntung hari ini adalah hari minggu jadi ia tidak perlu meminta izin pada wali kelasnya jika dirinya tidak datang ke sekolah.
"Tuan Sabas Nagara?"pelayan itu memastikan, Sabira mengangguk ragu karena Ayah cuman memberitahukan nama laki-laki itu Sabas saja. Ah, masa bodoh jika ia salah orang. Toh ini bukan sepenuhnya salahnya. Siapa suruh memberi informasi hanya setengah-setengah. "Mari lewat sebelah sini,"
Sabira mengekori pelayan wanita itu, ia sempat melirik kanan dan kiri. Menurutnya tempat ini agak berlebihan hanya untuk pertemuan biasa, tapi mengetahui jika laki-laki bernama Sabas itu adalah orang kaya dari Ayahnya, Sabira tidak perlu heran lagi. Orang kaya mah bebas.
"Ini tempat yang Tuan Sabas pesan mbak," sibuk menilai tempat ini Sabira tidak sadar jika ia memasuki sebuah ruangan tertutup dan cukup jauh dari pengunjung lain. Ruangan ini lebih cocok untuk orang yang akan mengadakan meeting rahasia ketimbang perkenalan biasa. Hah, sungguh berlebihan.
"Kalau begitu saya permisi, mbak."
"Oh iya, terimakasih,"
Setelah pelayan tadi pergi Sabira menarik kursi kemudian menjatuhkan bokongnya disana. Dia menopang dagu, matanya menatap bosan sekitar. Tidak ada siapapun diruangan ini selain dirinya sendiri.
Sudah hampir satu jam Sabira duduk dan tidak ada yang masuk selain pelayan yang mengantarkan minuman untuknya.
"Ini orang niat datang gak sih?" gerutu Sabira mulai habis kesabaran menunggu Sabas.
Ia menatap minuman yang hampir tandas tapi orang yang ditunggu-tunggu tak datang. Menyebalkan sekali.
Okey, sabar, Sab. Tunggu lime menit lagi kalau dia gak datang juga ia pulang.
Gadis itu mengetuk-ngetuk jarinya ke meja. Sesekali matanya melirik jam tangan yang melingkar dipergelangan tangan kirinya.
Tinggal dua menit lagi. Waktu terus berjalan dan,
Lima menit pun berakhir.
Baiklah, orang itu memang tidak berniat datang lebih baik ia pulang saja masih banyak hal yang bisa ia lakukan dirumah dari pada disini duduk menunggu orang yang tidak ia kenal seperti orang dungu.
Sabira bangkit dan menyampirkan kembali tas selempang yang sebelumnya ia buka, lalu beranjak dari sana.
Sebelum mencapai pintu, pintu tersebut sudah dibuka dari luar. Sabira pikir pelayan, tapi ternyata sosok laki-laki yang belum pernah ia temui.
Gadis itu memantung ditempatnya dengan mata yang tak lepas dari laki-laki itu. Apakah dia Sabas?
Hm, sepertinya benar dia memang Sabas. Laki-laki yang Ayah maksud. Lumayan, Sabira memberi penilaian.
"Mau kemana?"
Tersentak, Sabira buru-buru buang muka.
"Pulanglah,"jawab Sabira sewot. Ia sudah melupakan soal tata krama, saking kesalnya. "Soalnya orang yang ditunggu nggak dateng-dateng, buang-buang waktu."tambahnya.
Sementara Sabas mengangkat alisnya sebelah menatap perempuan didepannya.
"Saya sudah datang, ayo duduk," Sabas berjalan melewati Sabira lalu duduk dikursi yang berhadapan dengan kursi yang Sabira duduki sebelumnya.